Selasa, 01 Oktober 2013

Epistemologi Islam dalam Islamisasi Ilmu

Menerapkan epistemologi keliru melahirkan pendidikan yang keliru. Pendidikan yang keliru menciptakan ilmu yang keliru. Dan ilmu yang keliru melahirkan pemikiran yang keliru serta perilaku keliru. Ujungnya, menciptakan manusia yang dhalim
null
Epistemologi keliru lahirkan pendidikan yang keliru. Pendidikan keliru ciptakan ilmu yang keliru. Dan ilmu yang keliru melahirkan pemikiran/perilaku keliru. Ujungnya, menciptakan manusia dhalim
Oleh: Rifki Akbar Tanjung
BARU-BARU ini telah terbit buku yang berjudul “Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam” yang disusun oleh Dr. Adian Husaini dkk. Buku ini hadir pada momentum yang tepat mengingat situasi keilmuan saat ini sudah sangat mencemaskan dengan gempuran epistemologi Barat (sekuler) di berbagai bidang-bidang keilmuan yang pada akhirnya banyak menimbulkan kekacauan berpikir umat manusia.
Buku ini memberikan penyegaran tentang sebuah konsep epistemologi yang menghargai ilmu dengan sebagaimana mestinya.
Dalam buku ini dijelaskan tentang ilmu atau ‘ilm yang memiliki tempat yang sangat istimewa dalam khazanah dan peradaban Islam. Allah sangat mengistimewakan orang-orang yang memiliki ilmu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Dia membedakan orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.Az-Zumar:9) “juga meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS.Al-Mujadilah:11).
Rasulullah pun menegaskan bagaimana ilmu mempunyai peran yang sentral.  Sebagaimana beliau bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim).
“Termasuk mengagungkan Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang tua yang muslim dan para pengemban Al-Qur’an dan ahlinya, serta penguasa yang adil.” (HR Abu Dawud).
Dengan begitu pentingnya ilmu bagi umat manusia timbullah sebuah pertanyaan bagaimana cara mendapatkan ilmu tersebut? Di sinilah letak fungsi epistemologi berlaku.
Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Dr. Syamsuddin Arif  menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurut Syamsuddin Arif,  ada tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
“Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam,[Jakarta: Gema Insani,2013], hal.115)
Dari penjelasan tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa segala sesuatu yang dapat ditangkap dari ketiga sumber tersebut merupakan sebuah ilmu.
Klasifikasi ilmu
Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘ulum al-din telah mengkalsifikasikan ilmu menjadi dua yaitu ilmu keagamaan (‘ilm muamalah) dan ilmu ruhiyah (‘ilm mukashafah), beliau menjelaskan ilmu keagamaan ini merupakan sebuah prasyarat untuk mendapatkan ilmu yang kedua (‘ilm mukhasafah) yang menjelaskan tentang kegiatan ritual ibadah dan kegiatan ruhiyah hati mencakup dunia gaib diluar persepsi indrawi.
Berdasarkan tujuannya Al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi Fardhu ‘ayn dan Fardu Kifayah.
Pertama, ilmu yang bersifat fardhu ‘ayn ini merupakan ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang terkait dengan akidah, setiap orang wajib mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan larangan dari agama
Kedua, fardhu kifayah yang tidak diwajibkan untuk setiap manusia mengetahuinya, hal ini bergantung kepada kebutuhan dari setiap daerah, Al-Ghazali membagi kembali fard kifayah ini menjadi dua kelompok yaitu ilmu agama (syar’iyyah) yang berasal dari wahyu Allah (al-Quran) dan sunnah Nabi (al-Hadist), lalu ilmu non agama (ghayr syar’iyyah) yang berasal dari proses pemikiran, penelitian dan pengalaman.
Prof Naquib Al-Attas mengatakan saat ini khazanah keilmuan telah mencapai pada titik kebingungan intelektual (confusion of knowledge), menjadi sangat problematis karena ilmu telah kehilangan maksud dan tujuannya dan problem tersebut sudah merasuki pada seluruh cabang-cabang keilmuan termasuk salah satunya ilmu ekonomi, problem ini terjadi diseluruh sektor mulai dari hulu (pendidikan) sampai ke hilir (praktik).
Problem epistemologi
Ilmu ekonomi yang dimulai dari jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi para siswa/mahasiswa dicekoki dengan sejarah ilmu ekonomi Barat sebagaimana buku-buku ekonomi yang disuguhkan telah memperkenalkan Adam Smith, Paul Samuealson, Karl Max sebagai tokoh-tokoh ekonomi, lebih jauh Adam Smith seorang sarjana ekonomi dari Skotlandia yang dengan bukunya yang sangat terkenal dalam dunia ekonomi “The Wealth of Nation” ini dinobatkan sebagai “Bapak Ekonomi”, padahal jika ingin jujur bahwa buku tersebut bukanlah hasil dari pemikiran Adam Smith sendiri melainkan pembajakan habis-habisan terhadap bukunya Abu Ubaid yang berjudul Al Amwal. (Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, [Bandung: Pustaka Setia, 2010] hal.18)
Sehingga tidak heran memang pendefinisian terhadap ilmu ekonomi di sekolah maupun perguruan tinggi sangat terpengaruh pada pemikiran-pemikiran ekonom Barat. Sebagai contoh Prof Robbinson mendefinisikan ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif (Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (terj), [Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993] hal. 19).
Pendefinisan seperti ini memberikan makna yang absurd, tidak ada tolok ukur yang jelas mengenai perilaku manusia seperti apa yang seharusnya dijalankan dan memang dalam ekonomi konvensional sistem yang dibangun adalah pasar bebas, segalanya dilepaskan atas mekanisme pasar seutuhnya, manusia dalam menjalankan ekonominya diberikan hak yang sebebas-bebasnya untuk memenuhi kebutuhan, manusia berperan sebagai individunya masing-masing bukan sebagai manusia yang bermasyarakat dan pada akhirnya memunculkan budaya materialis dan hedonis.
Dilihat dari pendidikan ekonomi yang diajarkan dengan sistem yang dibangun tersebut kerusakannya semakin meluas kepada hilirnya (praktik), dapat dilihat dari permasalahan-permasalahan bangsa yang timbul saat ini dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan pangan, kemudian  melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, ini dikarenakan praktik kartel yang merajalela dan alat tukar yang digunakan merupakan alat tukar
Segala permasalahan bangsa saat ini merupakan hasil dari penggunaan epistemologi ilmu yang salah. Termasuk pendidikan yang diajarkan mulai dari sekolah-sekolah sampai ke perguruan tinggi telah mengajarkan suatu konsep ilmu yang dikotomi yang membedakan ilmu-ilmu agama dengan non agama.
Ketika mempelajari ilmu non agama seorang siswa/mahasiswa harus melepaskan nilai-nilai keagamaannya karena dalam ilmu tersebut tidak ada kaitannya dengan agama. Ini terlihat pula dari solusi permasalahan yang ditawarkan oleh pemerintah, tidak ada poin-poin yang menitiberatkan kepada nilai-nilai ruhiyahnya.
Padahal ini merupakan poin penting dari permasalahan yang terjadi, boleh jadi karena konsep materialistis dan hedonis yang telah membudaya menciptakan manusia sebagai individu-individu yang serakah sehingga tujuan ekonomi untuk mencapai kemakmuran ibarat panggang yang jauh dari jauh dari api.
Islamisasi ilmu
Demikianlah bahaya kerusakan yang ditimbulkan oleh epistemologi sekuler yang kita anut. Oleh karenanya urgensi perombakan epistemologi ilmu yang digunakan menjadi sangat mendesak. Sebab dengan menerapkan epistemologi yang keliru akan pula menciptakan pendidikan yang keliru. Dan pendidikan yang keliru akan menciptakan ilmu yang keliru, ilmu yang keliru akan menciptakan pemikiran yang keliru, pemikiran yang keliru akan menciptakan perilaku yang keliru pula dan akhirnya perilaku yang keliru akan menciptakan manusia yang dhalim.
Untuk mengatasi kerancuan ilmu yang disebabkan oleh epistemologi Barat sekiranya pemerintah berani untuk melakukan gebrakan “Islamisasi ilmu”, konsep ini telah disampaikan oleh Prof Naquib Al-Attas. Al Attas menguraikan konsep-konsep pokok dalam epistemologi dan metafisika Islam, seperti konsep “religion” dalam Islam (ad-Din), yang sumber tertingginya diambil dari al-Qur’an. Ia juga menguraikan tentang konsep “the truth” yang tidak mengenal dikotomi “subjektif” dan “objektif”, sebagaimana dalam tradisi Filsafat Yunani.
Ia mengkritik konsep desakralisasi alam ilmuwan sekuler, yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur Ketuhanan. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, [Jakarta: Gema Insani, 2013], hal. 39)
Dengan melakukan “Islamisasi ilmu” ini, hakikat tujuan mencari ilmu pengetahuan dalam Islam yakni menjadikan manusia sebagai orang baik dan beradab serta tujuan pendidikan yang ada pada ketentuan umum UU SISDIKNAS untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dapat terwujud. Insya Allah*
Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rep:
Anonymous
Editor: Cholis Akbar