Kamis, 09 Januari 2014

Syariah Dalam Al-Quran

A.    PENDAHULUAN

Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna. Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah teks, Alquran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga. Ibarat sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang tak pernah usai.
Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi saja dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban “teks”. 

B.     PEMBAHASAN

a. Alquran dan Syariah

1) Alquran

Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab dikenal dengan berbagai sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang artinya ‘bacaan’–disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan mazhab apa pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks Alquran dipandang sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-kalimatnya.[1]
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan Alquran ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian sahabat Nabi memeliharanya sebelum dibukukan dan dikumpulkan, begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Alquran berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti ini dinamai periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu, Alquran itu bersifat otentik.
Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hapalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian, hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (isteri Nabi). Terakhir, diadakan pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga menghasilkan suatu naskah otentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang lain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai sekarang ini.[2]
Alquran berisikan beberapa tema atau ajaran pokok. Pertama sekali, Alquran berbicara tentang hakikat realitas, yaitu realitas Tuhan dan hubungannya dengan alam dunia. Kedua, Alquran menjelaskan secara panjang lebar hakikat alam dan dapat disebut sebagai pembahasan area kosmos Islam yang terkait dalam proses pewahyuan Alquran. Selanjutnya, Alquran banyak bercerita tentang sejarah kehidupan para nabi. Akan tetapi, kisah sejarah ini dikemukakan dan diuraikan lebih karena kepentingannya sebagai pelajaran bagi kehidupan iman di dalam jiwa dan bukan sebagai suatu indeks atau kumpulan kejadian sejarah masa lalu. Sejarah kehidupan nabi di dalam Alquran mengandung pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup di dunia sekarang ini.[3]
Surah-surah dan ayat-ayat Alquranmerupakan jalan dan kompas dalam kehidupan umat Islam. Akar dari segala dalil atau argumentasi Islam, dari mulai filsafat dan teologi hingga hukum dan etika sampai pada sains dan seni dapat ditemukan di dalamnya. Semua pergerakan yang muncul dalam sejarah Islam, apakah itu bersifat keagamaan, intelektual, sosial, ataupun politik, mendapatkan legitimasi dari Alquran. Para ahli hukum berusaha menginterpretasikan ayat-ayat hukum dalam Alquran, sedangkan para ahli tasawuf bekerja mencari makna hakikinya. Para filosof menekuni ungkapan-ungkapan filosofis Alquran, sedangkan ahli teologi sibuk memperdebatkan uraian Alquran tentang hakikat sifat Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia. Hingga saat ini, sama dengan saat lahirnya, Alquran tetap merupakan realitas sentral dalam Islam dan jantung kehidupan umat Muslim baik dalam aspek kehidupan individu maupun sosial. 

2) Syariah

Syariah secara umum dipakai dalam dua arti: arti luas dan arti sempit.[4] Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit pada taraf individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah identik dengan din. Atas dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan usulnya, dan seterusnya.
Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari ajaran Islam yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret, baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka menyebut kata syariah.
Syariah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian. [5] Pertama, syariah dalam arti sumber hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syariah dalam pengertian sumber hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga, syariah dalam pengertian hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut al-Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan metode-metode hukum lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa syariah merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang paling penting bagi kaum Muslimin dan merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan kepatuhan kepada hukum Allah dan tidak melampaui hudud yang telah ditetapkan-Nya. Demikian syariah merepresentasikan sistem nilai keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi tingkah laku dan perbuatan setiap orang Muslim.[6]

b. Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah

Sumber paling utama bagi syariah adalah Alquran, yang oleh beberapa sarjana diklaim sebagai satu-satunya sumber dasar, dan semua sumber lainnya hanya untuk menjelaskan dan merinci aturan-aturan pokok dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Kitab Suci. Terdapat sekitar 350 ayat hukum, atau yang dalam hukum Barat disebut juris corpus, dalam Alquran. Sebagian ayat tersebut berkenaan dengan masalah hukum secara spesifik dan sanksi-sanksi terhadap perbuatan yang diharamkan dan dilarang. Sebagian besar berkenaan dengan aturan-aturan umum dalam beribadah dan beberapa ayat merupakan perincian aturan-aturan umum dimaksud. Beberapa ayat yang lain menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya, banyak ayat yang membicarakan keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-hak dalam hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Alquran, tetapi ayat-ayat ini sangat esensial sebagai dasar hukum Islam.[7]
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran.[8] Apabila tidak ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di antaranya:
  1. Keberadaan Alquran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran Alquran sebagai petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumber hukum syariah.
  2. Informasi dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari Allah, di antaranya Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang karena (membela) orang-orang yang khianat.
  3. Kemukjizatan Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga manusia tidak dapat membuat yang sama atau melebihi. Alquran adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulannya yang diutus untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Bukti kemukjizatan Alquran dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa Arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan semisal Alquran meskipun satu ayat saja. Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa Arab yang terkenal memiliki sastra yang tinggi, meskipun mereka mempunyai kesempatan menjawab tantangan itu.
Bentuk kemukjizatan Alquran ini dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa mana pun. Di samping itu terbukti dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang kejadian masa lalu yang sesuai dengan pemberitaan dalam kitab  suci sebelumnya, misalnya kisah Alquran tentang Ashabul Kahfi yang diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi sendiri tidak pernah belajar dan bergaul dengan mereka.[9]
Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang ghaib, seperti dalam surat Yunus ayat 92, yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di laut merah diselamatkan Allah sebagai bukti dan pelajaran bagi generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi Firaun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah.[10]
Selain itu, mukjizat Alquran dapat dilihat dari keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Di antara keseimbangan itu tergambar pada keseimbangan antara antonimnya, seperti kata alhayah (hidup) dan almaut (mati) yang terulang sebanyak 145 kali dan juga kesimbangan antara sinonimnya, seperti kata alharts dan alziraah (membajak/bertani), terulang sebanyak 14 kali.
Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).[11]
a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran
Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:[12]
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
  2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesame manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
  3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum amaliyah ini berkembanglah ilmu fiqih. Hukum-hukum amaliyah yang terdapat dalam Alquran dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat yang mengatur hubungan dengan sesamanya. 
b. Dalalah Alquran tentang hukum-hukum

Semua umat Islam mengakui bahwa Alquran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini Alquran disebut qath’i al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah Alquran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi ada yang bersifat zanni. Cukup banyak ayat-ayat qathi dalam Alquran. Pengertian qathi ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:
فالنص القطعى الد لا لة هو اللفظ الوارد فى القران الذى يتعين فهمه  ولا يحتمل الا معنى واحدا
Artinya: Nash qathi dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.
Penempatan ayat-ayat ini dalam kategori qathi dalalah dilatarbelakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (esensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena perubahan zaman. Andai kata ayat-ayat ini termasuk kategori zhanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qathi, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Menurut Syatibi,[13] maqasid alsyari dalam menetapkan syariah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qathi karena ketiganya merupakan ushul Alsyariah, Syariah ditetapkan dengan dalil qathi, maka ushul alsyariah lebih utama ditetapkan dengan dalil qathi.
Syatibi tidak mengemukakan ayat qathi mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat tersebut. Namun, diasumsikan ayat-ayat yang mendukung terwujud ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qathi. Misalnya, ushul al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, shalat, puasa, zakat dan haji yang ditunjukkan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qathi.
Sementara ayat-ayat zhanni dalalah merupakan lapangan ijtihad. Ini dipahami dari definisi zhanni dalalah sebagaimana dirumuskan Abd al-Wahhab Khallaf:
النص الظنى الدلالة فهومادل على معنى ولكن يحتمل ان يوول ويصرف عن هذا المعنى ويراد منه معنى غيره
Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwilkan dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain.
Dari definisi ini dipahami suatu ayat zhanni mengandung lebih dari satu pengertian sehingga memungkinkan ditakwil, seperti firman Allah surat Albaqarah, 2: 228
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء...
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Kata quru dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu, apabila quru diartikan dengan suci sebagaimana yang dipahami ulama Syafiiyah  logis dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Impikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu) selama tiga kali suci. Sementara apabila kata quru diartikan sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah adalah benar dan tepat. Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid.
Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat yang zhanni dalalah. Begitu juga dengan lafal am dan mutlak termasuk ayat-ayat zhanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan ijtihad para ulama.

C.     PENUTUP

Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka Alquran datang  dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terinci, yang tersurat maupun yang tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.
Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitab (kitab, buku), hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya, dan orang-orang bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat), syifa (obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan li kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya. Nama-nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa Alquran adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.


DAFTAR PUSTAKA 

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.)

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)
  
Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)

Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970





[1]. Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970
[2]. Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.)
[3]. Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970

[4]. Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.)
[5]. Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970
                            
[6]. Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)
[7]. Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)
[8]. Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970
[9] . Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)
[10]. Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)
[11]. Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970
[12].  Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.)

[13]. Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar