Sabtu, 11 Januari 2014

Catatan Kecil Soekarno


Kedudukan Islam Dalam Pandangan Sukarno
Sukarno & Modernisme Islam


Paper
Disampaikan pada Diskusi
Insan Cendekia Institute
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kamis, 21 November 2013


Pendahuluan

“ Islam is Progress, Islam adalah Kemajuan”, tulis Bung Karno dalam salah satu  “Surat-surat Islam dari Endeh”. Dengan itu, kita tahu, Bung Karno lebih berbicara perspektif, berbicara Islam yang semestinya. Pada saat yang sama, dengan semangat yang bergelora, ia cenderung untuk mngemukakan bahwa “Islam yang seharusnya” itu adalah hakikat Islam itu sendiri.
Dalam rumusannya akan hakikat Islam, anggapan Bung Karno masih banyaknya pergumulan para muslimin dalam TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat), dan Islam yang dirundung Taqlidisme (sifat yang ikut-ikut-an tanpa petunjuk yang jelas).
Dari kutipan seperti ini, Islam is Progress, dan Progress berarti pembikinan baru  Creation baru- bukan mengurangi barang yang dulu, bukan mengCopy barang lama. Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya perubahan tafsir dan hukum, akan nampak bahwa ia sebenarnya cenderung menyambut pandangan yang menggabungkan antara Empirisme dan Rasionalisme dengan kata lain Pragmatisme.
Dengan pandangan Pragmatis Bung Karno memujikan apa yang namanya elastisitas hukum Islam, seraya mengutip Ameer Ali dalam The Spirit of Islam. Hukum yang digambarkan seperti karet yang lentur membuat Islam dapat beradaptasi “bisa cocok dengan semua kemajuan”.
Itulah sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus ada bukan karena ia ditakdirkan untuk abadi, dengan ajaran yang kekal, melainkan karena ia terus-menerus bisa menjadi berharga. Dalam masa perjuangan antikolonialiasme harga itu terletak pada perannya untuk menggerakkan manusia terutama orang banyak, untuk menumbangkan apa yang tidak adil. Dalam abad modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman yang bergerak.
Riwayat Hidup
Beliau lahir pada hari kamis, 6 Juni 1901, di Kampung Lawang Seketeng, Surabaya, dan wafat pada hari Minggu, 21 juni 1970. Ayahnya bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Sukemi adalah satu dari delapan anak Raden Harjodikromo berasal dari bangsawan Jawa kelas Priyayi.
Sukemi lahir pada 1869                  pendidikan di Probolinggo                   pendidikan guru (Kweekschol)                           bertugas sebagai guru di Singaraja (asisten peneliti Professor Van der Tuuk, ahli bahasa indonesia yang tinggal di Tapanuli)             berkenalan dengan Ida Ayu Nyoman Rai (penganut agama Hindhu Bali dari kasta Brahmana)           menikah.
Pada diri Sukemi ada 3 unsur pemikiran yaitu Pola Pemikiran Barat, Agama Islam dan Theosofi
Setidaknya ada 2 pelajaran yang diterima oleh Sukarno, Pelajaran Pertama dari lingkungan keluarganya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa membentuk perkembangan Islam menjadi Sinkretis(Penyatuan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu dan Islam) dan Puritan (berusaha mengikuti ajaran Islam dengan Taat). Pelajaran kedua ketika adanya konflik antara keluarga ibu dengan bapaknya yang menjadi titik permasalahannya pada kedaerahan dan agama
Selain dididik oleh kedua orang tua beliau, Sukarno juga mendapat pencerahan dari pembantu rumah tangga beliau yaitu Sarinah. Sarinah memberi pesan terhadap Sukarno akan kerakyatan yaitu menyangkut sikap terhadap nasib rakyat kecil. Sarinah berkata, “Karno, yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”[1]
Awal sekolah Sukarno di Tulungagung                pindah ke Mojokerto               pindah ke Sidoarjo        pindah lagi ke Mojokerto di sinilah ia menyelesaikan pendidikannya di Europese Lagere School(ELS)[2]                Hogere Burger School(HBS)di Surabaya[3]. Sejak Sukarno berada di Surabaya, beliau di tempatkan oleh ayahnya di rumah Tjokroaminoto.
Pengalamannya dalam pendidikan modern bertambah seiring dorongan para pemuda yang ingin menjadi pemimpin dalam masyarakat tradisional, demikian halnya beliau dipisahkan dari masyarakat untuk dipersiapkan menjadi pemimpin di masyarakat yang sama, dengan hal ini beliau diajarkan oleh gurunya yang bernama, Tjokroaminoto. Membentuk pemuda dan mengantarkan kembali pada perbatasan masyarakat sehari-hari setelah usianya dianggap matang.
Tidak hanya mendapatkan bimbingan dari gurunya Tjokroaminoto, beliau juga banyak bergaul dan berkomunikasi dengan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di rumah Tjokroaminoto bergaul dengan kalangan komunis seperti tokoh, Alimin, Musso, Semaun dan Darsono. Dikalangan Islam, ia bergaul dengan KH      Ahmad Dahlan dan Tjokroaminoto. Bagi Sukarno, usaha melarikan diri ke perpustakaan adalah sebagai cara pelarian terbaik dengan mengalihkan kesulitan-kesulitan hidup yang dideritanya. Bagi Sukarno, Tjokroaminoto bukan saja tokoh politik, tetapi juga berperan sebagai pemikir masalah-masalah keislaman dan tempat bertemunya aliran-aliran.
Pada tanggal 10 Juni 1921, Sukarno menyelesaikan pendidikannya di HBS Surabaya dan ia berniat melanjutkan ke negeri Belanda. Tidak ada sumber yang jelas akan kejelasannya beliau gagal berangkat ke Belanda, apakah dengan alasan tidak adanya biaya atau penyebab lain. Tetapi menurut Ibu Wardoyo, faktor yang menjadi gagalnya Sukarno berangkat adalah tidak adanya persetujuan dari ibunya.
Pada minggu terakhir juni 1921, Sukarno mulai memasuki kota Bandung dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Technische Hoge School. Sejak tinggal di bandung, ia berkenalan dengan para pemikir yang tidak terikat lagi dengan pemirikan politik keislaman seperti Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi, Iskaq Tjokrodisurjo, Sartono dan sebagainya.
Sejak Suka rno di Bandung, kegiatan dalam kancah perpolitikan semakin meningkat. Sebagai resiko dari keterlibatannya ia ditahan di penjara Sukamiskin karena dituduh melanggar peraturan larangan penyebaran propaganda yang mengganggu ketertiban umum.
Hikmah yang didapat oleh Sukarno selama di penjara Sukamiskin adalah tersedianya waktu untuk memikirkan kembali masalah-masalah keislaman yang pernah didapat sewaktu beliau di Surabaya. Sepertinya masa pengasingan merupakan kesempatan bagi Sukarno untuk mendalami masalah-masalah keislaman.
Sukarno tidak sempat menyelesaikan semua masa tahanannya di penjara Sukamiskin dikarenakan ada keringanan dari Gubernur Jenderal De Gref, pada tanggal 31 Desember 1931. Setelah dibebaskan dari penjara tersebut beliau kembali ke dunia polotik.  Pemerintah kolonial beranggapan bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh Sukarno adalah berbahaya, oleh karena itu ia diasingkan ke Ende Flores.

Perkembangan Pemikiran Soekarno

Yang menjadi dasar pemikiran Soekarno adalah dinamika perkembangan pemikiran-pemikiran yang hidup di dalam masyarakatnya, di samping kenyataan sesungguhnya dari kehidupan bangsanya. Dinamika itu terlihat jelas hadir dalam aliran pemikiran nasionalisme, yang antara lain mendapat dorongan reneisans kebudayaan yang berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
            Namun sekalipun demikian, ketertarikan Soekarno kepada gerakan pembaruan di Indonesia tidak berlangsung lama. Tampaknya Soekarno lebih banyak menyetujui pendapat mereka dalam hal pelaksanaan pemurnian ibadah dan aksi sosial. Sebaliknya, pemikiran Soekarno tidak selalu sejalan dengan mereka terutama yang menyangkut soal politik, teologi, dan hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan. Ada beberapa hal yang menyebabkan demikian, Pertama, gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan pada pembaruan yang muncul di Mesir, seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta pembaruan dari India. Sementara itu Soekarno menyerap semua pemikiran pembaruan Islam baik dari Mesir, Turki, India. Kedua, para pemikir gerakan pembaruan Indonesia cenderung melihat permasalahan Islam Indonesia dalam ruang lingkup solidaritas Islam Internasional. Sedangkan Soekarno melihat dalam ruang lingkup nasional Indonesia. Dengan demikian, bagi Soekarno aspek kebangsaan merupakan hal yang amat penting. Ketiga, Soekarno tidak hanya melengkapi diri dengan kepustakaan yang bersifat keislaman, tetapi juga melengkapi dengan Sosialisme, Komunisme, dan aliran-aliran filsafat lainnya.
            Berbagai gerakan dan perkembangan pemikiran keislaman yang tumbuh di Mesir, Turki, dan anak benua India. Bernard Dahm menyimpulkan, bahwa kerangka pemikiran soekarno tentang Islam ada 3 hal : 1, hanya Islamlah yang menekankan persamaan. 2, Islam adalah agama yang sederhana dan rasional. 3, Islam adalah Kemajuan.
            Soekarno berusaha menggabungkan faham demokrasi dengan ajaran Islam, dengan mengatakan bahwa pengutamaan kelompok Sayyid akan membawa munculnya sistem aristokrasi dalam Islam dan apabila hal itu terjadi, maka akan suburlah kehidupan sistem feodal dikalangan ummat Islam. Sistem feodal merupakan awal dari timbulnya penjajahan sebagian manusia terhadap manusia yang lain. Penolakannya terhadap pengutamaan hak-hak sayyid ini sejalan dengan pandangan politiknya yang antielitisme, antikolonialisme dan anti-imperialisme.
Ketika Islam menekankan persamaan maka penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang didasarkan prestasi sosial yang dihasilkannya merupakan suatu kewajaran, tetapi penghargaan kepada seseorang karena keturunannya merupakan perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi sosial. Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu. Dalam pandangan Soekarno, ikatan solidaaritas bangsa Indonesia bukan karena persamaan darah akan tetapi karna persamaan nasib terhadap penderitaan akibat dari praktik eksploitasi yang dijalankan kolonialisme. Apabila lebih didalami lagi maka pemahaman terhadap rasa senasib dan sepenanggungan itu pada dasarnya hanya dapat dipahami dikalangan elit-elit politik yang melek huruf dan perkembangan politik dan kurang difahami oleh masyarakat yang berada dilapisan akar rumput. Kalaupun terdapat perbedaan diantara manusia bukan karena ikatan primordial seperti suku, ras ataupun budaya akan tetapi karena pertimbangan prestasinya. Penilaian terhadap status individu dalam kehidupan sosial ditentukan oleh dua hal yaitu kedudukan karena keturunan ascribed status dan kedudukan berdasarkan prestasi achieved status.
Selanjutnya menurut Soekarno pengertian rasioanal adalah bahwa agama bukan hanya tidak bertentangan dengan kerangka berfikir yang rasional akan tetapi lebih jauh lagi yaitu penggunaan akal fikiran menjadi keharusan dalam memahami pesan kewahyuaan. Karena wahyu haya dapat dimaknai manakala wahyu berbicara tentang dirinya tanpa memerlukan intervensi atau rekayasa interpretasi manusia. Dalam kaitan ini, banyak terdapat ayat al-qur’an maupun sabda rasul yang isinya dukungan wahyu terhadap penggunaan akal. Selanjutnya, muatan pesan wahyu itu dapat dipersempit atau diperluas sesuai dengan kebutuhan rasionalitas manusia itu sendiri. Sehingga kebutuhan penjelasan terhadap makna wahyu berbeda antara tingkat pemahaman orang aawam dengan filosof maupun seorang sufi namun semuanya berangkat dari ayat dan hadis yang sama itu lah yang dimaksud dengan simplicity.
Berbicara Islam is Progress, Islam adalah kemajuan artinya seluruh pernyataan ayat maupun hadist adalah berisi pesan untuk mendorong manusia selalu berpandangan optimis ke masa depan sementar refleksi terhadap masa lalu di perlukan sekedar sebagai iktibar untuk menatap perjalanan kehidupan di masa depan. Sekalipun mereka dihadapkan kepada berbagai tantangan bahkan kegagalan maka hal itu semua mengandung hikmah oleh karena itu, tidak ada tempat bagi seorang muslim untuk bersikap putus asa.
Potensi “kemajuan” dalam Islam itu sesungguhnya bersumber dari dua faktor. Pertama, landasan akidah yaitu ajaran tauhid sebagai pernyataan peng-Esaan Allah. Dalam ucapan zikir kita sehari-hari lafz jalalah makna kata La ilaha illa Allah tidak sekedar dimaknai tidak ada tuhan yang disembah selain Allah tetapi meningkat lagi dengan pesan politis yaitu tidak ada tuhan yang patut dita’ati selain Allah La mutha’a illa Allah. Kedua,  unsur elastisitas ajarannya. Landasan akidah ini akan menyinari setiap pribadi manusia dan juga hubungan komunitas dalam Islam. Negara sebagai penjelmaan komunitas Islam itu, menurut Soekarno, harus bertuhan karena tanpa adanya landasan akidah, manusia akan mengalami kecelakaan dalam hidupnya. Pengakuan kepercayaan kepada tuhan mempunyai pengertian bahwa fungsi hidup bagi manusia adalah mengabdi kepada tuhan yang maha Esa, mengabdi pada tanah air, bangsa dan cita-cita. Prinsip akidah ini berwujud dalam bentuk amal ibadaa sehari-hari, dan pelaksanaan ibada akan menghidupkan dinamika ajaran Islam dalam kehidupan pribadi. Jadi sungguh pun Soekarno mengkritik praktik tasbih, dupa, jubah, dan sebagainya, tetapi hal ini bukan berarti menolak pentingnya pelaksanaan ibada bagi orang muslim. Karena pelaksanaan ibadah itu sendiri sangat penting artinya dalam pribadi yang sesungguhnya


Penutup
Kerukunan itu sifatnya pasang surut tergantung dari rekayasa intervensi yang dilakukan oleh kalangan cendekiawan. Selain yang bersifat hubungan sosial kemasyarakatan maka pendekatan yang perlu dilakukan secara akademis melalui pengembangan studi ilmu agama khususnya perbandingan agama. Studi ilmu perbandingan agama tidaklah mencari kebenaran yang baru atau membanding-bandingkan ajaran antar agama. Studi tersebut dimulai dengan prinsip setuju dalam perbedaan “Agree in Disagreement” sehingga saling berpegang teguh pada ajaran yang diyakini dan juga saling mengakui keberadaan agama-agama yang berbeda itu. Setiap agama mempunya 2 klaim diantaranya klaim kebenaran Truth Claim dan klaim keselamatan Salvation Claim, sehingga studi agama-agama tidak dimaksudkan untuk memperlemah dua klaim tersebut. Sebagai sesama warga khususnya INDONESIA yang diperlukan adalah mengetahui perbandingan sikap dan pengalaman keberagamaan  yang kemudian melahirkan etos keberagamaan. Setiap ummat beragama berangkat dari sikap dan pengalaman keberagamaan masing-masing berupaya memberikan sumbangan terhadap pembangunan karakterbangsa.
Salam Indonesia
Satu Nusa Satu Bangsa Satu bahasa




*untuk mengenang jasa Sarinah, Sukarno menulis sebuah buku dengan judul Sarinah  dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1947 oleh Oesaha Penerbit Goentoer
* pengamatan Sukarno selama di sekolah dasar adanya perlakuan diskriminasi antara anak-anak Belanda dengan Pribumi.
* walau pun di sekolah ini tidak terlalu menonjol akan diskriminasi tetapi jarangnya anak Pribumi yang sekolah di tempat ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar