Sabtu, 11 Januari 2014

Sekilas Tentang Hadis Qudsi

BAB I

PENDAHULUAN


Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam, selain al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.










BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hadis Qudsy

Menurut pendapat Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib setiap hadis yang mengandung penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut hadis qudsi atau hadis ilahi.[1] Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb. Sedangkan menurut Prof.Dr. T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, yang di maksud hadis Qudsi ialah perkataan-perkatan yang di sabdakan Nabi SAW. Dengan mengatakan, “Allah berfirman…” Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah, Nabi hanya meriwayatkannya dari Allah SWT.[2]
Ada pula yang mendefinisikan hadis Qudsi dengan lafaz yang berbeda dengan yangdi sebutkan di atas tetapi memiliki makna yang sama, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Al-Thibby. Beliau mengartikan hadis Qudsi sebagai titah Tuhan yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam mimpi atau dengan jalan ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[3] Dan selain itu masih banyak beberapa pendapat lainya.
Perbedaan Hadis Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy) Dan Al-Qur’an
1. Perbedaan Hadis Qudsi Dengan Hadis Umum(Nabawy)
Menurut Al-Thibby, perbedaan yang terpokok antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi ialah hadis Qudsi sesuatu yang di kabarkan oleh Allah SWT, secara ilham atau impian yang maknanya kemudian di kabarkan oleh Rosullullah kepada umatnya dengan bahasa beliau sendiri. Sedangkan hadis-hadis yang lain, tidaklah di sandarkan atau tidak di isnadkan dan di riwayatkan dari Allah SWT.[4]
2. Perbedaan hadis Qudsi dengan Al-Qur’an
Di dalam kitab syarah hadis Qudsi yang di terjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi menerangkan mengenai perbedaan hadis Qudsi dan Al-Qur’an, sebagaimana yang di terangkan oleh Hamiddudin. Beliau menyebutkan ada enam poin yang membedakan hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, di antaranya:[5]
1.      Al-Qur’an memiliki sifat mu’jiz (mengalahkan pihak lawan yang akan menandinginya), berbeda dengan hadis Qudsi.
2.      Ibadah solat tidak sah tanpa di iringi dengan bacaasn Al-Qur’an, berbeda dengan hadis Qudsi.
3.      Orang yang mengingkari Al-Qur’an statusnya berubah menjadi kafir, tidak demikian halnya orang yang mengingkari hadis Qudsi.
4.      Turunya wahyu Al-Qur’an selalu di sertai dengan keberadaan Jibril AS,yang menjadi mediator antara Nabi dan Allah, berbeda dengan hadis Qudsi.
5.      Lafaz atau redaksi Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, berbeda dengan hadis Qudsi yang redaksinya dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
6.      Al-Qur’an hanya boleh di sentuh oleh orang-orang yg sedang keadaan suci dalam arti suci dari hadas kecil maupun hadas besar, berbeda dengan kumpulan hadis Qudsi dalam kitab boleh di sentuh sewaktu-waktu meskipun dalam keadaan tidak suci.

v  Perlu di ketahui, bahwa untuk mengetahui hadis Qudsi ada beberapa tanda tertentu, yakni berupa kata-kata berikut:




            Itulah beberapa tanda untuk mengetahui hadis Qudsi.
Mengenai jumlah hadis Qudsi tidak begitu banyak seperti halnya hadis Nabawi. Sebagian Ulama ada yang menyatakan, bahwa jumlah hadis Qudsi ada sekitar 100 buah. Menurut Al-Alamah Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitamy, jumlah hadis Qudsi lebih dari 100 buah.[6]
Menurut Syaikh Abdur Rauf Ibnu Aliy Al-Manawi, yang telah mengumpulkan hadis-hadis Qudsi dalam kitabnya “al-Ithafatus Saniyah bil Ahadisil Qudsiyyah”. Di antara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Qudsi, ialah :[7] 



Dan kitab karangan Al-Manawi seperti yang telah di sebutkan di atas.
Contoh Hadis Qudsi:
  
“ Dari Abu Hurairah ra. Dia mengatakan bahwa Rosullullah SAW, bersabda : “ Allah Azza wajalla berfirman, ‘setiap amal perbuatan anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Dia adalah milikku, dan aku sendiri yang akan membalasnya. Demi dzat yang menguasai jiwa Muhammad, baunya mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah di bandingkan dengan minyak misik’ ”.

B. Kitab al-Hadits al-Mutawatirah

1. Pengertian Hadits al-Mutawatirah

Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-mutawatirah lebih mendalam, terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-mutawatirah.
Menurut bahasa, mutawatir merupakan isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut, beriring-iring).
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka lupa secara serentak.
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai mutawatir.
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.[8]

2. Pembagian Hadis Mutawatir

Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada 3 yaitu :
A. Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama.
Contoh hadis mutawatir lafdhi yang artinya:
Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadis Riwayat Bukhari). “
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
B. Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi.
Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya:
“ Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
C. Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.

3. Kedudukan Hadis Mutawatir

Seperti telah disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad .[9]

C. Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir

Para Ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab;
b. Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu; dan
c. Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu:
 كتاب الازهار المتناثرة في الاخبار المتواترة
D. Biografi pengarang

Nama lengkap Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman Bin Abu Bakar Muhammad al-Khudri as-Suyuthi as-Syafi’i. Beliau hafal 200.000 hadits. Beliau mengatakan “kalau seandainya saya mendapati lebih dari 200.000, niscaya saya akan menghafalnya.” Beliau lahir setelah maghrib pada malam Ahad di awal Rajab 849 H. Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40 tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul. Dan beliau wafat pada malam jum’at, tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.

E. Metode dan Sistematika penulisan hadits

As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap hadits.

F. Standar yang digunakan

As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.

G. Isi kitab

Kitab hadits al-Azhar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan yang lainnya.

H. Cara menggunakannya

Dilihat dari sistematika penulisan kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab tersebut.


I. Kesimpulan

Ø  Setiap hadis yang mengandung penyandaran Rosullullah SAW, kepada Allah SWT, Di sebut hadis qudsi atau hadis ilahi.[10] Penisbatanya ialah pada al-Qudsi yakni suci dan bersih – Allah atau Al-Rabb.
Ø  Hadis Qudsi sebagai titah Tuhan yang di samapaikan kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam mimpi atau dengan jalan ilham. Lalu NAbi menerangkan apayang di mimpikanya itu dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkanya kepada Allah.[11]
Ø  Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal merekadan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya berdasar kepada panca indera.
Ø  Hadis Mutawatir juga di bagi menjadi tiga bagian: 1. Hadis Mutawatir Lafdhi, 2. Hadis Mutawatir Maknawi, 3. Hadis Mutawatir ‘Amali.


BAB III
PENUTUP

Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu dan Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Dan diantara kitab-kitab hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits mutawatir ataupun hadits qudsi.


DAFTAR PUSTAKA

v  Imam Muslim, Shahih Muslim, Al-Qohiroh, Daar Al-Hadis : 1431 H/2010 M jilid 1-2
v  Syarah Hadis Qudsi, penj oleh Wawan Djunaedi Soffan, Jakarta, Pustaka Azzam: 2009
v  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
v  Prof.Dr.T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
v  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, (Angkasa :1987) h.24
v  Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
v  A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.
















[1]  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[2]  Prof.Dr.T.M. Hasbie Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, (Pustaka Rizki Putra:2009).
[3]  ibid
[4]  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, (Angkasa :1987) h.24
[5]  Syarah Hadis Qudsi, penj, oleh Wawa Djunaedi Soffandi, Jakarta (Pustaka Azzam:2009),h. 9
[6]  Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.25
[7]  Ibid
[8]  A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.

[9]  Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.

[10]  Dr.M. Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis.Diterjemahkan Drs. H.M. Qodirun Nur & A. Musyafiq, S.Ag. Jakarta.
[11]  ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar