BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya
rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan
bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadis
yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada
gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk
membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah
Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis
tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan
para sahabat).
Hadits
Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam, selain al-Qur’an.
Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk
al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir,
sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara
mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Sepanjang
sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada
telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan
kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah
terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah
dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat
perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika
penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun
dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Qudsy
Menurut
pendapat Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib setiap hadis yang mengandung
penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut hadis qudsi atau hadis
ilahi.[1]
Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb.
Sedangkan menurut Prof.Dr. T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, yang di maksud hadis Qudsi
ialah perkataan-perkatan yang di sabdakan Nabi SAW. Dengan mengatakan, “Allah
berfirman…” Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah, Nabi hanya
meriwayatkannya dari Allah SWT.[2]
Ada
pula yang mendefinisikan hadis Qudsi dengan lafaz yang berbeda dengan yangdi
sebutkan di atas tetapi memiliki makna yang sama, sebagaimana yang telah di
jelaskan oleh Al-Thibby. Beliau mengartikan hadis Qudsi sebagai titah Tuhan
yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam mimpi atau dengan jalan
ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu dengan susunan perkataan
beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[3]
Dan selain itu masih banyak beberapa pendapat lainya.
Perbedaan
Hadis Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy) Dan Al-Qur’an
1. Perbedaan Hadis
Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy)
Menurut
Al-Thibby, perbedaan yang terpokok antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi ialah
hadis Qudsi sesuatu yang di kabarkan oleh Allah SWT, secara ilham atau impian
yang maknanya kemudian di kabarkan oleh Rosullullah kepada umatnya dengan
bahasa beliau sendiri. Sedangkan hadis-hadis yang lain, tidaklah di sandarkan
atau tidak di isnadkan dan di riwayatkan dari Allah SWT.[4]
2. Perbedaan hadis
Qudsi dengan Al-Qur’an
Di
dalam kitab syarah hadis Qudsi yang di terjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi
menerangkan mengenai perbedaan hadis Qudsi dan Al-Qur’an, sebagaimana yang di
terangkan oleh Hamiddudin. Beliau menyebutkan ada enam poin yang membedakan
hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, di antaranya:[5]
1.
Al-Qur’an
memiliki sifat mu’jiz (mengalahkan pihak lawan yang akan menandinginya),
berbeda dengan hadis Qudsi.
2.
Ibadah solat
tidak sah tanpa di iringi dengan bacaasn Al-Qur’an, berbeda dengan hadis Qudsi.
3.
Orang yang
mengingkari Al-Qur’an statusnya berubah menjadi kafir, tidak demikian halnya
orang yang mengingkari hadis Qudsi.
4.
Turunya wahyu
Al-Qur’an selalu di sertai dengan keberadaan Jibril AS,yang menjadi mediator
antara Nabi dan Allah, berbeda dengan hadis Qudsi.
5.
Lafaz atau
redaksi Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, berbeda dengan hadis Qudsi yang
redaksinya dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
6.
Al-Qur’an hanya
boleh di sentuh oleh orang-orang yg sedang keadaan suci dalam arti suci dari
hadas kecil maupun hadas besar, berbeda dengan kumpulan hadis Qudsi dalam kitab
boleh di sentuh sewaktu-waktu meskipun dalam keadaan tidak suci.
v Perlu
di ketahui, bahwa untuk mengetahui hadis Qudsi ada beberapa tanda tertentu,
yakni berupa kata-kata berikut:
Itulah beberapa tanda untuk mengetahui hadis Qudsi.
Mengenai
jumlah hadis Qudsi tidak begitu banyak seperti halnya hadis Nabawi. Sebagian
Ulama ada yang menyatakan, bahwa jumlah hadis Qudsi ada sekitar 100 buah.
Menurut Al-Alamah Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitamy, jumlah hadis Qudsi lebih
dari 100 buah.[6]
Menurut
Syaikh Abdur Rauf Ibnu Aliy Al-Manawi, yang telah mengumpulkan hadis-hadis
Qudsi dalam kitabnya “al-Ithafatus Saniyah bil Ahadisil Qudsiyyah”. Di antara
kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Qudsi, ialah :[7]
Dan kitab karangan
Al-Manawi seperti yang telah di sebutkan di atas.
Contoh Hadis Qudsi:
“ Dari Abu Hurairah ra.
Dia mengatakan bahwa Rosullullah SAW, bersabda : “ Allah Azza wajalla
berfirman, ‘setiap amal perbuatan anak
Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Dia adalah milikku, dan aku sendiri yang
akan membalasnya. Demi dzat yang menguasai jiwa Muhammad, baunya mulut orang
yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah di bandingkan dengan minyak
misik’ ”.
B.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah
1.
Pengertian Hadits al-Mutawatirah
Sebelum kita membahas kitab-kitab
hadits al-mutawatirah lebih mendalam, terlebih dahulu kita bahas pengertian
hadits al-mutawatirah.
Menurut bahasa, mutawatir merupakan
isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut,
beriring-iring).
Menurut istilah, hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka
sepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya
sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya
jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah
yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian
pula, mustahil mereka lupa secara serentak.
Sebagian ulama cenderung membatasi
jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan
bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai
mutawatir.
Pendapat
lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi
membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari
dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan
pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang
benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan
yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran
berita.[8]
2.
Pembagian Hadis Mutawatir
Sebagian jumhur
ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada 3 yaitu :
A.
Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir
lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama.
Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga
dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan
susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata
yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan
perincian makna hadis itu tetap sama.
Contoh hadis mutawatir lafdhi
yang artinya:
“ Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku,
maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadis Riwayat
Bukhari). “
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar
al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut
keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan
hadis itu dengan redaksi yang sama.
B.
Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir
maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun
berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain,
hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya,
menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah
hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak
dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi.
Contoh hadis mutawatir maknawi
yang artinya:
“ Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya
begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu
berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
C. Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir
yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa
perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa
perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh :
Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib,
adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Segala macam
amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh
para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti
hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup
banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Kedudukan Hadis Mutawatir
Seperti telah
disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah
hadis-hadis yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para
ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath’i”
(pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan,
perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa
menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri”
(pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya),
yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan,
perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar
perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian
bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW,
adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena
itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi
sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama
halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan
hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari
kedudukan hadis ahad .[9]
C.
Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir
Para Ulama telah memberikan
perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir,
lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan
para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi
Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per
bab;
b. Quthafu Al-Azhar. Karya Imam
Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu; dan
c. Nadhamu Al-Mutanatsir min
Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang
akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu:
كتاب الازهار المتناثرة في الاخبار المتواترة
D.
Biografi pengarang
Nama lengkap Jalaluddin Abu
al-Fadhl Abdurrahman Bin Abu Bakar Muhammad al-Khudri as-Suyuthi as-Syafi’i.
Beliau hafal 200.000 hadits. Beliau mengatakan “kalau seandainya saya mendapati
lebih dari 200.000, niscaya saya akan menghafalnya.” Beliau lahir setelah
maghrib pada malam Ahad di awal Rajab 849 H. Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat
dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40
tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang
disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ.
Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri
perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang
ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul. Dan beliau wafat pada malam jum’at,
tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di
luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.
E.
Metode dan Sistematika penulisan hadits
As-Suyuti mengumpulkan
hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta
perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap
hadits.
F.
Standar yang digunakan
As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits
yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits
tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.
G.
Isi kitab
Kitab hadits al-Azhar
al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan
yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits
mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar
Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan
yang lainnya.
H.
Cara menggunakannya
Dilihat dari sistematika penulisan
kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan
kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab
hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab
tersebut.
I.
Kesimpulan
Ø Setiap
hadis yang mengandung penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut
hadis qudsi atau hadis ilahi.[10]
Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb.
Ø Hadis
Qudsi sebagai titah Tuhan yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam
mimpi atau dengan jalan ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu
dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[11]
Ø Hadits
mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya
sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Ø Hadis
Mutawatir juga di bagi menjadi tiga bagian: 1. Hadis Mutawatir Lafdhi, 2. Hadis
Mutawatir Maknawi, 3. Hadis
Mutawatir ‘Amali.
BAB
III
PENUTUP
Para
ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan
hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai
kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk
kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun
menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan
ringkasan dari kitabnya yang terdahulu dan Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits
Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Dan diantara kitab-kitab
hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah
karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga
al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf
mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits
al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa
kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda
untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits
mutawatir ataupun hadits qudsi.
DAFTAR PUSTAKA
v
Imam Muslim, Shahih Muslim, Al-Qohiroh, Daar Al-Hadis
: 1431 H/2010 M jilid 1-2
v
Syarah Hadis Qudsi, penj oleh Wawan Djunaedi Soffan,
Jakarta, Pustaka Azzam: 2009
v
Dr.M. Ajjaj
Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan
Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
v Prof.Dr.T.M.
Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
v Drs.
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis,
Bandung, (Angkasa :1987) h.24
v
Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras,
2003.
v A.
Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
[1] Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A.
Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[2] Prof.Dr.T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
[3] ibid
[4] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, (Angkasa :1987) h.24
[5] Syarah
Hadis Qudsi, penj, oleh Wawa Djunaedi Soffandi, Jakarta (Pustaka Azzam:2009),h.
9
[6] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.25
[7] Ibid
[8] A. Qadir
Hassan, Ilmu Musthalah Hadits,
Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
[9] Abdurrahman, M, Studi
Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
[10] Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A.
Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[11] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar