Senin, 27 Juni 2016

HMI DAN GERAKAN ISLAM MODERAT

HMI DAN GERAKAN ISLAM MODERAT
Oleh:
Aan Suherman

Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama rekan-rekan perjuangannya. Mereka mendirikan HMI,  antara lain karena ingin belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat dan bangsa.
Karakteristik khas pola gerakan HMI itu sendiri sejak awal berdirinya adalah tidak memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu sudah merupakan watak asli HMI semenjak lahir.[1] Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (ormas), yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Watak khas pola HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi disekitarnya.[2] Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang  bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia. Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Sikap HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap HMI dengan kondisi sosial yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur  yang  diridhai  Allah  SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-aspiratif umat Islam.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani, kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan jumud. Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan umat Islam di Indonesia.
Pada periode 1947 – 1960 Rumusan pemikiran HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahirannya, yaitu dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan; pertama, mempertahankan kemerdekaan negara Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam. [3] Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh Eggi Sudjana[4] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. Sedangkan makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal keIndonesiaan.
Pada masa kepemimpinan Dahlan merupakan masa terjalinnya hubungan harmonis antara HMI dengan kekuasaan (Sukarno). Dia yang berasal dari lingkungan keluarga yang nasionalis, menyebabkan semangat nasionalismenya sangat kental baik dalam kepribadiannya maupun pengaruhnya terhadap gerakan HMI. Hal inilah yang menyebabkan HMI cenderung bisa berjalan beriringan dengan pemerintah Ordelama yang nota bene didominasi kelompok nasionalis. Namun dilain pihak,  kedekatan HMI–Masyumi tetap dijaga karena secara sosio-aspiratif memiliki kesamaan kepentingan. Sejak masa inilah, sikap moderat HMI mulai kelihatan bentuknya, karena secara teologis / ideologis gerakan HMI lebih dekat dengan Masyumi tapi disisi lain semangat kebangsaan HMI menjadikannya harmonis dengan penguasa yang nasionalis. Pada masa kepemimpinannya, dia berhasil membentuk citra dan karakteristik kepribadian kader HMI; pertama berintegrasi dalam kehidupan kebangsaan; kedua, berpikir, bersikap, dan melangkah secara mandiri (independen); ketiga, ikut memelihara ukhuwah Islamiyah.
Berbeda dengan masa Dahlan, masa Deliar Noer justru semangat keIslaman yang lebih menonjol dan kental dalam gerakan organisasi HMI. Selain karena faktor background keluarganya yang berasal dari keluarga santri, juga pada masa kepemimpinannya dihadapkan pada persoalan keumatan yang mengharuskan HMI terlibat secara aktif di dalamnya. Aspek sosio-aspiratif umat menuntut gerakan HMI lebih tegas dalam bersikap, terutama kaitannya dengan peran dan kedudukan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan HMI yang paling menonjol pada masa Deliar Noer ini adalah kentalnya ghirah Islamiyah dalam seluruh dimensi aktivitas HMI. Pola gerakan HMI pada masa kepemimpinan Ismail Hasan Metareum (1957–1960) pun ternyata mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Dua faktor penyebab hal itu terjadi adalah; secara internal, nilai-nilai keIslaman yang sudah ditanamkan sangat kuat sejak masa Deliar Noer banyak mempengaruhi pola gerakan HMI pada masa ini. Nilai-nilai  Islam dalam kehidupan berorganisasi dan individu kader HMI sudah semakin terimplementasi dengan baik. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi Indonesia yang menuntut HMI untuk melakukan gerakan yang agak berbeda dengan kultur gerakan sebelumnya, bahkan dianggap cukup ekstrim. Gerakan yang paling menonjol pada masa ini adalah dukungan HMI kepada partai-partai dalam memperjuangkan dasar negara yang berdasarkan pada ajaran Islam. Menurut Agussalim Sitompul[5], hal ini adalah merupakan bentuk respon HMI terhadap kondisi sosio-aspiratif yang ada, dimana masa itu kekuatan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sangat kuat sehingga dikhawatirkan oleh HMI akan mampu merubah haluan negara ini jadi komunis. Untuk itu dalam kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1957 mengeluarkan rekomendasi yang berisi tuntutan agar Islam dijadikan dasar negara republik Indonesia. Dasar argumentasi dari kebijakan yang diambil HMI dalam kongresnya itu, dijelaskan Agussalim Sitompul ; Gagasan yang menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia perlu ditafsirkan lebih jauh. Agama Islam adalah agama universal, agama yang mempunyai ajaran atau tuntunan tentang masalah-masalah keduniaan maupun keakhiratan, Islam menjamin bahwa kehidupan bangsa akan lebih baik bagi seluruh rakyat tanpa membedakan agama, suku dan derajat. Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin, tanpa orang terlebih dahulu untuk masuk Islam.
Selain itu, dalam kongresnya itu HMI pun mengeluarkan keputusan bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Dilihat dari perspektif politik, kondisi saat itu memungkinkan bagi HMI mengeluarkan statement yang konfrontatif dengan PKI, karena dua alasan;  pertama, dalam sidang-sidang konstituante sejak tahun 1956, PKI sangat menentang upaya umat Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara RI, disamping itu pengaruh PKI yang sangat kuat dan dekat dengan Sukarno dikhawatirkan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah –khususnya dalam masalah keagamaan di Indonesia– yang dinilai HMI bisa merugikan umat beragama yang di Indonesia, karena paham komunisme tidak mengenal yang namanya agama; kedua, sikap HMI yang berani berkonfrontasi dengan PKI, selain masalah teologis / ideologis, juga masih eksisnya partai-partai Islam yang bisa melindungi eksistensi HMI saat itu. Secara umum kurun waktu 1947–1960 ini, menggambarkan posisi HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan Deliar Noer ;
Pertama HMI sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggung jawab sebagai agent of change bangsa dan negara; kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki tanggung jawab dalam problema dunia kemahasiswaan khususnya dan perguruan tinggi umumny; dan ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggung jawab terhadap operasionalisasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dengan corak pemikiran HMI yang pluralis dan rasional, sebagai turunan dari pemikiran pembaharuan keagamaan, membawa dampak pada perubahan pola gerakan HMI yang semakin jelas dalam memandang hubungan antara keIslaman dan  keIndonesiaan. Gerakan HMI tidak lagi terpaku pada hal-hal yang bersifat simbolistik dan formal dalam memandang strategi perjuangan keIslaman, tetapi HMI lebih mengutamakan nilai-nilai substantif dalam pola gerakannya pada periode ini. Tetapi dikalangan umat sendiri HMI cenderung dianggap tidak mampu bersikap kritis terhadap kebiijakan orde baru yang nota bene dianggap banyak merugikan kepentingan umat Islam. Bahkan Hasanudin Saleh[6] dalam tulisannya mendeskripsikan pola gerakan HMI periode ini; Dalam perjalanan sejarahnya –sampai tahun 1970-an– HMI selalu mengambil sikap moderat, bahkan cenderung akomodasionis, ketika berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah, terutama yang tampak represif.
Pada tahun 90-an bagi umat Islam Indonesia merupakan masa terjalinnya kemesraan[7] antara Islam dengan negara, antara umat Islam dengan penguasa. Hal ini ditandai dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada bulan Desember 1990, sebagai organisasi yang dianggap mampu menjadi kendaraan umat Islam untuk bisa berperan secara lebih aktif dalam kehidupan kebangsaan, selain itu ICMI dianggap bisa jadi corong umat Islam untuk mengartikulasikan harapan dan aspirasi umat Islam, kaitannya dengan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. ICMI bagi HMI dianggap partner yang seimbang untuk memanifestasikan tujuannya, karena ICMI pada hakikatnya merupakan organisasi yang punya background sama dengan HMI yaitu dari kelompok Islam modernis, secara pemikiran pun HMI – ICMI memiliki kesamaan terutama mengenai pemikiran keIslaman-keIndonesiaannya. Hal ini tidaklah aneh sebab mayoritas anggota / pengurus ICMI ini adalah alumnus HMI.
ICMI yang diarsiteki oleh BJ. Habibie, dianggap sebagai organisasi bentukan Suharto untuk memperpanjang tangan kekuasaanya pada komunitas muslim Indonesia, yang mana pada periode sebelumnya hubungan umat Islam dengan kekuasaan tidak begitu mesra malah cenderung saling curiga. Menurut HMI, anggapan-anggapan tersebut tidak mendasar dan cenderung emosional. Bagi HMI, kehadiran ICMI ditengah-tengah umat Islam Indonesia merupakan suatu kebutuhan, karena sudah saatnyalah umat Islam Indonesia mulai mengartikulasikan cita-cita perjuangannya ke dalam aktivitas-aktivitas yang lebih konstruktif dan proaktif, terutama hubungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[8]
Awal abad ke-20 ditandai lahirnya gerakan-gerakan Islam yang monumental (kesan yang menimbulkan sesuatu yang besar). Gerakan Islam tersebut telah mengukir tinta emas baik untuk kebangkitan Islam maupun pergerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yang kemudian dikenal dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Namun, secara umum ormas-ormas Islam tersebut, lebih-lebih pada dua organisasi Islam terbesar di negeri ini seperti Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri tahun 1926) tetap menjaga dan memperkokoh posisi dan perannya dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan dunia global sebagai kekuatan dakwah dan misi Islam sebagai rahmatan li‘l ‘alamin. Meskipun kini muncul gerakan-gerakan Islam yang tampak lebih “memikat” hati sebagian umat dengan karakternya yang cenderung militan (penuh semangat), skriptural (siakap yang melekat pada kitab suci), dan ideologis (politik), namun secara umum keberadaan dan peran ormas-ormas Islam yang lahir awal abad ke-20 itu tetap istiqamah dan memberi warna keseimbangan sebagai kekuatan Islam moderat.[9]
Ahlussunah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya. Diantara mereka ada yang disebut “salaf”, yakni generasi awal mulai dari sahabat, tabiin, dan tabiin-tabiin, dan ada juga yang disebut “ kholaf”, yaitu generasi yang datang kemudian. Golongan ini adalah mayoritas umat Islam.
Modernitas atau kemoderenan atau sikap moderen yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakekatnya mengandung arti yang mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada kebenaran yang mutlak, kepada Allah SWT.
Pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi Islam  paling tidak memiliki sembilan prinsip yang melandasi Islam moderat:
1.Al-Qur’an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an merupakan pedoman yang sangat sentral (pusat) dalam kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur’an adalah  teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur’an tidak akan berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Dalam pengertian ini Islam moderat memandang Al-Qur’an sebagai kitab terbuka. Islam moderat menolak pandangan Al-Qur’an sebagai kitab tertutup yang memunculkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu pemahaman mengenai Islam yang semata-mata mempertaruhkan segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks (nash )keagamaan.
Prinsip Al-Qur’an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tetap (tsawabit) dan sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayirat) sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.
2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan ruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari’at. Dalam konteks ini Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah (catatan-catatan) yang agung bagi transformasi sosial, pembebasan, dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi kehidupan yang adil.
3. Kesetaraan
Islam berada di barisan paling depan membawa bendera kesetaraan (al-musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Kesetaraan merupakan landasan paradigmatik (kerangka berpikir)bdalam meneguhkan visi Islam moderat. Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem sosial yang diskriminatif (membeda-bedakan), dan eksploitatif (sikap sewenang-wenang) terhadap kaum yang lemah.
4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29). Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama maupun berbeda agama, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan Al-Qur’an.
5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama semestinya dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial. Segala bentuk wacana pemikiran keislaman tidak seharusnya tidak menampilkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya pemikiran itu dilakukan dalam rangka membebaskan akal, dan perilaku dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial. Oleh karena itu sudah semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan bukan sebaliknya, anti kririk.
6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Islam moderat, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim) dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra: 70).
7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur’an memandang fakta keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah, sebagaimana juga Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul dari sebagian rasul yang di utus kepada umat manusia. Perbedaan agama terjadi karena perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen dan Yahudi. Dan agama yang berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan.
8. Sensitifitas
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia. Dengan fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemelauknya terhadap perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan.
9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan membangun kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara kelompok-kelompok suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non diskriminasi adalah prinsip sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan dan non diskriminasi diantara elemen masyarakat itulah Nabi membangun tatanan masyarakat yang sangat modern dilihat dari ukuran zamannya.[10]
Islam moderat lebih dikenal sebagai bentuk lawan dari Islam fundamentalis atau Islam garis tengah. Alasan utama dilahirkannya istilah Islam moderat oleh para pendirinya adalah karena adanya Islam garis keras tersebut. Para pemeluk Islam moderat menamakan diri mereka sebagai ummatan wasathan atau ummat pertengahan, yakni kaum pertengahan yang ingin menampilkan nilai-nilai kemoderatannya. Salah seorang tokoh Islam moderat dalam negeri yang cukup dikenal adalah GusDur.
Tokoh ini sangat dikenal dengan nilai-nilai toleransi antar ummat beragamanya, sehingga sangat dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Kaum Islam liberal kerap menggaung-gaungkan istilah Islam moderat tersebut sebagai bentuk solusi antara ummat beragama yang sering mengalami pertikaian, terutama kalangan muslim dan bukan muslim yang kerap mengalami perselisihan.
Menurut Deliar Noor, seorang penulis buku yang berjudul “Umat Islam dan Masalah Modernisasi”. Modernisasi menuntut bangsa Indonesia untuk :
a)      Memandang kedepan dan bukan memandang kebelakang.
b)      Memiliki sikap dinamis dan aktif.
c)      Memperhatikan waktu.
d)     Memberikan penekanan pada rasionalitas, bukan pada perasaan atau perkiraan.
e)      Mengembangkan sikap terbuka.
f)       Memberikan prioritas pada prestasi pesonal.
g)      Memberikan perhatian yang lebih besar kepada masalah yang yang di hadapi saat ini.
h)      Melibatkan diri dalam pengajaran tujuan yang lebih penting dari tujuan kelompok.
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide negara Islam terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali di awal pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan.[11]
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang mempunyai sejarah panjang. Dalam diskursus yang diungkapkan banyak penulis yang mengkaji organisasi Islam ini, menyatakan perlunya melihat dari sisi masa lalu dan masa sekarang. Hal ini dianggap penting sebab antara masa lalu dan masa kini, HMI mempunyai pernan yang berbeda di tiap zamannya.
Pada masa awal berdirinya—Lafran Pane sebagai pendiri organisasi ini—tak lepas dari konstalasi politik masa kemerdekaan Indonesia. Bisa dikatakan, organisasi HMI lahir atas respon politik yang mendominasi saat itu. Paham Komunis yang begitu menjamur, atau lebih tepat menghegemoni, direspon oleh Lafran Pane dengan mendirikan HMI sebagai bentuk counter dari paham yang berbau kiri ini. Alasannya, paham komunis mempunyai ajaran transenden yang berbeda dengan paham Islam.
Karena kelahirannya sebagai respon atas fenomena politik, maka HMI tak bisa dipisahkan dari politik. Hal ini jamak diketahui oleh para kadernya. Kendati demikian, bukan berarti HMI adalah partai politik atau banyak berkecimpung dalam deterministik politik. Kehadiran dan keterlibatan politik HMI dimaksudkan agar orgaganisasi ini menjadi “pengkritik” atas respon yang terjadi dalam dinamika sosial yang terjadi.
Dengan begitu, HMI adalah organisasi yang independent, tidak berada di bawah atau sayap dari organisasi politik lain. Dia berdiri di atas kaki sendiri. Pun dalam konten politik, HMI hanyalah persepon sekaligus menjadi penengah dalam memberikan masukan dan tindakannya atas pergeseran sosial masyarakat. Sebagai penengah, tuntutannya adalah obejektif.
Bersamaan dengan itu, proses zaman telah berubah. Dari yang dulunya HMI mempunyai banyak andil dalam kemerdekaan, saat ini, tuntutan itu telah berubah. Sekarang ini, bukan lagi masanya mengangkat bambu runcing atau berperang, melainkan berpindah pada tantangan lain, yaitu modernitas.
Tak dapat disangkal, paham modernitas telah mengalami kulturasi dengan wajah keislaman. Bahkan kerap terjadi pembauran yang pada ujungnya tak dapat ditangkal. Modernisme bukanlah bentuk buruk. Dia hanyalah pengantar dari tindakan buruk. Jadi tergantung pada manusianya sendiri. Senada dengan itu,  modernisme menyebabkan perubahan yang maksimal, dan sukar terkejar. Bagi banyak umat Islam di Indonesia, bila bersentuhan dengan paham modernisme, menolaknya bahkan menutup diri daripadanya. Hal tentunya disebabkan pemahaman yang belum sampai pada dimensi substansi dari modernisme itu sendiri.
Maka dari itu, HMI mempunyai tantangan untuk menyeleraskan antara tata nilai tradisional dan nilai modernisme dengan penuturan yang halus. Dengan memahami secara baik modernisme, maka akan terbentukanya watak yang terbuka (open mind) dan bisa menerima perbedaan antara satu sama lain. Hal inilah yang seharusnya mulai digalakkan kembali dengan menjadikan mahasiswa sebagai subjek tunggal atau paling tidak salah satu subjek penggerak dari pengentasan tantangan yang baru ini.

Daftar Pustaka
Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1998.
Muhammad Az-Zuhaili, Moderat Dalam Islam, penerbit: akbar media eka sarana, 2005.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.  
Agussalim Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan. Jakarta 13790
Sitompul, A. Salim. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih Offset. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
Sitompul, A. Salim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik.  Yogyakarta : Aditya Media.



[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya.
[3] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.  Jakarta : Integrita Press.
[4] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode 1986-1998.
[5] Agussalim Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan. Jakarta 13790
[6] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[7] Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jalinan hubungann umat Islam dengan penguasa yang semakin baik, dimana pada masa sebelumnya penguasaa cenderung memandang sebelah mata dan bahkan dianggap diskriminatif terhadap umat Islam. Tahun 1990-an merupakan awal dari perubahan arah dnn kebijakan politik orde baru, khusunya dalam masalah hubungan Islam – negara.
[8] Sitompul, Agussalim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik.  Yogyakarta : Aditya Media.
[9] Al-Misbah al-Munir 2/692, dalam kata Qashada, lihat juga kamus al-Muhith 1/327, Muhktar ash-Shahah hal. 536, Mu’jam al-Fadz Al-Qur’anul-Karim 5/48.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.  Hlm 271
[11] Sholihan, Modernitas Postmodernitas Agama, Semarang : Walisongo Press, 2008. Hlm 55

Jumat, 09 Januari 2015

KONSEP HERMENEUTIKA MENURUT HEIDEGGER


KONSEP HERMENEUTIKA MENURUT HEIDEGGER

A.    Pendahuluan
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika adalah ilmu yang merupakan produk dari pandangan hidup dan peradaban tersebut.

B.     Biofrafi Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortus. Martin Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomelogi). Sebelumnya ia kuliah di fakultas Teologi sampai empat semester, lau pindah filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat Neo-Kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh padanya.
Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf Bultmann, kemudian kembali ke Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg ia sempat menyelesaikan karya monumental Sein und Zeit (Being and Time). Pada 1993, ia di angkat oleh gerakan Nazi menjadi rektor pertama di Universitas Freiburg. Sadr kalau dirinya dieksploitasi, setahun kemudian ia meletakkan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiun 1957.
Selain Sein and Zeit dan Einfuhrung in die Methaphisic, masih banyak lagi karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas maslah seperti “What is Being”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga dengan judul-judul megenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati. [1]

C.     Latar Belakang Pemikiran Heidegger
            Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Kaum fenomenologi menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoritis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini.sementara Heidegger adalah mahasiswa dan sekaligus asistennya. Hal ini lah yang mempengaruhi pemikiran Heidegger.  (Rifqi K. Anam) Heidegger menjadi tertarik mengenai pertanyaan “Ada”. Karyanya yang terkenal Being and Time dicirikan sebagai sebuah karya fenomenologis. Gagasan tentang ada berasal dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger  setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga mengkritik Descrates “aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman seseorang bisa berpikir, apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi Heidegger adalah “Aku ada, maka aku berpikir”.
            Heidegger mengarah pada metakritik atas kritik-kritik Kant, Heidegger menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan yang lebih bersifat ontologism dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis Heidegger menyediakan sebiah re-orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh lebih radikal dengan mengembangkan sejumlah  Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale) yang, dalam hubungannya dengan “kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”, “menjadi dua kemungkinan dari karakter-karakter Ada”.[2]

D.    Pemikiran Hermenutika Heidegger
Hakikat eksistensi – menurut Heidegger—melampaui dan berada di atas kesadaran subjektifitas. Karena kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti. Terdapat indikasi – dihubungkan dengan hermenutik—bahwa Heidegger menganggap hermenutik sebagai fenomena (hermeneutic of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia menganggap bahwa tugasnya dalam buku Being and Time adalah menjelaskan hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat fenomenologinya dan ia kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan memandangnya disusun oleh dua unsure, phenomenon dan logos. Bagian pertama menunjuk pada “sekumpulan yang nampak karena cahaya siang” atau “objek yang terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan atau penampakan bagi objekini tidak mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia menjadi unsure kedua yang menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah penampakan dari berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya. Dengan kata lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua—atau manifestasinya dalam persepsi—melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya.[3]
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology— Hermeneutics of Facticity. Heidegger merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutic of facticity”. Heidegger mengunakan istlah ontology bagi proyeknya. Ontology dalam pemikirian Heidegger  tidak dimaksud untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika tradisonal. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asli ketika Ada belum disalahpahami. Ada Heidegger bertolak dari “ada” partikuler yang menanyakan Ada. Ada partikuler tersebut dinama Dasein. Jadi ontology disini dimaksudkan sebagai kajian yang bertolak dari Dasein.
Daseinyang secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-world, capable of being with itself (at-home-in), as well as with others (there involved in), for a period of temporal spatial duration.”. [4] Kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang disebut Heideger sebagai faktis (factical). Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontology yang dimaksud Heidegger disini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada”particular dalam temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai hermeneutic faksitas. Dalam hal ini, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar tidak hanya pada disiplin ontology tetapi juga bidang hermeneutic denga mengganti objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak dalam temporalitas.
Contoh fenomena ini adalah hermeneutic . bidang hermeneutic dengan menguraikan perjalanan sejarah dimana hermeneutic didefinisikan dan didefinisikan ulang sejak masa klasikgga sekarang . artinya hermeneutic bahwa pemahaman tidak didasarkan pada berbagai kategori dan kesadaran kemanusiaan. Tetapi muncul dari manifestasi-manifestasi objek yang kita hadapi yang berupa kebenaran yang kita persepsikan—pahami. Manusia,dalam eksistensinya dan atas dasar jangkauan eksistensinya ini menemukan pemahaman terbatas terhadap hakikat eksistensi yang sempurna.  Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang stabil, tetapi pemahaman yang terbentuk secara historis dan berkembang dalam menghadapi berbagai fenomena. Eksistensi manusia menurut pemahaman ini merupakan praktek berkesinambungan dalam memahami berbagai fenomena dan eksistensi tersebut sekaligus.
Dengan demikian fenomenologi menjadi hermeneutic. Dan hermeneutic-- praktek pemahaman –menjadi eksistensi. Pemahaman adalah kemampuan untuk mempersepsikan berbagai kemungkinan eksistensi bagi individu dalam konteks kehidupannya dan eksistensinya di dunia. Pemahaman bukanlah potensi atau bakat untuk merasakan pemahaman pribadi lain, sebagaimana pemahaman bukanlah kemampuan untuk mencerna makna berbagai ekspresi hidup yang dalam. Pemahaman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan atau dimiliki, namun merupakan salah satu bentuk eksistensi di dunia ini, atau satu elemen yang mendasari dunia ini. Karean inilah--dari segi eksistensi—pemahaman adalah dasar dan yang mendahului segala aktifitas eksistensialis (menjadi atau being). Fenomena alam dan ketersingkapannya hanya terjadi dalam bahasa (pembicaraan).
Secara alami teks tiadaklah dianggap sebagai ekpresi dari “kebenaran internal” sebagaimana syair tidak mengungkapkan sisi-sisi internal kepada kita. Tetapi lebih tepat dianggap sebagai pengalaman eksistensial. Teks merupakan keterlibatan dalam kehidupan “sebagaimana pengalaman ekistensi” yang melampaui subjektivitas dan objektivitas.
Dalam pemahaman dan interprestasi terhadap teks , kita tidak berawal dari kekosongan, tetapi kita mulai—sebagaimana pemahaman eksistensi—dari pengetahuan awal tentang teks dan jenis-jenisnya. Bahkan mereka yang tidak memiliki konsep adanya eksistensi seperti pengetahuan ini atau menyangkalnya, juga mereka mulai dengan gambaran bnahwa teks ini misalnya merupakan lirik. Disisi lain, kita tidak menemukan teks diluar bingkai ruang dan waktu, tetapi kita menemuinya dalam situasi yang terbatas. Kita tidak menemui teks dengan keterbukaan yang statis, tetapi kita menemuinya dengan saling mempertanyakan. Pertanyaan seperti ini merupakan dasar eksistensi dalam memahami teks, kemudian menginterprestasikannya secara sempurna sebagaimana persepsi kita terhadap eksistensi yang sempurna dengan eksistensi subjektif kita, maka eksistensi subjektif itu juga yang menjadi dasar pemahaman kita terhadap ekistensi alam semesta.
Heidegger membuat perubahan drastis pada bidang hermeneutika. Ia tidak lagi memahami hermeneutika sebagai salah satu bidang pengetahuan instrumental khususnya sebagai metodologi penafsiran pada kawasan ilmu-ilmu sosial. Heidegger menjadikan hermeneutika sebagai pusat bagi kegiatan filsafatnya.[5] Heidegger memahami hermeneutika sebagai bentuk ontologi mengada-di-dalam-dunia (a form of ontology of being-in-the-world) dan sebagai cara memandang dunia. Teori hermeneutikanya bersifat ontologis dan merupakan sebuah uraian penjelasan fenomenologis atas eksistensi manusia sebagai Dasein. Pusat kajian hermeneutika Heideggerian adalah faktisitas Dasein.
Makalah ini akan membahas hermeneutika dalam pemikiran Heidegger awal khususnya dalam karyanya Ontology─The hermeneutics of Facticity dan Being and Time. Kedua karya tersebut dengan jelas menunjukkan pemikiran Heidegger mengenai hermeneutika yang berada dalam konteks ontologi eksistensi manusia. Setelah Being and Time, Heidegger banyak menafsir pemikiran filsuf-filsuf (seperti Kant, Hegel, dan Nietzsche) dan puisi-puisi dari Rilke, Trakl, atau Hölderlin. Pemikirannya menjadi lebih bersifat hermeneutis dalam arti tradisional yang menekankan penafsiran teks. [6]
E.     Berangkat dari Fenomenologi Husserl
Pemikiran awal Heidegeer sangat dipengaruhi oleh Husserl meski di sisi lain tampak usaha Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang gurunya. Di dalam Ontology─The hermeneutics of Facticity, Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan melalui evaluasi ulang fenomenologi Huserlian, yang terdapat dalam bukunya Logical Investigation, untuk membangun sebuah proyek hermeneutika baru. Heidegger mulai dengan mengevaluasi akar kata fenomena dalam bahasa Yunani. Akar kata Yunani untuk fenomena berarti “show itself from itself” dalam sebuah “distinctive mode of being-an-object”.[7][4] Secara lebih mendalam Heidegger mengulangi penggalian ke akar kata Yunani untuk istilah fenomenologi di dalam Being and Time. Bagi Heidegger fenomenologi berakar pada kata phainomenon atau phainesthai, dan logos. Phainomenon berarti “yang menampakkan dirinya”. Jadi fenomena berarti membuat sesuatu tampak sebagaimana adanya. Suffix-ology dari istilah phenomenology berasal dari istilah Yunani logos. Logos berarti pembicaraan untuk membuat sesuatu menampak. Dengan gabungan phainesthai (phainomenon) dan logos, fenomenologi berarti membiarkan benda-benda menampakkan dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa memaksakan kategori-kategori kita kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada fenomena tetapi apa yang nampak merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.
Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana objek tersebut  menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar. Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl bahasa tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.
Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam melihat objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran sebelum Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi tidak terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna etimologis kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-ilmu alam dan keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih oleh Husserl.
Menurut Heidegger sebagaimana yang terdapat dalam Ontology─The hermeneutics of Facticity, fenomena sebagai “something that shows itself from itself as an object in a distinctive mode” hanya bisa sebagai sebuah materi dalam ruang. Dengan pemahaman fenomena tersebut, investigasi fenomenologis seharusnya tidak dimulai dari pengalaman sadar atas objek, tetapi merujuk pada pengalaman keseharian manusia dengan objek material dalam ruang. Heidegger memberikan contoh sebuah meja keluarga (di kemudian Heidegger cenderung menggunakan palu sebagai contoh) untuk investigasi fenomenologisnya. Sebuah meja keluarga yang menampakkan dirinya tidak semata merupakan sebuah gambaran mental atau sebagai sebuah konsep sebagai objek kesadaran, tetapi hadir sebagai benda material yang mempunyai karakteristik dan fungsi tertentu bagi sebuah keluarga yang memilikinya. Jadi, pertama-tama sebuah benda (misalnya sebuah meja keluarga) tertentu nampak tidak sebagai objek kesadaran dan intensionalitas, tetapi sebagai mengada-di-dalam-dunia yang bersifat temporal dan memiliki fungsi dan sifat tertentu sebagaimana sebuah keluarga (yang memilikinya) melihatnya di waktu tertentu. Dengan demikian, sifat esensial dari sebuah meja keluarga terletak pada temporalitas kesehariannya yang dengannya seseorang dapat berbuat sesuatu.[8][8] Istilah keseharian menjadi kata kunci pada pemikiran Heidegger. Hal tersebut membawa konsekuensi pada sifat menyejarahnya pemahaman manusia. Pemahaman selalu muncul dari kerangka ruang dan waktu. Adanya kesejarahan dalam pemahaman ini menuntut fenomenologi untuk bersifat hermenutis.
Dalam hal ini, Heidegger mengambil tujuan yang berbeda dari proyek Husserl sebagaimana dalam Logical Investigation. Sementara Husserl bertujuan untuk mengidentifikasi objek pengalaman sadar dan berusaha untuk mendapatkan sebuah dasar yang valid secara universal bagi sains, Heidegger berusaha untuk membebaskan objek dari kungkungan mental dan kesadaran dengan menempatkannya dalam cara mengada yang temporal dan kongkret dan dengan demikian menghilangkan tujuan Husserl untuk meraih universalitas. Bagi Heidegger, objek kajian fenomenologi hanya berkaitan dengan objek yang berada dalam ruang dan waktu yang tertentu seperti saat ia menampakkan diri saat investigasi berlangsung. 




Daftar Pustaka
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003
Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.
Martin Heidegger  1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.


[1] Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

[2] . Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
           [3] .Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003

            [4] .Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.


[5] . Jean Grondin 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics, New Haven & London: Yale
[6] . Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutic: Interpretation Theory In Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 126.
[7]. Martin Heidegger  1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.
[8][8] Ibid, 91-92.

Rabu, 21 Mei 2014

Nikah Beda Agama

Pendahuluan
Nikah beda agama merupakan salah satu isu yang paling kontroversial di lingkungan umat Islam. hal itu dapat dilihat dalam sejumlah literatur keislaman, baik klasik maupun kontemporer. Betapa alotnya perdebatan para sarjana Muslim prihal nikah beda agama. Kedua belah pihak baik yang menolak ataupun sebaliknya memiliki dasar pijakan yang kokoh dalam teks-teks keagamaan, baik al-Quran maupun al-Hadits. ironisnya, masing-masing dari mereka kerapkali melemparkan stigma sebagai kelompok sesat menyesatkan. Manakah pendapat yang paling valid menurut al-Quran prihal nikah beda agama? Oleh karenanya, makalah ini hendak menelusuri jawaban al-Quran prihal nikah beda agama, baik kafir, musyrik maupun ahl al-kitab. Pembahasan di dalamnya akan dijelaskan pula kondisi sosio-kultural yang melatar belakangi turunnya sebuah ayat tertentu. Hal ini dilakukan agar dapat memahami substansi ayat secara utuh, tidak secara parsial. Sebagai pelengkap, uraian didalamnya sekaligus akan menyoroti secara khusus prihal term ahl al-kitab dan implikasi yang menyertainya terhadap nikah beda agama. Secara umum, terdapat tiga ayat al-Quran prihal nikah beda agama yang akan dijelaskan dalam makalah ini.

            Pernikahan dengan orang Musyrik

Al-Quran melarang pernikahan dengan orang musyrik ataupun musyrikat. Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 221

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya: janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai beriman. Sesungguhnya, perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik walau dia menarik bagi hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik walau dia menarik hati kalian. Mereka akan mengajak kalian ke neraka. Sdangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinya. Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada seluruh umat manusia supaya mereka mengambil pelajaran.Nikah secara bahasa ialah  الضمّ .  yang berarti mengumpulkan atau menghimpunkan. sedangkan menurut istilah ialah suatu akad yang menghubungkan antara laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang disyariatkan. lafad   المشرك menurut syariat ialah meyakini adanya tuhan selain Allah.[1] Adapun lafadz الامة  ialah budak perempuan yang dimiliki secara sistem perbudakan.[2] Sabab NuzulPara ulama berbeda pendapat terkait sabab nuzul ayat di atas. Sedikitnya ada dua pendapat terkait hal ini. Pertama, diriwayatkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan kasus martsad al-ghanawi yang meminta izin kepada Nabi saw untuk menikahi Inaq, seorang wanita musyrik. Dalam konteks ini, maka turunlah ayat tersebut. Namun al-Suyuthi menolak pendapat  ini. Menurutnya, riwayat terkait marsad al-Ghanawi bukanlah sabab nuzul dari surat al-Baqarah ayat 221 melainkan sabab nuzul dari ayat  الزاني لا ينكح الا زانية او مشركة.[3]Kedua, ada yang berpendapat bahwa ayat terbebut turun berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah yang memiliki hamba sahaya berkulit hitam. Konon ia memarahi bahkan menamparnyanya. Kemudian Abdullah bin Rawahah datang kepada Rasulullah dan mengabarkan hal itu. Lalu Rasulullah saw bertanya, “siapakah wanita itu wahai Abdullah? “ Abdullah menjawab, wahai Rasulullah, dia adalah wanita yang mengerjakan shalat, puasa dan memperbaiki wudhunya. Disamping itu, ia pun bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah. lalu Rasul pun menjawab: dia adalah wanita mukmin. Berawal dari sini kemudian Abdullah  menikahinya.[4] Penjelasan ayatAyat di atas merupakan ayat yang kerap dijadikan dasar pijakan oleh para ulama prihal larangan nikah dengan orang-orang musyrik. Keberadaan lafadz al-musyrikat di atas dijadikan indikasi prihal keharaman menikahi orang-orang musyrik. Baik laki-laki muslim dengan wanita musyrikat ataupun sebaliknya. Pada ayat di atas, Allah swt menegaskan bahwa menikahi hamba sahaya mukminah lebih baik dari pada menikahi wanita musyrikat kendatipun ia lebih unggul dalam semua aspek, baik kecantikan, harta, status sosial dan lain sebagainya. Namun para ulama berbeda pendapat prihal keumuman lafadz al-Musyrikat di atas. Apakah keumuman lafadz tersebut mencakup ahl kitab ataukah hanya tertuju pada para penyembah berhala?[5]Sebagian ulama berpendapat bahwa keumuman ayat tersebut mencakup semua jenis kemusyrikan, baik para penyembah berhala, yahudi, nashrani (ahl kitab), majusi dan lain sebagainya. Namun menurut mereka keharaman menikahi wanita dari golongan ahl kitab tersebut pada akhirnya di nasakh oleh surat al-Maidah ayat 3 yang menyatakan prihal kehalalan menikahi Ahli Kitab. Pendapat tersebut dikuatkan pula dengan sebuah riwayat dari Ibn Abas.4212 - حدثني علي بن واقد قال، حدثني عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله:" ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ"، ثم استثنى نساءَ أهل الكتاب فقال:( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ) حِلٌّ لكم( إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ )[6]                                                                                                               Riwayat Ibn Abas di atas menegaskan bahwa golongan ahl kitab dikecualikan dari keumuman lafadz musyrikat yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 221. Tak hanya itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa al-Quran tidak mengkatagorikan yahudi dan nashrani sebagai bagian dari orang-orang musyrik secara mutlak. Akan tetapi al-Quran memberikan istilah lain bagi kedua agama tersebut dengan nama Ahli-Kitab.[7] Sementara itu, Abdullah Ibn Umar berpendapat prihal keharaman menikahi wanita-wanita musyrikat secara Muthlak. Ia mengatakan bahwa “tidaklah aku mengetahui tentang adanya kemusyrikan yang paling besar selain menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah tuhan. Pendapat yang sama dianut pula oleh golongan Syiah Imamiyah dan sebagian Syiah Zaidiyah.[8]Tak hanya itu, larangan menikahi wanita kafir dipertegas pula dalam surat al-Mumtahanah ayat 10يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌArtinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kalian mengetahui bahwa mereka beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidaklah halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada orang-orang kafir itu apa yang telah mereka nafkahkan. Dan tiada halangan bagi kalian mengawini mereka jika kalian membayar mahar mereka. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir itu. Dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayar dan hendaklah mereka minta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan di antara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.Kata  الهجرة pada ayat di atas ialah orang-orang yang hijrah dari dar al-kufr. Hijrah secara bahasa ialah keluar dari satu tempat menuju tempat yang lain. Adapun secara syar’i ialah berpindah tempat dari dar al-kufr menuju dar al-iman. Kata فا متحوهن    ialah menguji kesungguhan perempuan-perempuan kafir prihal hijrah mereka sekaligus menguji keimanannya. Sementara itu, maksud ayatواتوهم ما انفقوا  ialah berikanlah mahar kepada wanita-wanita kafir tersebut sebagaimana yang diberikan oleh para lelaki kafir. Adapun lafadz جورهن    أialah mahar.[9]     Sabab NuzulAyat di atas turun setelah perjanjian Hudaibiyah  yang diantara isi perjanjiannya ialah “apabila ada orang kafir Quraisy datang kepada Nabi (melarikan diri dari mereka) maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy". Setelah itu, datanglah Umi Kaltsum binti Uqbah Ibn Abi Mu’aith dari Mekah menuju Madinah untuk melarikan diri. Lalu saudaranya datang dan menuntut kepada Nabi saw agar yang bersangkutan dikembalikan ke mekah, sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah. Dalam konteks itu, turunlah surat al-Mumtahanah ayat 10.[10]Ayat di atas merupakan dalil terkait keharaman pernikahan wanita muslimah dengan lelaki Musyrik. Sebelum turunnya ayat tersebut atau pada masa awal kehadiran Islam, pernikahan antara lelaki Musyrik dengan wanita mukminat memang diperbolehkan. Oleh karenanya seorang Musyrik bernama Abu al-Ash bin Rabi pernah menikahi Zainab, putri Nabi saw.[11]Pernikahan dengan ahl kitabالْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ                                                                                                                                               Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan ) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagi kalian. Dan makanan kalian halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan menikahi perempuan yang menjaga kehormatannya dari perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan yang menjaga kehormaatnnya dari orang-orang yang diberi alkitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar mas kawin mereka dengan tujuan untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka terhapuslah amalnya dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.Maksud lafadz الطعام  pada ayat di atas ialah sembelihan. Yaitu sembelihan Yahudi dan Nashrani.[12] Adapun maksud dari المحصنا ت من الذين اوتوا الكتا ب   ialah wanita-wanita merdeka dari kalangan ahl-al-kitab. Atau wanita yahudi dan nashrani yang diberi al-kitab sebelumnya.[13]Penjelasan ayatSecara  eksplisit, ayat di atas mengandung dua hukum. Pertama, hukum kehalalan mengkonsumsi sembelihan ahli kitab. Mayoritas Mufassirin berpendapat bahwa maksud dari  وطعام الّذين اوتوالكتاب حل لكم  ialah semblihan Ahli Kitab. Kekhususan hukum tersebut hanya ditujukan kepada Ahli Kitab, tidak kepada penyembah berhala, karena sembelihan dan wanita penyembah berhala tak halal bagi golongan Muslim.Kedua, hukum menikahi Ahli kitab. Ibn katsir berpendapat bahwa ayat di atas secara eksplisit menegaskan prihal kehalalan menikahi wanita Ahli Kitab. Pernikahan dengan ahli kitab dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Dalam hal ini para ulama sepakat atas kehalalannya. Pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas ulama. Sementara itu, shahabat Umar memakruhkan bahkan pernah melarang pernikahan dengan wanita ahl kitab lantaran khawatir akan timbul fitnah, bukan karena mengharamkannya.[14] Kedua, pernikahan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Dalam hal ini para ulama bersepakat atas keharamannya. Adapun dalil yang menjadi landasan terkait pendapat tersebut di samping ayat di atas, dikuatkan juga dengan adanya hadits riwayat Jabir bin Abdillah.
- حدثنا تميم بن المنتصر قال، أخبرنا إسحاق الأزرق، عن شريك، عن أشعث بن سوار، عن الحسن، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا.
 Artinya: kami (kaum muslim) menikahi ahli kitab, tetapi mereka (laki-laki ahli kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami.[15]  Terlepas dari itu, para ulama berbeda pendapat prihal cakupan ahl kitab pada ayat di atas. Imam Syafii berpendapat bahwa maksud ahli kitab pada ayat tersebut hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil secara komunal, bukan kepada selainnya secara universal.[16] Pendapat tersebut tentu berimplikasi pada lahirnya sebuah pemahaman bahwa golongan Nashrani dan Yahudi selain keturunan Bani Israil tidak dikatagorikan sebagai ahl kitab. Pendapat al-Syafi’i tersebut merupakan definisi yang paling ketat diantara ulama lainnya. Berbeda dengan itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa Cakupan ahli Kitab bukan hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil, melainkan mencakup semua kaum Nashrani dan Yahudi secara menyeluruh, dimanapun dan dari keturunan siapapun.[17] Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam disertasinya mengutip pendapat Rasyid Ridha yang menegaskan bahwa pengertian Ahli Kitab tak hanya dibatasi kepada dua kelompok saja, yakni Yahudi dan Nashrani. Menurut Rasyid Ridha, orang Majusi, kaum Shabiun, kaum Hindu, Budha dan Konfusius bisa juga disebut Ahli Kitab.[18]Dari konteks ini pemakalah menilai bahwa keragaman definisi berikut cakupan makna ahl Kitab yang berkembang di tengah-tengah pergulatan para mufassir tersebut tentu memiliki konsekuensi dan Implikasi yang berbeda terhapap pernikahan beda Agama. Sekian dan terima kasih.
 Daftar pustakaIsmail bin Abi Katsir. Tafsir al-Quran al-Adzim. (Kairo: Maktabah al-Shafa,2004).Al-Shabuni, Muhamad Ali. Tafsir ayat al-Ahkam.(Surabaya: Haramain, 1988).Al-Thabari, Ibn Jarir. Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran (Beirut: Darul Fikr, 2005).
Al-Thanthawi, Muhammad Sayid. Tafsir al-Wasith.Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama.(Jakarta: Katakita,2009).Quraish Shihab, Muhammad. Wawasan al-Quran. ( Jakarta: Pustaka Mizan, 1999).        By : Aan Suherman

[1] Muhammad Sayid thanthawi, Tafsir al-Wasith,
[2]Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam[3] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
[4] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
[5]Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran (Beirut: Darul Fikr, 2005) h, 463[6] Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h, 463[7] Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith,
[8] Ali al-Shabuni, Tafsir ayat Ahkam[9] Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, h, 550
[10] Muhammad Sayid al-Thanthawi, , Tafsir al-Wasith, h,[11] Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Kairo: Maktabah al-Shafa, 2004)
[12] Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam, h
[13]Ibnu Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran, h, 107
[14] Ali ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam, h
[15] Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h,465[16] Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Adzim, h, 27
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Jakarta: Pustaka Mizan, 1999),h,368
[18] Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita, 2009),h, 276