Kedudukan Islam Dalam
Pandangan Sukarno
Sukarno &
Modernisme Islam
Paper
Disampaikan pada
Diskusi
Insan Cendekia
Institute
Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Kamis, 21 November 2013
Pendahuluan
“ Islam is Progress,
Islam adalah Kemajuan”, tulis Bung Karno dalam
salah satu “Surat-surat Islam dari
Endeh”. Dengan itu, kita tahu, Bung Karno lebih berbicara perspektif, berbicara
Islam yang semestinya. Pada saat yang sama, dengan semangat yang bergelora, ia
cenderung untuk mngemukakan bahwa “Islam yang seharusnya” itu adalah hakikat
Islam itu sendiri.
Dalam
rumusannya akan hakikat Islam, anggapan Bung Karno masih banyaknya pergumulan
para muslimin dalam TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat), dan Islam yang
dirundung Taqlidisme (sifat yang ikut-ikut-an tanpa petunjuk yang jelas).
Dari
kutipan seperti ini, Islam is Progress, dan
Progress berarti pembikinan baru Creation baru- bukan mengurangi barang
yang dulu, bukan mengCopy barang lama.
Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya
perubahan tafsir dan hukum, akan nampak bahwa ia sebenarnya cenderung menyambut
pandangan yang menggabungkan antara Empirisme dan Rasionalisme dengan kata lain
Pragmatisme.
Dengan
pandangan Pragmatis Bung Karno memujikan apa yang namanya elastisitas hukum
Islam, seraya mengutip Ameer Ali dalam The
Spirit of Islam. Hukum yang digambarkan seperti karet yang lentur membuat
Islam dapat beradaptasi “bisa cocok dengan semua kemajuan”.
Itulah
sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus
ada bukan karena ia ditakdirkan untuk abadi, dengan ajaran yang kekal,
melainkan karena ia terus-menerus bisa menjadi berharga. Dalam masa perjuangan
antikolonialiasme harga itu terletak pada perannya untuk menggerakkan manusia
terutama orang banyak, untuk menumbangkan apa yang tidak adil. Dalam abad
modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman yang bergerak.
Riwayat Hidup
Beliau
lahir pada hari kamis, 6 Juni 1901, di Kampung Lawang Seketeng, Surabaya, dan
wafat pada hari Minggu, 21 juni 1970. Ayahnya bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo
dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Sukemi adalah satu dari delapan anak
Raden Harjodikromo berasal dari bangsawan Jawa kelas Priyayi.
Pada diri Sukemi ada 3
unsur pemikiran yaitu Pola Pemikiran Barat, Agama Islam dan Theosofi
Setidaknya ada 2
pelajaran yang diterima oleh Sukarno, Pelajaran Pertama dari lingkungan
keluarganya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa membentuk perkembangan
Islam menjadi Sinkretis(Penyatuan
unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu dan Islam) dan Puritan (berusaha mengikuti ajaran Islam dengan Taat). Pelajaran
kedua ketika adanya konflik antara keluarga ibu dengan bapaknya yang menjadi
titik permasalahannya pada kedaerahan dan agama
Selain dididik oleh
kedua orang tua beliau, Sukarno juga mendapat pencerahan dari pembantu rumah
tangga beliau yaitu Sarinah. Sarinah memberi pesan terhadap Sukarno akan
kerakyatan yaitu menyangkut sikap terhadap nasib rakyat kecil. Sarinah berkata,
“Karno, yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau
harus pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”[1]
Pengalamannya dalam
pendidikan modern bertambah seiring dorongan para pemuda yang ingin menjadi
pemimpin dalam masyarakat tradisional, demikian halnya beliau dipisahkan dari
masyarakat untuk dipersiapkan menjadi pemimpin di masyarakat yang sama, dengan
hal ini beliau diajarkan oleh gurunya yang bernama, Tjokroaminoto. Membentuk
pemuda dan mengantarkan kembali pada perbatasan masyarakat sehari-hari setelah
usianya dianggap matang.
Tidak hanya mendapatkan
bimbingan dari gurunya Tjokroaminoto, beliau juga banyak bergaul dan
berkomunikasi dengan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di rumah
Tjokroaminoto bergaul dengan kalangan komunis seperti tokoh, Alimin, Musso,
Semaun dan Darsono. Dikalangan Islam, ia bergaul dengan KH Ahmad Dahlan dan Tjokroaminoto. Bagi
Sukarno, usaha melarikan diri ke perpustakaan adalah sebagai cara pelarian
terbaik dengan mengalihkan kesulitan-kesulitan hidup yang dideritanya. Bagi
Sukarno, Tjokroaminoto bukan saja tokoh politik, tetapi juga berperan sebagai
pemikir masalah-masalah keislaman dan tempat bertemunya aliran-aliran.
Pada tanggal 10 Juni
1921, Sukarno menyelesaikan pendidikannya di HBS Surabaya dan ia berniat
melanjutkan ke negeri Belanda. Tidak ada sumber yang jelas akan kejelasannya
beliau gagal berangkat ke Belanda, apakah dengan alasan tidak adanya biaya atau
penyebab lain. Tetapi menurut Ibu Wardoyo, faktor yang menjadi gagalnya Sukarno
berangkat adalah tidak adanya persetujuan dari ibunya.
Pada minggu terakhir
juni 1921, Sukarno mulai memasuki kota Bandung dan mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa Technische Hoge School. Sejak tinggal di bandung, ia berkenalan
dengan para pemikir yang tidak terikat lagi dengan pemirikan politik keislaman
seperti Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi, Iskaq Tjokrodisurjo,
Sartono dan sebagainya.
Sejak Suka rno di Bandung, kegiatan dalam kancah
perpolitikan semakin meningkat. Sebagai resiko dari keterlibatannya ia ditahan
di penjara Sukamiskin karena dituduh melanggar peraturan larangan penyebaran
propaganda yang mengganggu ketertiban umum.
Hikmah yang didapat
oleh Sukarno selama di penjara Sukamiskin adalah tersedianya waktu untuk
memikirkan kembali masalah-masalah keislaman yang pernah didapat sewaktu beliau
di Surabaya. Sepertinya masa pengasingan merupakan kesempatan bagi Sukarno
untuk mendalami masalah-masalah keislaman.
Sukarno tidak sempat
menyelesaikan semua masa tahanannya di penjara Sukamiskin dikarenakan ada
keringanan dari Gubernur Jenderal De Gref, pada tanggal 31 Desember 1931.
Setelah dibebaskan dari penjara tersebut beliau kembali ke dunia polotik. Pemerintah kolonial beranggapan bahwa
kegiatan politik yang dilakukan oleh Sukarno adalah berbahaya, oleh karena itu
ia diasingkan ke Ende Flores.
Perkembangan
Pemikiran Soekarno
Yang menjadi dasar
pemikiran Soekarno adalah dinamika perkembangan pemikiran-pemikiran yang hidup
di dalam masyarakatnya, di samping kenyataan sesungguhnya dari kehidupan
bangsanya. Dinamika itu terlihat jelas hadir dalam aliran pemikiran
nasionalisme, yang antara lain mendapat dorongan reneisans kebudayaan yang
berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Namun
sekalipun demikian, ketertarikan Soekarno kepada gerakan pembaruan di Indonesia
tidak berlangsung lama. Tampaknya Soekarno lebih banyak menyetujui pendapat
mereka dalam hal pelaksanaan pemurnian ibadah dan aksi sosial. Sebaliknya,
pemikiran Soekarno tidak selalu sejalan dengan mereka terutama yang menyangkut
soal politik, teologi, dan hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan. Ada beberapa
hal yang menyebabkan demikian, Pertama,
gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan pada
pembaruan yang muncul di Mesir, seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, serta pembaruan dari India. Sementara itu Soekarno menyerap semua
pemikiran pembaruan Islam baik dari Mesir, Turki, India. Kedua, para pemikir gerakan pembaruan Indonesia cenderung melihat
permasalahan Islam Indonesia dalam ruang lingkup solidaritas Islam
Internasional. Sedangkan Soekarno melihat dalam ruang lingkup nasional
Indonesia. Dengan demikian, bagi Soekarno aspek kebangsaan merupakan hal yang
amat penting. Ketiga, Soekarno tidak
hanya melengkapi diri dengan kepustakaan yang bersifat keislaman, tetapi juga
melengkapi dengan Sosialisme, Komunisme, dan aliran-aliran filsafat lainnya.
Berbagai
gerakan dan perkembangan pemikiran keislaman yang tumbuh di Mesir, Turki, dan
anak benua India. Bernard Dahm menyimpulkan, bahwa kerangka pemikiran soekarno
tentang Islam ada 3 hal : 1, hanya Islamlah yang menekankan persamaan. 2, Islam
adalah agama yang sederhana dan rasional. 3, Islam adalah Kemajuan.
Soekarno
berusaha menggabungkan faham demokrasi dengan ajaran Islam, dengan mengatakan
bahwa pengutamaan kelompok Sayyid akan membawa munculnya sistem aristokrasi
dalam Islam dan apabila hal itu terjadi, maka akan suburlah kehidupan sistem
feodal dikalangan ummat Islam. Sistem feodal merupakan awal dari timbulnya
penjajahan sebagian manusia terhadap manusia yang lain. Penolakannya terhadap
pengutamaan hak-hak sayyid ini sejalan dengan pandangan politiknya yang
antielitisme, antikolonialisme dan anti-imperialisme.
Ketika Islam menekankan
persamaan maka penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang didasarkan
prestasi sosial yang dihasilkannya merupakan suatu kewajaran, tetapi
penghargaan kepada seseorang karena keturunannya merupakan perbuatan yang dapat
merusak sendi-sendi sosial. Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki
ilmu. Dalam pandangan Soekarno, ikatan solidaaritas bangsa Indonesia bukan
karena persamaan darah akan tetapi karna persamaan nasib terhadap penderitaan
akibat dari praktik eksploitasi yang dijalankan kolonialisme. Apabila lebih
didalami lagi maka pemahaman terhadap rasa senasib dan sepenanggungan itu pada
dasarnya hanya dapat dipahami dikalangan elit-elit politik yang melek huruf dan
perkembangan politik dan kurang difahami oleh masyarakat yang berada dilapisan
akar rumput. Kalaupun terdapat perbedaan diantara manusia bukan karena ikatan
primordial seperti suku, ras ataupun budaya akan tetapi karena pertimbangan
prestasinya. Penilaian terhadap status individu dalam kehidupan sosial
ditentukan oleh dua hal yaitu kedudukan karena keturunan ascribed status dan kedudukan berdasarkan prestasi achieved status.
Selanjutnya menurut
Soekarno pengertian rasioanal adalah bahwa agama bukan hanya tidak bertentangan
dengan kerangka berfikir yang rasional akan tetapi lebih jauh lagi yaitu
penggunaan akal fikiran menjadi keharusan dalam memahami pesan kewahyuaan.
Karena wahyu haya dapat dimaknai manakala wahyu berbicara tentang dirinya tanpa
memerlukan intervensi atau rekayasa interpretasi manusia. Dalam kaitan ini,
banyak terdapat ayat al-qur’an maupun sabda rasul yang isinya dukungan wahyu
terhadap penggunaan akal. Selanjutnya, muatan pesan wahyu itu dapat dipersempit
atau diperluas sesuai dengan kebutuhan rasionalitas manusia itu sendiri.
Sehingga kebutuhan penjelasan terhadap makna wahyu berbeda antara tingkat
pemahaman orang aawam dengan filosof maupun seorang sufi namun semuanya
berangkat dari ayat dan hadis yang sama itu lah yang dimaksud dengan simplicity.
Berbicara Islam is Progress, Islam adalah kemajuan
artinya seluruh pernyataan ayat maupun hadist adalah berisi pesan untuk
mendorong manusia selalu berpandangan optimis ke masa depan sementar refleksi
terhadap masa lalu di perlukan sekedar sebagai iktibar untuk menatap perjalanan
kehidupan di masa depan. Sekalipun mereka dihadapkan kepada berbagai tantangan
bahkan kegagalan maka hal itu semua mengandung hikmah oleh karena itu, tidak
ada tempat bagi seorang muslim untuk bersikap putus asa.
Potensi “kemajuan”
dalam Islam itu sesungguhnya bersumber dari dua faktor. Pertama, landasan akidah yaitu ajaran tauhid sebagai pernyataan
peng-Esaan Allah. Dalam ucapan zikir kita sehari-hari lafz jalalah makna kata La ilaha
illa Allah tidak sekedar dimaknai tidak ada tuhan yang disembah selain
Allah tetapi meningkat lagi dengan pesan politis yaitu tidak ada tuhan yang
patut dita’ati selain Allah La mutha’a
illa Allah. Kedua, unsur elastisitas ajarannya. Landasan akidah
ini akan menyinari setiap pribadi manusia dan juga hubungan komunitas dalam
Islam. Negara sebagai penjelmaan komunitas Islam itu, menurut Soekarno, harus
bertuhan karena tanpa adanya landasan akidah, manusia akan mengalami kecelakaan
dalam hidupnya. Pengakuan kepercayaan kepada tuhan mempunyai pengertian bahwa
fungsi hidup bagi manusia adalah mengabdi kepada tuhan yang maha Esa, mengabdi
pada tanah air, bangsa dan cita-cita. Prinsip akidah ini berwujud dalam bentuk
amal ibadaa sehari-hari, dan pelaksanaan ibada akan menghidupkan dinamika
ajaran Islam dalam kehidupan pribadi. Jadi sungguh pun Soekarno mengkritik
praktik tasbih, dupa, jubah, dan sebagainya, tetapi hal ini bukan berarti
menolak pentingnya pelaksanaan ibada bagi orang muslim. Karena pelaksanaan
ibadah itu sendiri sangat penting artinya dalam pribadi yang sesungguhnya
Penutup
Kerukunan itu sifatnya
pasang surut tergantung dari rekayasa intervensi yang dilakukan oleh kalangan
cendekiawan. Selain yang bersifat hubungan sosial kemasyarakatan maka
pendekatan yang perlu dilakukan secara akademis melalui pengembangan studi ilmu
agama khususnya perbandingan agama. Studi ilmu perbandingan agama tidaklah
mencari kebenaran yang baru atau membanding-bandingkan ajaran antar agama.
Studi tersebut dimulai dengan prinsip setuju dalam perbedaan “Agree in Disagreement” sehingga saling
berpegang teguh pada ajaran yang diyakini dan juga saling mengakui keberadaan
agama-agama yang berbeda itu. Setiap agama mempunya 2 klaim diantaranya klaim
kebenaran Truth Claim dan klaim
keselamatan Salvation Claim, sehingga
studi agama-agama tidak dimaksudkan untuk memperlemah dua klaim tersebut.
Sebagai sesama warga khususnya INDONESIA yang diperlukan adalah mengetahui
perbandingan sikap dan pengalaman keberagamaan
yang kemudian melahirkan etos keberagamaan. Setiap ummat beragama
berangkat dari sikap dan pengalaman keberagamaan masing-masing berupaya
memberikan sumbangan terhadap pembangunan karakterbangsa.
Salam
Indonesia
Satu
Nusa Satu Bangsa Satu bahasa