Sabtu, 11 Januari 2014

Catatan Kecil Soekarno


Kedudukan Islam Dalam Pandangan Sukarno
Sukarno & Modernisme Islam


Paper
Disampaikan pada Diskusi
Insan Cendekia Institute
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kamis, 21 November 2013


Pendahuluan

“ Islam is Progress, Islam adalah Kemajuan”, tulis Bung Karno dalam salah satu  “Surat-surat Islam dari Endeh”. Dengan itu, kita tahu, Bung Karno lebih berbicara perspektif, berbicara Islam yang semestinya. Pada saat yang sama, dengan semangat yang bergelora, ia cenderung untuk mngemukakan bahwa “Islam yang seharusnya” itu adalah hakikat Islam itu sendiri.
Dalam rumusannya akan hakikat Islam, anggapan Bung Karno masih banyaknya pergumulan para muslimin dalam TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat), dan Islam yang dirundung Taqlidisme (sifat yang ikut-ikut-an tanpa petunjuk yang jelas).
Dari kutipan seperti ini, Islam is Progress, dan Progress berarti pembikinan baru  Creation baru- bukan mengurangi barang yang dulu, bukan mengCopy barang lama. Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya perubahan tafsir dan hukum, akan nampak bahwa ia sebenarnya cenderung menyambut pandangan yang menggabungkan antara Empirisme dan Rasionalisme dengan kata lain Pragmatisme.
Dengan pandangan Pragmatis Bung Karno memujikan apa yang namanya elastisitas hukum Islam, seraya mengutip Ameer Ali dalam The Spirit of Islam. Hukum yang digambarkan seperti karet yang lentur membuat Islam dapat beradaptasi “bisa cocok dengan semua kemajuan”.
Itulah sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus ada bukan karena ia ditakdirkan untuk abadi, dengan ajaran yang kekal, melainkan karena ia terus-menerus bisa menjadi berharga. Dalam masa perjuangan antikolonialiasme harga itu terletak pada perannya untuk menggerakkan manusia terutama orang banyak, untuk menumbangkan apa yang tidak adil. Dalam abad modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman yang bergerak.
Riwayat Hidup
Beliau lahir pada hari kamis, 6 Juni 1901, di Kampung Lawang Seketeng, Surabaya, dan wafat pada hari Minggu, 21 juni 1970. Ayahnya bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Sukemi adalah satu dari delapan anak Raden Harjodikromo berasal dari bangsawan Jawa kelas Priyayi.
Sukemi lahir pada 1869                  pendidikan di Probolinggo                   pendidikan guru (Kweekschol)                           bertugas sebagai guru di Singaraja (asisten peneliti Professor Van der Tuuk, ahli bahasa indonesia yang tinggal di Tapanuli)             berkenalan dengan Ida Ayu Nyoman Rai (penganut agama Hindhu Bali dari kasta Brahmana)           menikah.
Pada diri Sukemi ada 3 unsur pemikiran yaitu Pola Pemikiran Barat, Agama Islam dan Theosofi
Setidaknya ada 2 pelajaran yang diterima oleh Sukarno, Pelajaran Pertama dari lingkungan keluarganya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa membentuk perkembangan Islam menjadi Sinkretis(Penyatuan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu dan Islam) dan Puritan (berusaha mengikuti ajaran Islam dengan Taat). Pelajaran kedua ketika adanya konflik antara keluarga ibu dengan bapaknya yang menjadi titik permasalahannya pada kedaerahan dan agama
Selain dididik oleh kedua orang tua beliau, Sukarno juga mendapat pencerahan dari pembantu rumah tangga beliau yaitu Sarinah. Sarinah memberi pesan terhadap Sukarno akan kerakyatan yaitu menyangkut sikap terhadap nasib rakyat kecil. Sarinah berkata, “Karno, yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”[1]
Awal sekolah Sukarno di Tulungagung                pindah ke Mojokerto               pindah ke Sidoarjo        pindah lagi ke Mojokerto di sinilah ia menyelesaikan pendidikannya di Europese Lagere School(ELS)[2]                Hogere Burger School(HBS)di Surabaya[3]. Sejak Sukarno berada di Surabaya, beliau di tempatkan oleh ayahnya di rumah Tjokroaminoto.
Pengalamannya dalam pendidikan modern bertambah seiring dorongan para pemuda yang ingin menjadi pemimpin dalam masyarakat tradisional, demikian halnya beliau dipisahkan dari masyarakat untuk dipersiapkan menjadi pemimpin di masyarakat yang sama, dengan hal ini beliau diajarkan oleh gurunya yang bernama, Tjokroaminoto. Membentuk pemuda dan mengantarkan kembali pada perbatasan masyarakat sehari-hari setelah usianya dianggap matang.
Tidak hanya mendapatkan bimbingan dari gurunya Tjokroaminoto, beliau juga banyak bergaul dan berkomunikasi dengan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di rumah Tjokroaminoto bergaul dengan kalangan komunis seperti tokoh, Alimin, Musso, Semaun dan Darsono. Dikalangan Islam, ia bergaul dengan KH      Ahmad Dahlan dan Tjokroaminoto. Bagi Sukarno, usaha melarikan diri ke perpustakaan adalah sebagai cara pelarian terbaik dengan mengalihkan kesulitan-kesulitan hidup yang dideritanya. Bagi Sukarno, Tjokroaminoto bukan saja tokoh politik, tetapi juga berperan sebagai pemikir masalah-masalah keislaman dan tempat bertemunya aliran-aliran.
Pada tanggal 10 Juni 1921, Sukarno menyelesaikan pendidikannya di HBS Surabaya dan ia berniat melanjutkan ke negeri Belanda. Tidak ada sumber yang jelas akan kejelasannya beliau gagal berangkat ke Belanda, apakah dengan alasan tidak adanya biaya atau penyebab lain. Tetapi menurut Ibu Wardoyo, faktor yang menjadi gagalnya Sukarno berangkat adalah tidak adanya persetujuan dari ibunya.
Pada minggu terakhir juni 1921, Sukarno mulai memasuki kota Bandung dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Technische Hoge School. Sejak tinggal di bandung, ia berkenalan dengan para pemikir yang tidak terikat lagi dengan pemirikan politik keislaman seperti Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi, Iskaq Tjokrodisurjo, Sartono dan sebagainya.
Sejak Suka rno di Bandung, kegiatan dalam kancah perpolitikan semakin meningkat. Sebagai resiko dari keterlibatannya ia ditahan di penjara Sukamiskin karena dituduh melanggar peraturan larangan penyebaran propaganda yang mengganggu ketertiban umum.
Hikmah yang didapat oleh Sukarno selama di penjara Sukamiskin adalah tersedianya waktu untuk memikirkan kembali masalah-masalah keislaman yang pernah didapat sewaktu beliau di Surabaya. Sepertinya masa pengasingan merupakan kesempatan bagi Sukarno untuk mendalami masalah-masalah keislaman.
Sukarno tidak sempat menyelesaikan semua masa tahanannya di penjara Sukamiskin dikarenakan ada keringanan dari Gubernur Jenderal De Gref, pada tanggal 31 Desember 1931. Setelah dibebaskan dari penjara tersebut beliau kembali ke dunia polotik.  Pemerintah kolonial beranggapan bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh Sukarno adalah berbahaya, oleh karena itu ia diasingkan ke Ende Flores.

Perkembangan Pemikiran Soekarno

Yang menjadi dasar pemikiran Soekarno adalah dinamika perkembangan pemikiran-pemikiran yang hidup di dalam masyarakatnya, di samping kenyataan sesungguhnya dari kehidupan bangsanya. Dinamika itu terlihat jelas hadir dalam aliran pemikiran nasionalisme, yang antara lain mendapat dorongan reneisans kebudayaan yang berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
            Namun sekalipun demikian, ketertarikan Soekarno kepada gerakan pembaruan di Indonesia tidak berlangsung lama. Tampaknya Soekarno lebih banyak menyetujui pendapat mereka dalam hal pelaksanaan pemurnian ibadah dan aksi sosial. Sebaliknya, pemikiran Soekarno tidak selalu sejalan dengan mereka terutama yang menyangkut soal politik, teologi, dan hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan. Ada beberapa hal yang menyebabkan demikian, Pertama, gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan pada pembaruan yang muncul di Mesir, seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta pembaruan dari India. Sementara itu Soekarno menyerap semua pemikiran pembaruan Islam baik dari Mesir, Turki, India. Kedua, para pemikir gerakan pembaruan Indonesia cenderung melihat permasalahan Islam Indonesia dalam ruang lingkup solidaritas Islam Internasional. Sedangkan Soekarno melihat dalam ruang lingkup nasional Indonesia. Dengan demikian, bagi Soekarno aspek kebangsaan merupakan hal yang amat penting. Ketiga, Soekarno tidak hanya melengkapi diri dengan kepustakaan yang bersifat keislaman, tetapi juga melengkapi dengan Sosialisme, Komunisme, dan aliran-aliran filsafat lainnya.
            Berbagai gerakan dan perkembangan pemikiran keislaman yang tumbuh di Mesir, Turki, dan anak benua India. Bernard Dahm menyimpulkan, bahwa kerangka pemikiran soekarno tentang Islam ada 3 hal : 1, hanya Islamlah yang menekankan persamaan. 2, Islam adalah agama yang sederhana dan rasional. 3, Islam adalah Kemajuan.
            Soekarno berusaha menggabungkan faham demokrasi dengan ajaran Islam, dengan mengatakan bahwa pengutamaan kelompok Sayyid akan membawa munculnya sistem aristokrasi dalam Islam dan apabila hal itu terjadi, maka akan suburlah kehidupan sistem feodal dikalangan ummat Islam. Sistem feodal merupakan awal dari timbulnya penjajahan sebagian manusia terhadap manusia yang lain. Penolakannya terhadap pengutamaan hak-hak sayyid ini sejalan dengan pandangan politiknya yang antielitisme, antikolonialisme dan anti-imperialisme.
Ketika Islam menekankan persamaan maka penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang didasarkan prestasi sosial yang dihasilkannya merupakan suatu kewajaran, tetapi penghargaan kepada seseorang karena keturunannya merupakan perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi sosial. Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu. Dalam pandangan Soekarno, ikatan solidaaritas bangsa Indonesia bukan karena persamaan darah akan tetapi karna persamaan nasib terhadap penderitaan akibat dari praktik eksploitasi yang dijalankan kolonialisme. Apabila lebih didalami lagi maka pemahaman terhadap rasa senasib dan sepenanggungan itu pada dasarnya hanya dapat dipahami dikalangan elit-elit politik yang melek huruf dan perkembangan politik dan kurang difahami oleh masyarakat yang berada dilapisan akar rumput. Kalaupun terdapat perbedaan diantara manusia bukan karena ikatan primordial seperti suku, ras ataupun budaya akan tetapi karena pertimbangan prestasinya. Penilaian terhadap status individu dalam kehidupan sosial ditentukan oleh dua hal yaitu kedudukan karena keturunan ascribed status dan kedudukan berdasarkan prestasi achieved status.
Selanjutnya menurut Soekarno pengertian rasioanal adalah bahwa agama bukan hanya tidak bertentangan dengan kerangka berfikir yang rasional akan tetapi lebih jauh lagi yaitu penggunaan akal fikiran menjadi keharusan dalam memahami pesan kewahyuaan. Karena wahyu haya dapat dimaknai manakala wahyu berbicara tentang dirinya tanpa memerlukan intervensi atau rekayasa interpretasi manusia. Dalam kaitan ini, banyak terdapat ayat al-qur’an maupun sabda rasul yang isinya dukungan wahyu terhadap penggunaan akal. Selanjutnya, muatan pesan wahyu itu dapat dipersempit atau diperluas sesuai dengan kebutuhan rasionalitas manusia itu sendiri. Sehingga kebutuhan penjelasan terhadap makna wahyu berbeda antara tingkat pemahaman orang aawam dengan filosof maupun seorang sufi namun semuanya berangkat dari ayat dan hadis yang sama itu lah yang dimaksud dengan simplicity.
Berbicara Islam is Progress, Islam adalah kemajuan artinya seluruh pernyataan ayat maupun hadist adalah berisi pesan untuk mendorong manusia selalu berpandangan optimis ke masa depan sementar refleksi terhadap masa lalu di perlukan sekedar sebagai iktibar untuk menatap perjalanan kehidupan di masa depan. Sekalipun mereka dihadapkan kepada berbagai tantangan bahkan kegagalan maka hal itu semua mengandung hikmah oleh karena itu, tidak ada tempat bagi seorang muslim untuk bersikap putus asa.
Potensi “kemajuan” dalam Islam itu sesungguhnya bersumber dari dua faktor. Pertama, landasan akidah yaitu ajaran tauhid sebagai pernyataan peng-Esaan Allah. Dalam ucapan zikir kita sehari-hari lafz jalalah makna kata La ilaha illa Allah tidak sekedar dimaknai tidak ada tuhan yang disembah selain Allah tetapi meningkat lagi dengan pesan politis yaitu tidak ada tuhan yang patut dita’ati selain Allah La mutha’a illa Allah. Kedua,  unsur elastisitas ajarannya. Landasan akidah ini akan menyinari setiap pribadi manusia dan juga hubungan komunitas dalam Islam. Negara sebagai penjelmaan komunitas Islam itu, menurut Soekarno, harus bertuhan karena tanpa adanya landasan akidah, manusia akan mengalami kecelakaan dalam hidupnya. Pengakuan kepercayaan kepada tuhan mempunyai pengertian bahwa fungsi hidup bagi manusia adalah mengabdi kepada tuhan yang maha Esa, mengabdi pada tanah air, bangsa dan cita-cita. Prinsip akidah ini berwujud dalam bentuk amal ibadaa sehari-hari, dan pelaksanaan ibada akan menghidupkan dinamika ajaran Islam dalam kehidupan pribadi. Jadi sungguh pun Soekarno mengkritik praktik tasbih, dupa, jubah, dan sebagainya, tetapi hal ini bukan berarti menolak pentingnya pelaksanaan ibada bagi orang muslim. Karena pelaksanaan ibadah itu sendiri sangat penting artinya dalam pribadi yang sesungguhnya


Penutup
Kerukunan itu sifatnya pasang surut tergantung dari rekayasa intervensi yang dilakukan oleh kalangan cendekiawan. Selain yang bersifat hubungan sosial kemasyarakatan maka pendekatan yang perlu dilakukan secara akademis melalui pengembangan studi ilmu agama khususnya perbandingan agama. Studi ilmu perbandingan agama tidaklah mencari kebenaran yang baru atau membanding-bandingkan ajaran antar agama. Studi tersebut dimulai dengan prinsip setuju dalam perbedaan “Agree in Disagreement” sehingga saling berpegang teguh pada ajaran yang diyakini dan juga saling mengakui keberadaan agama-agama yang berbeda itu. Setiap agama mempunya 2 klaim diantaranya klaim kebenaran Truth Claim dan klaim keselamatan Salvation Claim, sehingga studi agama-agama tidak dimaksudkan untuk memperlemah dua klaim tersebut. Sebagai sesama warga khususnya INDONESIA yang diperlukan adalah mengetahui perbandingan sikap dan pengalaman keberagamaan  yang kemudian melahirkan etos keberagamaan. Setiap ummat beragama berangkat dari sikap dan pengalaman keberagamaan masing-masing berupaya memberikan sumbangan terhadap pembangunan karakterbangsa.
Salam Indonesia
Satu Nusa Satu Bangsa Satu bahasa




*untuk mengenang jasa Sarinah, Sukarno menulis sebuah buku dengan judul Sarinah  dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1947 oleh Oesaha Penerbit Goentoer
* pengamatan Sukarno selama di sekolah dasar adanya perlakuan diskriminasi antara anak-anak Belanda dengan Pribumi.
* walau pun di sekolah ini tidak terlalu menonjol akan diskriminasi tetapi jarangnya anak Pribumi yang sekolah di tempat ini

Sekilas Tentang Hadis Qudsi

BAB I

PENDAHULUAN


Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam, selain al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.










BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hadis Qudsy

Menurut pendapat Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib setiap hadis yang mengandung penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut hadis qudsi atau hadis ilahi.[1] Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb. Sedangkan menurut Prof.Dr. T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, yang di maksud hadis Qudsi ialah perkataan-perkatan yang di sabdakan Nabi SAW. Dengan mengatakan, “Allah berfirman…” Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah, Nabi hanya meriwayatkannya dari Allah SWT.[2]
Ada pula yang mendefinisikan hadis Qudsi dengan lafaz yang berbeda dengan yangdi sebutkan di atas tetapi memiliki makna yang sama, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Al-Thibby. Beliau mengartikan hadis Qudsi sebagai titah Tuhan yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam mimpi atau dengan jalan ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[3] Dan selain itu masih banyak beberapa pendapat lainya.
Perbedaan Hadis Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy) Dan Al-Qur’an
1. Perbedaan Hadis Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy)
Menurut Al-Thibby, perbedaan yang terpokok antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi ialah hadis Qudsi sesuatu yang di kabarkan oleh Allah SWT, secara ilham atau impian yang maknanya kemudian di kabarkan oleh Rosullullah kepada umatnya dengan bahasa beliau sendiri. Sedangkan hadis-hadis yang lain, tidaklah di sandarkan atau tidak di isnadkan dan di riwayatkan dari Allah SWT.[4]
2. Perbedaan hadis Qudsi dengan Al-Qur’an
Di dalam kitab syarah hadis Qudsi yang di terjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi menerangkan mengenai perbedaan hadis Qudsi dan Al-Qur’an, sebagaimana yang di terangkan oleh Hamiddudin. Beliau menyebutkan ada enam poin yang membedakan hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, di antaranya:[5]
1.      Al-Qur’an memiliki sifat mu’jiz (mengalahkan pihak lawan yang akan menandinginya), berbeda dengan hadis Qudsi.
2.      Ibadah solat tidak sah tanpa di iringi dengan bacaasn Al-Qur’an, berbeda dengan hadis Qudsi.
3.      Orang yang mengingkari Al-Qur’an statusnya berubah menjadi kafir, tidak demikian halnya orang yang mengingkari hadis Qudsi.
4.      Turunya wahyu Al-Qur’an selalu di sertai dengan keberadaan Jibril AS,yang menjadi mediator antara Nabi dan Allah, berbeda dengan hadis Qudsi.
5.      Lafaz atau redaksi Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, berbeda dengan hadis Qudsi yang redaksinya dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
6.      Al-Qur’an hanya boleh di sentuh oleh orang-orang yg sedang keadaan suci dalam arti suci dari hadas kecil maupun hadas besar, berbeda dengan kumpulan hadis Qudsi dalam kitab boleh di sentuh sewaktu-waktu meskipun dalam keadaan tidak suci.

v  Perlu di ketahui, bahwa untuk mengetahui hadis Qudsi ada beberapa tanda tertentu, yakni berupa kata-kata berikut:




            Itulah beberapa tanda untuk mengetahui hadis Qudsi.
Mengenai jumlah hadis Qudsi tidak begitu banyak seperti halnya hadis Nabawi. Sebagian Ulama ada yang menyatakan, bahwa jumlah hadis Qudsi ada sekitar 100 buah. Menurut Al-Alamah Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitamy, jumlah hadis Qudsi lebih dari 100 buah.[6]
Menurut Syaikh Abdur Rauf Ibnu Aliy Al-Manawi, yang telah mengumpulkan hadis-hadis Qudsi dalam kitabnya “al-Ithafatus Saniyah bil Ahadisil Qudsiyyah”. Di antara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Qudsi, ialah :[7] 



Dan kitab karangan Al-Manawi seperti yang telah di sebutkan di atas.
Contoh Hadis Qudsi:
  
“ Dari Abu Hurairah ra. Dia mengatakan bahwa Rosullullah SAW, bersabda : “ Allah Azza wajalla berfirman, ‘setiap amal perbuatan anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Dia adalah milikku, dan aku sendiri yang akan membalasnya. Demi dzat yang menguasai jiwa Muhammad, baunya mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah di bandingkan dengan minyak misik’ ”.

B. Kitab al-Hadits al-Mutawatirah

1. Pengertian Hadits al-Mutawatirah

Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-mutawatirah lebih mendalam, terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-mutawatirah.
Menurut bahasa, mutawatir merupakan isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut, beriring-iring).
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka lupa secara serentak.
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai mutawatir.
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.[8]

2. Pembagian Hadis Mutawatir

Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada 3 yaitu :
A. Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama.
Contoh hadis mutawatir lafdhi yang artinya:
Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadis Riwayat Bukhari). “
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
B. Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi.
Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya:
“ Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
C. Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.

3. Kedudukan Hadis Mutawatir

Seperti telah disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad .[9]

C. Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir

Para Ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab;
b. Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu; dan
c. Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu:
 كتاب الازهار المتناثرة في الاخبار المتواترة
D. Biografi pengarang

Nama lengkap Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman Bin Abu Bakar Muhammad al-Khudri as-Suyuthi as-Syafi’i. Beliau hafal 200.000 hadits. Beliau mengatakan “kalau seandainya saya mendapati lebih dari 200.000, niscaya saya akan menghafalnya.” Beliau lahir setelah maghrib pada malam Ahad di awal Rajab 849 H. Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40 tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul. Dan beliau wafat pada malam jum’at, tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.

E. Metode dan Sistematika penulisan hadits

As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap hadits.

F. Standar yang digunakan

As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.

G. Isi kitab

Kitab hadits al-Azhar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan yang lainnya.

H. Cara menggunakannya

Dilihat dari sistematika penulisan kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab tersebut.


I. Kesimpulan

Ø  Setiap hadis yang mengandung penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut hadis qudsi atau hadis ilahi.[10] Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb.
Ø  Hadis Qudsi sebagai titah Tuhan yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam mimpi atau dengan jalan ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[11]
Ø  Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Ø  Hadis Mutawatir juga di bagi menjadi tiga bagian: 1. Hadis Mutawatir Lafdhi, 2. Hadis Mutawatir Maknawi, 3. Hadis Mutawatir ‘Amali.


BAB III
PENUTUP

Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu dan Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Dan diantara kitab-kitab hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits mutawatir ataupun hadits qudsi.


DAFTAR PUSTAKA

v  Imam Muslim, Shahih Muslim, Al-Qohiroh, Daar Al-Hadis : 1431 H/2010 M jilid 1-2
v  Syarah Hadis Qudsi, penj oleh Wawan Djunaedi Soffan, Jakarta, Pustaka Azzam: 2009
v  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
v  Prof.Dr.T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
v  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, (Angkasa :1987) h.24
v  Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
v  A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
















[1]  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[2]  Prof.Dr.T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
[3]  ibid
[4]  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, (Angkasa :1987) h.24
[5]  Syarah Hadis Qudsi, penj, oleh Wawa Djunaedi Soffandi, Jakarta (Pustaka Azzam:2009),h. 9
[6]  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.25
[7]  Ibid
[8]  A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.

[9]  Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.

[10]  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[11]  ibid