A. PENDAHULUAN
Beberapa komunitas dalam peradaban,
terutama umat Islam, Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan
sempurna. Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan
melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran merupakan
wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya) kepada umat manusia.
Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan
gempuran.
Sebagai sebuah teks, Alquran tidak
pernah kering, apalagi habis. Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya,
tergantung konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan
kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan
Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga. Ibarat
sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi
selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu
“peziarahan” hidup yang tak pernah usai.
Alquran dapat disebut sebagai teks
sentral dalam sejarah peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika
dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa
dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas
landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti
bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat
membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.
Dalam peradaban Islam, Alquran
memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban
dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya.
Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi saja dapat
dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban
Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban
“teks”.
B. PEMBAHASAN
a. Alquran dan Syariah
1) Alquran
Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab
dikenal dengan berbagai sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang
artinya ‘bacaan’–disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan
mazhab apa pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan
ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat
penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks Alquran dipandang
sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti
melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-kalimatnya.[1]
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan
termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah
swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari Allah melalui
malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan Alquran ini dapat dibuktikan
dari kehati-hatian sahabat Nabi memeliharanya sebelum dibukukan dan
dikumpulkan, begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan
memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Alquran
berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan
setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan
disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin
bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti ini dinamai periwayatan
secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan.
Oleh karena itu, Alquran itu bersifat otentik.
Alquran dibukukan pada masa Abu
Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada
dengan hapalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah
direkam dalam mushaf. Kemudian, hasil pembukuan itu disimpan secara aman di
tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan setelah beliau
wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (isteri Nabi). Terakhir, diadakan
pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga menghasilkan suatu naskah otentik
yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke
kota-kota besar lain, sedangkan yang lain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan
standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya
sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai sekarang ini.[2]
Alquran berisikan beberapa tema atau
ajaran pokok. Pertama sekali, Alquran berbicara tentang hakikat
realitas, yaitu realitas Tuhan dan hubungannya dengan alam dunia. Kedua,
Alquran menjelaskan secara panjang lebar hakikat alam dan dapat disebut sebagai
pembahasan area kosmos Islam yang terkait dalam proses pewahyuan Alquran.
Selanjutnya, Alquran banyak bercerita tentang sejarah kehidupan para nabi. Akan
tetapi, kisah sejarah ini dikemukakan dan diuraikan lebih karena kepentingannya
sebagai pelajaran bagi kehidupan iman di dalam jiwa dan bukan sebagai suatu
indeks atau kumpulan kejadian sejarah masa lalu. Sejarah kehidupan nabi di
dalam Alquran mengandung pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup di
dunia sekarang ini.[3]
Surah-surah dan ayat-ayat
Alquranmerupakan jalan dan kompas dalam kehidupan umat Islam. Akar dari segala
dalil atau argumentasi Islam, dari mulai filsafat dan teologi hingga hukum dan
etika sampai pada sains dan seni dapat ditemukan di dalamnya. Semua pergerakan
yang muncul dalam sejarah Islam, apakah itu bersifat keagamaan, intelektual,
sosial, ataupun politik, mendapatkan legitimasi dari Alquran. Para ahli hukum
berusaha menginterpretasikan ayat-ayat hukum dalam Alquran, sedangkan para ahli
tasawuf bekerja mencari makna hakikinya. Para filosof menekuni
ungkapan-ungkapan filosofis Alquran, sedangkan ahli teologi sibuk
memperdebatkan uraian Alquran tentang hakikat sifat Tuhan dan hubungan Tuhan
dengan dunia. Hingga saat ini, sama dengan saat lahirnya, Alquran tetap
merupakan realitas sentral dalam Islam dan jantung kehidupan umat Muslim baik
dalam aspek kehidupan individu maupun sosial.
2) Syariah
Syariah secara umum dipakai dalam
dua arti: arti luas dan arti sempit.[4]
Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang berupa norma-norma
ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun
tingkah laku konkrit pada taraf individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah
identik dengan din. Atas dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang
pengetahuan keagamaan Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan
usulnya, dan seterusnya.
Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari
ajaran Islam yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret,
baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar itu ilmu
syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti sempit inilah
yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka menyebut kata syariah.
Syariah dalam literatur hukum Islam
mempunyai tiga pengertian. [5] Pertama,
syariah dalam arti sumber hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Kedua,
syariah dalam pengertian sumber hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang
masa maupun sumber hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga,
syariah dalam pengertian hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang
disebut al-Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang
diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para mujtahid,
dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan metode-metode hukum
lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa syariah
merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang paling penting bagi kaum
Muslimin dan merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal
Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam sumber-sumber
pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan kepatuhan kepada hukum Allah dan
tidak melampaui hudud yang telah ditetapkan-Nya. Demikian syariah
merepresentasikan sistem nilai keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi
tingkah laku dan perbuatan setiap orang Muslim.[6]
b. Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah
Sumber paling utama bagi syariah
adalah Alquran, yang oleh beberapa sarjana diklaim sebagai satu-satunya sumber
dasar, dan semua sumber lainnya hanya untuk menjelaskan dan merinci
aturan-aturan pokok dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Kitab Suci. Terdapat
sekitar 350 ayat hukum, atau yang dalam hukum Barat disebut juris corpus,
dalam Alquran. Sebagian ayat tersebut berkenaan dengan masalah hukum
secara spesifik dan sanksi-sanksi terhadap perbuatan yang diharamkan dan
dilarang. Sebagian besar berkenaan dengan aturan-aturan umum dalam beribadah
dan beberapa ayat merupakan perincian aturan-aturan umum dimaksud. Beberapa
ayat yang lain menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya, banyak
ayat yang membicarakan keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-hak dalam
hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan sebagian kecil dari
jumlah keseluruhan ayat Alquran, tetapi ayat-ayat ini sangat esensial sebagai
dasar hukum Islam.[7]
Para ulama dan semua umat sepakat
menjadikan Alquran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariah Islam,
termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan
suatu hukum harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran.[8]
Apabila tidak ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan
dalil-dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat
Islam menjadikan Alquran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah
alasan, di antaranya:
- Keberadaan
Alquran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini
menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran Alquran sebagai
petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan
sebagai sumber hukum syariah.
- Informasi
dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari Allah, di antaranya
Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang karena (membela) orang-orang yang khianat.
- Kemukjizatan
Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetapi
berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan,
sehingga manusia tidak dapat membuat yang sama atau melebihi. Alquran
adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulannya yang diutus
untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Bukti kemukjizatan Alquran
dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa Arab dan manusia secara
keseluruhan membuat tandingan semisal Alquran meskipun satu ayat saja.
Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa Arab yang
terkenal memiliki sastra yang tinggi, meskipun mereka mempunyai kesempatan
menjawab tantangan itu.
Bentuk kemukjizatan Alquran ini
dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli
bahasa mana pun. Di samping itu terbukti dengan kebenaran Alquran dalam
pemberitaan tentang kejadian masa lalu yang sesuai dengan pemberitaan dalam
kitab suci sebelumnya, misalnya kisah Alquran tentang Ashabul Kahfi
yang diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi
sendiri tidak pernah belajar dan bergaul dengan mereka.[9]
Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran
Alquran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang ghaib, seperti dalam surat Yunus
ayat 92, yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di laut
merah diselamatkan Allah sebagai bukti dan pelajaran bagi generasi sesudahnya.
Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi
Firaun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut
merah.[10]
Selain itu, mukjizat Alquran dapat
dilihat dari keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Di antara
keseimbangan itu tergambar pada keseimbangan antara antonimnya, seperti kata alhayah
(hidup) dan almaut (mati) yang terulang sebanyak 145 kali dan juga
kesimbangan antara sinonimnya, seperti kata alharts dan alziraah (membajak/bertani),
terulang sebanyak 14 kali.
Sebagai sumber utama ajaran Islam,
Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga
bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan
dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan
dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al
(perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi
dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min
al-nas).[11]
a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran
Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran secara garis
besar dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:[12]
- Hukum-hukum
yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti keimanan
kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan
takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum
ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
- Hukum-hukum
yang mengatur hubungan antara sesame manusia, mengenai berbagai sifat
utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari
berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait
dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
- Hukum-hukum
amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam
hubungannya dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia.
Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari
hukum-hukum amaliyah ini berkembanglah ilmu fiqih. Hukum-hukum amaliyah yang
terdapat dalam Alquran dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum
ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum
muamalat yang mengatur hubungan dengan sesamanya.
b. Dalalah Alquran tentang hukum-hukum
Semua umat Islam mengakui bahwa
Alquran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini Alquran disebut qath’i
al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah Alquran tentang hukum tidak
semuanya bersifat qath’i, tetapi ada yang bersifat zanni. Cukup banyak
ayat-ayat qathi dalam Alquran. Pengertian qathi ini pula yang
banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah
al-Zuhaily berikut:
فالنص القطعى الد لا لة هو اللفظ
الوارد فى القران الذى يتعين فهمه ولا يحتمل
الا معنى واحدا
Artinya: Nash qathi dalalah ialah lafal yang
terdapat di dalam Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna
tunggal.
Penempatan ayat-ayat ini dalam
kategori qathi dalalah dilatarbelakangi ajaran-ajaran yang dikandung
ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (esensial) yang bersifat tsawabith
(tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena perubahan
zaman. Andai kata ayat-ayat ini termasuk kategori zhanni yang menjadi
objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin
mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul
mazhab fikih karena ayat-ayat qathi, tetapi yang ada dalam ayat-ayat
zanni.
Menurut Syatibi,[13] maqasid
alsyari dalam menetapkan syariah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan
tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qathi karena ketiganya
merupakan ushul Alsyariah, Syariah ditetapkan dengan dalil qathi, maka
ushul alsyariah lebih utama ditetapkan dengan dalil qathi.
Syatibi tidak mengemukakan ayat qathi
mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat
tersebut. Namun, diasumsikan ayat-ayat yang mendukung terwujud ketiganya
yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok yaitu agama, diri, akal,
keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qathi. Misalnya, ushul
al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, shalat, puasa, zakat
dan haji yang ditunjukkan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qathi.
Sementara ayat-ayat zhanni
dalalah merupakan lapangan ijtihad. Ini dipahami dari definisi zhanni
dalalah sebagaimana dirumuskan Abd al-Wahhab Khallaf:
النص الظنى الدلالة فهومادل على معنى
ولكن يحتمل ان يوول ويصرف عن هذا المعنى ويراد منه معنى غيره
Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang
menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu mengandung kebolehjadian sehingga
dapat ditakwilkan dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain.
Dari definisi ini dipahami suatu
ayat zhanni mengandung lebih dari satu pengertian sehingga memungkinkan
ditakwil, seperti firman Allah surat Albaqarah, 2: 228
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء...
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Kata quru dalam ayat ini
merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan
haid. Oleh karena itu, apabila quru diartikan dengan suci sebagaimana
yang dipahami ulama Syafiiyah logis dan benar karena sesuai dengan makna
bahasanya. Impikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah
(menunggu) selama tiga kali suci. Sementara apabila kata quru
diartikan sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah adalah benar
dan tepat. Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang
ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid.
Dari penjelasan ini diketahui
ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat yang zhanni dalalah.
Begitu juga dengan lafal am dan mutlak termasuk ayat-ayat zhanni
yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan ijtihad para ulama.
C. PENUTUP
Alquran adalah kitab suci umat Islam
yang merupakan kumpulan firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang
diturunkan kepada nabi Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya
Alquran adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka
supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan
oleh manusia, maka Alquran datang dengan petunjuk-petunjuk,
keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang
terinci, yang tersurat maupun yang tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang
kehidupan.
Alquran sendiri menyatakan dirinya
sebagai al-Kitab (kitab, buku), hudan (petunjuk) bagi manusia
pada umumnya, dan orang-orang bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda
antara yang baik dan yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat),
syifa (obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan
li kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya.
Nama-nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa Alquran
adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo:
Musthafa Muhammad, t.th.)
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2001)
Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran,
(Bandung: Mizan, 1992)
Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh
Univ. Press, 1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar