BUMI MANUSIA DALAM Al-QUR’AN
Pengantar
Masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an diturunkan
terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka yang tinggal di kota
disebut Arab (al-‘arab), sedangkan yang tinggal di desa disebut A’rab (al-A’rab).
Berbeda dengan masyarakat desa yang hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah
tempat tinggal, masyarakat kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal
sendiri. Kehidupan masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka
mendekati mata air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang
gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan daging, dan
memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi memberikan cukup
makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan suasana alam yang masih
perawan dan subur.
` Khalil Abdul Karim berkata bahwa
masyarakat desa itu (al-a’rab) tak menyukai kehidupan bercocok tanam. Mereka
lebih suka berperang, berdebat, dan membunuh. Bagi mereka, rezeki hanya bisa
diperoleh melalui pedang dan panah mereka. Itu sebabnya, sebagian dari mereka
suka mengubur anak-anak perempuan mereka. Bukan hanya karena anak perempuan itu
tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena tak menghasilkan secara
ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan
tak pandai menunggang kuda untuk berperang. Karena itu, menurut mereka,
perempuan tak pantas untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa
diwariskan. Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu
yang suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasana peperangan,
tak tertutup kemungkinan anak-anak perempuan itu akan menjadi tangkapan perang
untuk selanjutnya dijadikan budak.
Tentang perlakuan kejam mereka terhadap anak perempuan itu,
disebutkan dalam al-Qur’an (al-Nahl [16]: 58-59), “apabila seseorang dari
mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu”. Bahkan, perlakuan buruk terhadap perempuan ini tak hanya terkonsentrasi
di desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian masyarakat kota. Al-Qurthubi
dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Jilid V, hlm. 468-469) menyebut kebiasaan
Bani Mudhar, Bani Khuza’ah, dan Bani Tamim yang membunuh anak-anak perempuan
dalam keadaan hidup.
Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan berperadaban.
Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian yang halus, alas kaki
impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi makanan penuh gizi. Rumah mereka
penuh dengan perabot mewah seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan
Yaman tak hanya bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap
melakukan perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan
pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk kepentingan bisnis
ke luar daerah tanpa mempedulikan musim. Disebutkan dalam al-Qur’an (al-Quraish
[106]: 1-2), “karena kebiasaan orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka
bepergian pada musim panas dan dingin” (li ilafi Quraish, rihlah al-syita’ wa
al-shaif). Berbagai buku sejarah mengisahkan bahwa ketika berumur sembilan
tahun--ada yang berkata 12 tahun--, Muhammad SAW bersama pamannya (Abu Thalib)
pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh sebelum diangkat menjadi nabi,
Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke luar kota untuk kepentingan
bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi Muhammad).
Berbeda dengan masyarakat desa yang sebagian besar--kalau tidak
seluruhnya--buta huruf; tidak bisa membaca dan menulis, maka masyarakat kota
sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Masyarakat kota dikenal pandai
menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi yang terbaik kemudian
digantung di dinding Ka’ba, disebut al-Mu’allaqat. Yang menarik, sekalipun
Jazirah Arab terhampar cukup luas, dalam percakapan sehari-hari, mereka
menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi
hasil gubahan para penyair Yaman bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang
yang ada di Mekah. Dengan bahasa yang sama itu juga orang Mekah tak perlu
penterjemah untuk membangun komunikasi bisnis dengan orang Yaman, Thaif,
Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an yang berbahasa Arab itu menyebabkan
al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke seluruh Jazirah Arab. Keindahan diksi
al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat Arab.
Jika ditelusuri, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an
sesungguhnya lebih merupakan alat untuk menyampaikan pesan. Artinya, bahasa
Arab sebagai bahasa al-Qur’an itu merupakan wasilah (jalan) dan bukan ghayah
(tujuan). Oleh karena audience dari wahyu adalah masyarakat yang berbahasa
Arab, maka al-Qur’an pun hadir dalam bentuk bahasa Arab. Bahkan, tak sedikit
peminat studi ilmu al-Qur’an yang berkata bahwa bahasa Arab al-Qur’an adalah
bahasa Arab dalam dialek Quraish, karena Nabi Muhammad sendiri keturunan suku
Quraish. Allah berfirman dalam al-Qur’an (Fushshilat [41]: 44), “Jika Kami
jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentu
mereka (orang-orang kafir) itu akan berkata, “Apakah (mungkin al-Qur’an dalam
bahasa) bukan Arab, sedangkan dia (Nabi Muhammad) adalah orang Arab?”. Katakan
(hai Muhammad), “al-Qur’an itu adalah petunjuk dan obat bagi mereka yang
beriman. Sedangkan mereka yang tak beriman itu, pada telinga mereka ada sumbat
dan ada kebutaan pada mata mereka. Mereka itu seolah-olah mendapat panggilan
dari tempat nun jauh (sehingga mereka tak mendengar dan tak menyadari)”.
Paparan di atas itu hanya sebagai pintu masuk untuk menegaskan
bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks. Al-Qur’an berdialog dengan
masyarakat Arab yang berbahasa Arab. Artinya, ada ayat-ayat dalam al-Qur’an
yang turun sebagai respons terhadap situasi masyarakat ketika itu. Dan tentu,
ada pula ayat-ayat yang bukan merupakan respons spesifik al-Qur’an terhadap
masyarakat Arab, tapi lebih merupakan gugusan nilai-nilai yang bersifat
universal. Universalitas al-Qur’an yang menyebabkan al-Qur’an tak hanya
bermanfaat buat orang Arab, tapi juga yang non Arab seperti Persia, Afrika,
Melayu, India, dan lain-lain.
Konteks Al-Qur’an
Al-Qur’an turun dalam konteks masyarakat kota saat itu. Marshall
Hodgson berkata bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada esensinya
bersifat kota (urban) secara radikal. Itu sebabnya, al-Qur’an tak banyak
memberi respons terhadap masyarakat desa di Jazirah Arab. Fokus perhatian
al-Qur’an lebih banyak mengarah ke pusat-pusat peradaban di Jazirah Arab
seperti Mekah, Thaif, Yatsrib (Madinah), Yamamah, dan sebagian Arab Selatan
(Yaman). Buku-buku sejarah mencatat tentang keistimewaan kota-kota itu. Jika
Mekah misalnya dikenal sebagai pusat bisnis, maka Yamamah kesohor sebagai pusat
pertanian. Sekalipun bidang pertanian lebih menonjol di Thaif dan Yatsrib, di
dua kota itu juga berkembang bidang perindustrian atau kerajinan. Jika di
Yatsrib, berkembang kerajinan penempaan emas, maka di Thaif banyak para pandai
besi.
Walau tak sebesar di Thaif, di Mekah pun tumbuh industri modifikasi
khusus kulit. Ini karena tanah yang kering dan udara yang panas tak
memungkinkan bagi tumbuhnya tanaman-tanaman hijau di Mekah. Bukit-bukit yang
menjulang di Mekah adalah tumpukan batu-batu dan pasir tanpa tumbuhan.
Al-Qur’an menggambarkan Mekah dengan “bi wadin ghair dzi zar’in” (lembah yang
tak bisa ditanami). Dalam suasana alam yang demikian, mata pencaharian utama
masyarakat Mekah adalah berniaga. Kata “tajir” yang berarti “pedagang” memang
tak disebut dalam al-Qur’an. Namun, kata “tijarah” yang bermakna perniagaan
diulang-ulang sampai sembilan kali. Di al-Qur’an juga ada kata-kata yang
terkait dengan jual beli (syara, isytara, ba’a), pinjam-meminjam (qardh,
yuqridhu), takaran dan timbangan (mizan, mitsqal). Ini menunjukkan bahwa
perniagaan merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan masyarakat Arab
ketika itu. Menurut Philip K Hitti (hlm. 130), jauh sebelum dilintasi jalur
perdagangan rempah-rempah, sejak lama Mekah telah menjadi tempat persinggahan
dalam perjalanaan antara Ma’rib dan Gazza. Di lembah Mekah yang tandus,
pertanian menjadi mustahil. Kebutuhan akan bahan pokok makanan lebih banyak
diimpor dari luar.
Berbeda dengan Mekah yang kering kerontang, Thaif adalah daerah
yang subur. Thaif adalah negeri yang mendekati gambaran al-Qur’an tentang surga
(QS, Ibrahim [47]: 15). Thaif menghasilkan anggur dan minuman beralkohol yang
dikenal dengan sebutan nabidz. Sedangkan khamr yang banyak dikonsumsi
masyarakat Arab dan yang kerap didendangkan para penyair adalah produk impor
dari Hauran dan Libanon. Adalah kurma yang menjadi primadona pertanian di
Semenanjung Arab. Buah kurma sangat dikenal luas di dunia, banyak diminati dan
bernilai tinggi. Dimakan bersama susu,
buah kurma merupakan makanan utama orang-orang Arab. Bahkan, Nabi dikisahkan
pernah melakukan proses penyerbukan pohon kurma di Madinah. Para penulis Arab
menyebut ratusan jenis kurma yang terdapat di Madinah dan sekitarnya.
Hewan yang menjadi kendaraan masyarakat Arab adalah unta, keledai,
dan kuda. Nabi diceritakan memberikan maskawin perkawinan puluhan unta kepada
Khadijah. Bagi orang-orang Arab, unta tak hanya berfungsi sebagai “bahtera
gurun”, melainkan juga karunia Tuhan yang tiada tara. Al-Qur’an (al-Nahl [16]:
5-8) menggambarkan terutama kelebihan binatang unta, “dan Dia telah menciptakan
binatang ternak untuk kalian; padanya ada bulu yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kalian makan. Dan kalian memperoleh
pandangan yang indah padanya ketika kalian membawanya ke kandang dan ketika
kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-beban kalian
ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan
kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Tuhan kalian benar-benar Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan
keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan. Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya”. Tentang unta, Khalifah Umar ibn Khattab
pernah berkata bahwa kemakmuran orang Arab bergantung pada kesehatan
unta-untanya. Demikian istimewanya binatang Arab itu hingga al-Qur’an (QS,
al-Ghashiyah [88]: 17) menantang kita untuk berfikir tentang keterciptaan unta,
“afala yanzhuruna ila al-ibil kayfa khuliqat” (maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan).
Dengan kendaraan darat seperti unta dan kuda itu, orang-orang lebih
mudah untuk melakukan perjalanan hingga daerah-daerah terjauh di luar Hijaz.
Orang Arab disebut ‘arab karena mereka suka bergerak, melancong ke berbagai
negeri. Kata ‘arab satu akar kata dengan ‘arubah yang berarti gerobak. Disebut
demikian, karena gerobak selalu bergerak aktif. Masyarakat Arab adalah
sekumpulan orang yang memiliki mobilitas tinggi. Ayahanda Nabi Muhammad,
Abdullah ibn Abdul Muthalib, meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Syam.
Ia meninggal dunia di Yatsrib, sementara Nabi Muhammad masih berumur dua bulan
dalam kandungan.
Dengan beragam aktivitas perekonomian itu, kelas menengah tumbuh
dengan pesat. Jumlah orang kaya meningkat. Namun, ketimpangan sosial-ekonomi terjadi
dimana-mana. Praktek perekonomian yang
tidak etis dan eksploitatif menyebar. Ada oligarki dan monopoli terhadap sumber
daya ekonomi. Banyak pedagang-pedagang Mekah yang melakukan praktek riba,
penumpukan komoditi, curang dalam
takar-menakar dan timbang menimbang. Akibatnya jurang pemisah antara yang kaya
dan yang miskin terus menganga. Al-Qur’an menyinggung kebiasaan orang-orang
yang suka menumpuk-numpuk harta tersebut. Allah berfirman (QS, al-Humazah
[104]: 1-3), “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam neraka Huthamah”. Praktek monopoli dan oligarki ekonomi
ini terus berlangsung hingga disyariatkannya ketentuan zakat di Madinah. Zakat
disyariatkan agar komoditi tak hanya berputar di kalangan konglomerat saja
(kayla yakuna duwlatan bayna al-aghniya minkum). Zakat terutama diperuntukkan
untuk melindungi orang fakir dan miskin.
Jika dikelompokkan struktur masyarakat yang menjadi lanskap
kehadiran adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat komunal. Peperangan antar
suku dan kabilah kerap terjadi. Dalam hukum primitif gurun, darah harus dibayar
dengan darah; tidak ada hukum yang harus diterapkan selain pembalasan yang
setimpal. Bahkan, tidak jarang peperangan bisa meletus karena soal-soal sepele
seperti berebut mata air, tersinggung dengan perlakun suku lain. Menurut Philip
K Hitti dalam bukunya History of The Arab (hlm. 111-112), salah satu peperangan
antara suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang Basus
yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Bani Bakr dan keluarga dekat
mereka dari Bani Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua suku itu beragama
Kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il. Konflik di antara mereka muncul
karena seekor unta kepunyaan suku Bakr yang bernama Basus dilukai oleh kepala
suku Taghlib. Perang itu diperkirakan menelan waktu 40 tahun dengan kerugian
yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Perang baru berhenti setelah
masing-masing merasa kelelahan dalam berperang.
Perang lain yang tak kalah tenarnya adalah perang Dahis dan
al-Ghabra. Perang itu melibatkan ‘Abs dan suku saudara perempuannya, Dzubyan di
Arab tengah. Wangsa Ghathafan adalah leluhur kedua suku itu. Peristiwanya
dipicu oleh tindakan curang orang-orang Dzubyan dalam sebuah balapan antara
kuda yang bernama Dahis milik kepala suku ‘Abs (Qais ibn Zuhair) dan keledai yang bernama al-Ghabra milik
kepala suku Dzubyan (Hudaifah ibn Badar). Lalu Asadi atas perintah Khudaifah
memukul wajah Qais dan meletuslah perang. Ribuan orang meninggal dalam
peperangan ini. Peperangan itu terjadi pada abad ke enam, tidak terlalu lama
dari ditandatanganinya kesepakatan damai Basus, dan berhenti selama beberapa
dekade hingga datang Islam.
Bahkan, ketika baru berumur 15 tahun, Nabi Muhammad dikisahkan
pernah terlibat dalam Perang Fijar. Perang ini melibatkan beberapa suku. Suku
Quraish, Kinanah, dan Asad dalam satu kelompok melawan suku Hirah yang dipimpin
Num’man ibn al-Mundhir pada kelompok yang lain. Perang ini berlangsung selama
empat tahun dan baru berhenti setelah ditempuh jalan perdamaian; bahwa yang
memiliki korban manusia lebih kecil harus membayar ganti rugi sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Ada yang berkata, bahwa tugas Muhammad
dalam perang ini adalah mengumpulkan anak-anak panah dari pihak lawan untuk
diberikan kepada paman-pamannya. Muhammad Husain Haikal menceritakan bahwa
beberapa tahun sesudah kenabiannya, Nabi Muhammad berkata, “aku mengikutinya
(Perang Fijar) bersama paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang
itu; aku tidak suka kalau tidak ikut melaksanakan”.
Suku-suku di Jazirah Arab tersebar di mana-mana. Yang satu dengan yang
lain tak saling memiliki hubungan. Yang kerap terjadi di antara mereka adalah
perang. Suku-suku itu terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Karena itu, perang
di antara mereka tak terhindarkan hingga berdirinya negara Madinah yang tak
didasarkan pada basis kesukuan dan kabilah melainkan negara yang bertumpu pada
agama atau keyakinan. Jika sebelum Islam, mereka bangga dan fanatik dengan
gelar kesukuan seperti al-Taimi, al-‘ady, dan al-najjary, maka setelah Islam
datang mereka lebih bangga dengan gelar yang berhubungan dengan moral seperti
al-shiddiq (yang jujur), al-faruq (pembeda antara yang benar dan yang salah),
dan lain-lain. Dalam konteks itulah, ayat al-Qur’an (al-Hujurat [49]: 10)
menegaskan bahwa seluruh orang beriman adalah bersaudara (innama al-mukminun
ikhwatun).
Dengan dasar ayat ini, Nabi Muhammad banyak mempersaudarakan umat
Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar
dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn
Affan dengan Aus ibn Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman,
Thalhah ibn Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan
Zaid ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang dipersaudarakan
Nabi Muhammad. Secara umum, Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum
Anshar. Itu sebabnya, fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan
darah, melainkan pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.
Ketika Islam hadir, peperangan antar suku mereda, tapi perang
antara kaum musyrik Mekah dengan orang Islam dan antara umat Islam dan pengikut
Yahudi di Madinah terus terjadi. Dalam konteks itulah, ayat-ayat yang berbicara
tentang jihad dan perang melawan orang kafir Mekah dan Yahudi Madinah terus
turun. Bahkan, sebagian besar isi dan kandungan surat Bara’ah dalam al-Qur’an
adalah tentang perang. Buku-buku sejarah dan al-Qur’an sendiri mencatat
terjadinya sejumlah peperangan yang melibatkan umat Islam. Di antaranya adalah
Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Khandaq, dan lain-lain. Perang
ini terpaksa dilakukan Nabi Muhammad dan umat Islam sebagai upaya pertahanan
diri dari serangan orang-orang Musyrik Mekah.
Kedua, masyarakat pagan, penyembah berhala. Al-Qur’an menceritakan
kebiasaan orang-orang Arab yang suka menyembah berhala. Ada berbagai sesembahan
mereka. Al-lata yang berarti “Sang Dewi” adalah kuil dari batu karang besar
yang disembah oleh suku Tsaqif di Thaif. Orang Thaif berthawaf mengelilingi
al-Lata. Di Nakhlah (terletak antara Mekah dan Thaif), ada berhala al-Uzza
berupa pohon milik Bani Ghatafan. Berhala orang-orang Yatsrib adalah adalah
al-Manat, terbuat dari batu hitam yang ditempatkan dalam bangunan khusus yang
dipahat menyerupai tubuh perempuan. Upacara pemujaan tak diselenggarakan di
rumah-rumah, melainkan datang ke tempat dipancangkannya berhala-berhala itu.
Kaum pagan Arab memandang bahwa berhala-berhala itu adalah puteri-puteri Tuhan
(banat Allah). Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Najm [53]: 19-20), “apakah
patut kalian (orang-orang Musyrik) menganggap al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat
yang ketiga yang terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah).
Berhala-berhala itu tak dibangun dengan desain dan arsitektur yang indah.
Semuanya dibangun dengan sangat sederhana.
Sesembahan lain yang diagungkan masyaralat pagan Arab adalah Hubal.
Berhala itu berbentuk manusia yang tangan kanannya patah dan terbuat dari batu
akik merah. Ia dibawa pertama kali dibawa oleh ‘Amr ibn Luhay al-Khuzai dari
kota Ma’arib. Ada riwayat yang mengisahkan bahwa Hubal pernah diletakkan di
dalam Ka’bah sebagai simbol berhala terbesar. Dengan perantaraan Hubal,
masyarakat Arab meminta keberkahan dan keselamatan dari berbagai musibah. Di
samping menyembah Hubal, masyarakat Arab pagan juga menyembah Ba’al yang
berasal dari peradaban Israel purba, yaitu abad ke 13 SM. Semuanya jenis
berhala itu menumpuk di sekitar Ka’bah. Berbagai buku tarikh menceritakan bahwa
ketika terjadi penaklukan kota Mekah (fathu Makkah), Nabi Muhammad mendapati
360 patung di sekitar Ka’bah termasuk Hubal.
Jika merujuk pada al-Qur’an, orang-orang Arab ketika itu bukan tak
percaya kepada Allah. Mereka mempercayai keberadaan-Nya. Disebut dalam
al-Qur’an (al-Zumar [39]: 38 bahwa apabila ditanya kepada mereka tentang
pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Kaum pagam Arab juga
mengenal Allah sebagai pemilik Ka’bah, Rabb al-Bayt (QS, al-Quraish [106]: 3].
Ini sebagai bukti bahwa jejak tauhid yang diajarkan para nabi sebelum Muhammad
masih terasa hingga beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi. Jika
Nabi Ismail berdakwah di sekitaran Mekah, maka Nabi Syuaib diutus ke Madyan dan
Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang tinggal di Ahqaf, daerah dekat Hadramaut
Yaman. Nabi Shaleh diutus kepada kaum Tsamud yang bermukim di al-Hijr, daerah
antara Hijaz dan Tabuk sekarang.
Berbeda dengan kepercayaan monoteisme Islam, orang-orang Arab pagan
itu memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang didampingi oleh tuhan-tuhan
kecil atau dewa-dewa yang lebih rendah. Dalam kondisi yang terdesak, mereka
biasanya mengesakan Allah dengan penuh ketulusan. Disebut dalam al-Qur’an
(al-Ankabut [29]: 65), “apabila mereka menaiki sebuah bahtera (yang sedang
digulung ombak), mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Tetapi, tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat,
tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”. Dalam suasana normal,
masyarakat Arab pagan itu menyembah berhala-berhala dan ketika kondisi darurat
mereka akan menyembah Allah. Bagi mereka, Allah terlalu tinggi tak terjangkau
sehingga membutuhkan berhala-berhala sebagai perantara. Ketika dikecam, mereka
berkata bahwa dirinya tak sedang menyembah berhala. Menurut mereka, berhala itu
hanya sarana pendekatan diri kepada Allah.
Allah merekam ungkapan mereka itu dalam al-Qur’an (al-Zumar [39]: 3),
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Dengan demikian, kehadiran Islam sesungguhnya hendak mentauhidkan
Tuhan yang sudah ada dalam keyakinan masyarakat Arab pagan tersebut. Juga untuk
mengukuhkan ajaran para nabi yang telah lama tumbuh di sebagian masyarakat
Arab. Kelompok Hanifiyah di Mekah adalah orang-orang yang mengikuti ajaran
tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Di antara mereka adalah
Waraqah ibn Naufal, Qus ibn Saidah al-Ayadi, Umayyah ibn Abi Shalt al-Tsaqafi,
Utaibah ibn Rabiah al-Tsaqafi, Umair ibn Jundub al-Juhni, Khalid ibn Sinan ibn
Qais, Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib al-Qurashi (salah seorang kakek-buyut Nabi
Muhammad), dan lain-lain. Ajaran Taurat Nabi Musa menyebar di Khaibar, Taima,
Wadi al-Qura, Yatsrib, dan Fadak. Sementara agama Nashrani menyebar di bagian
selatan seperti di Najran, Ma’arib, Shan’a, Aden. Karena itu kehadiran Nabi
Muhammad dengan al-Qur’annya tak mendapat resistensi dari tokoh-tokoh awal
agama Yahudi, Nashrani, dan kelompok Hanifiyah. Ini karena apa yang terkandung
dalam al-Qur’an lebih banyak merupakan afirmasi terhadap apa yang mereka
yakini. Dalam al-Qur’an (al-A’la [87]: 18-19) sendiri disebutkan, “inna hadza
lafi al-shuhuf al-ula, shuhuf Ibrahim wa Musa” (sesungguhnya (isi) al-Qur’an
ini telah terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Nabi
Ibrahim dan Nabi Musa).
Ketiga, masyarakat patriarkhi. Masyarakat Arab adalah sekelompok
orang yang lebih mengunggulkan laki-laki ketimbang perempuan. Masyarakat Arab
menentukan silsilah keturunan berdasarkan jalur ayah. Perempuan tak pernah
dicantumkan sebagai nama marga betapapun hebatnya si perempuan. Kedudukan
seseorang dalam strata sosial amat ditentukaan oleh tinggi-rendahnya garis
keturunan ayahandaanya. Jika sang ayah dari kelas bangsawan, maka tinggilah
status sosial anak-anaknya. Sebaliknya, jika si ayah dari kelas sosial
rendahan, maka rendahlah kelas sosial anak-anaknya. Untuk menjaga kelas sosial
seseorang, maka sejak zaman pra-Islam telah diterapkan konsep kafa’ah
(kesetaraan) dalam perkawinan. Itu sebabnya, perkawinan dengan budak tak
diperkenankan. Budak laki-laki hanya boleh menikah dengan budak perempuan.
Tidak jarang dijumpai perempuan yang tak menikah sampai tua karena tak
ditemukan laki-laki yang setara secara sosial dengan dirinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga, masyarakat
patriarkhi lebih memberikan kewenangan kepada laki-laki daripada perempuan
dalam pengambilan keputusan. Laki-laki juga pada umumnya lebih diberi peluang
untuk mengejar prestasi ketimbang perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai
pemimpin dalam keluarga, sementara perempuan adalah makhluk yang dipimpin. Efek
kepemimpinan dalam rumah tangga ini adalah: ayah diberi hak untuk menjadi wali
nikah buat anak gadisnya; laki-laki punya hak berpoligami bahkan tanpa batas,
laki-laki adalah ahli waris tunggal. Berbeda dengan laki-laki, perempuan sebelum
Islam umumnya lebih banyak diposisikan sebagai obyek ketimbang subyek. Bahkan,
Mazdak di Persia pada abad ke-5 pernah menganjurkan kepemilikian perempuan
secara kolektif. Ia beranggapan bahwa keburukan kerap terjadi akibat egoisme
laki-laki yang ingin memonopoli perempuan. Menurutnya, perempuan sebaiknya
adalah milik bersama seluruh laki-laki.
Sampai al-Qur’an diturunkan dominasi laki-laki atas perempuan masih
tetap terlihat. Di antaranya adalah firman Allah dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]:
34), “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allah telah
memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (al-rijalu qawwamuna ‘ala
al-nisa’ bima fadhdhala Allah ba’dhahum ‘ala ba’dhin wa bima anfaqu min
amwalihin). Ayat ini sekedar mendeskripsikan tentang tradisi masyarakat Arab
yang cenderung mengangkat suami sebagai pemimpin keluarga. Tentu ayat ini tak
menjelaskan seluruh relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga Arab saat
itu. Sebab, kerap dikisahkan bahwa di sebagian keluarga saat itu terdapat
beberapa orang istri yang mengambil kedudukan lebih tinggi ketimbang suami.
Leila Ahmed menempatkan Khadijah sebagai istri yang menduduki tempat penting
dalam keluarga Nabi Muhammad. Menurutnya, kekayaan melimpah yang dimiliki
Khadijah telah membebaskan Nabi Muhammad dari urusan mencari nafkah dan
memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum Muhammad diangkat
menjadi nabi.
Kehadiran Islam banyak mengubah kedudukan perempuan. Tak
sebagaimana sebelumnya, al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan punya hak untuk
mendapatkan warisan walau tak sebanyak bagian laki-laki. Jika zaman pra-Islam,
perempuan tak mendapatkan warisan, maka pada zaman Islam perempuan (anak
perempuan, istri, saudari perempuan) adalah ahli waris sebagaimana laki-laki.
Begitu juga, jika periode sebelum Islam, laki-laki bisa menikahi perempuan
dalam jumlah yang tak terbatas, maka dalam periode Islam dibatasi dengan
maksimal empat perempuan atau istri. Jika sebelum Islam, perempuan boleh
dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya untuk membunuh jiwa. Ditegaskan
dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu jiwa, maka sama dengan membunuh
semua jiwa. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, maka sama dengan
menghidupkan semua jiwa.
Bagaimana Memahaminya Kini?
Penjelasan demi penjelasan di atas menyampaikan kita pada sebuah
kesimpulan umum bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks kesejarahan. Dalam
ilmu al-Qur’an, konteks yang melatari kehadiran al-Qur’an itu disebut asbab
al-nuzul, yaitu sebab-sebab yang mengitari turunnya al-Qur’an. Al-Wahidi,
sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, berkata bahwa
tak mungkin seseorang bisa mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan
sebab kehadirannya (la yumkinu ma’rifat tafsir al-ayat duna al-wuquf ‘ala
qishshatiha wa bayan nuzuliha). Ibn Taymiyah juga berkata bahwa mengetahui
sebab turunnya suatu ayat akan membantu seseorang dalam memahami makna dan
pengertian ayat tersebut (ma’rifat sabab al-nuzul yu’inu ‘ala fahm al-ayat).
Asbab
al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan ada yang bersifat
sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosial-ekonomi-politik
masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya, al-Syathibi
mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang mengerti adat-kebiasaan
bahkan sosio linguistik masyarakat Arab. Dengan perkataan lain, seorang
mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwa-periswa personal yang menyertai
turunnya al-Qur’an melainkan juga perlu mengerti peristiwa-peristiwa struktural
yang menjadi lanskap kehadiran al-Qur’an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya,
al-Qur’an misalnya turun dalam konteks masyarakat pagan, masyarakat patriarkhi,
masyarakat komunal-tribal dalam suasana Mekah yang tandus-kering dan Madinah
yang sedikit lebih subur.
Konteks-konteks itu, suka atau tidak, terekam dengan baik dalam
kitab suci al-Qur’an dan tentu saja menjadi sebab kehadirannya. Itu sebabnya
tak keliru ketika seseorang berkata bahwa al-Qur’an dalam beberapa hal
merupakan cerminan dari kondisi dan adat istiadat yang berkembang ketika itu.
Ketika al-Qur’an berkata bahwa Allah mengutus setiap Rasul melalui “lisan
kaumnya” (bi lisani qawmihi, QS, 14: 4), itu merupakan justifikasi doktrinal
atas gagasan bahwa pesan wahyu telah diadaptasikan pada lingkungan budaya,
sejarah, dan linguistik manusia. Dari berbagai adat kebiasaan masyarakat Arab
itu ada yang dimodifikasi dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi, ada juga yang
dibuang karena sudah tak relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban.
Salah satu contoh dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi
untuk kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat berthawaf di
Ka’bah, sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara tradisi
masyarakat Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan
patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih
wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil
yang baru yang lebih baik).
Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan
sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik kebiasaan
masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu yang benar tanpa
perlu ada kritik. Kecenderungan masyarakat Arab yang menuhankan tradisi leluhur
itu dideskripsikan al-Qur’an (al-Zuhruf [43]: 23-24, “Demikianlah, Kami (Allah)
tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pemberi peringatan
(Rasul) dalam suatu negeri, melainkan orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata, “sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas
suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul) itu
berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang kepadamu
semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di
atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu
itu”.
Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu
baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan terutama
untuk kepentingan transfomasi sosial. Al-Qur’an pun tak menutup mata terhadap
tindakan tidak manusiawi dan diskriminatif terhadap perempuan. Kehadiran
al-Qur’an bahkan untuk menata relasi
sosial laki-perempuan yang berkeadilan. Al-Qur’an pun memberikan kritik sangat
keras terhadap ketimpangan ekonomi di Semenanjung Arabia saat itu. Al-Qur’an
tak membiarkan masyarakat Arab pagan yang menyembah berhala. Kehadiran
al-Qur’an justru untuk merombak keyakinan masyarakat Arab yang tak rasional
itu. Dengan itu, ada perubahan praktek dan ritus peribadatan, dari menyembah
berhala ke menyembah Allah SWT. Jika dalam politeisme setiap tuhan
merepresentasikan satu wajah personal, maka Tuhan dalam monoteisme yang dibawa
al-Qur’an adalah Allah Yang Satu dengan kuasa yang mutlak-tak terbatas.
Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, saya kira perlu
terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak cukup
hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna terdalam al-Qur’an
harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap kelompok yang tertindas baik
secara ekonomi maupun sosial-politik. Pengungkapan terhadap makna al-Qur’an itu
bisa dilakukan dengan penghampiran yang bersifat historis. Menurut Sachiko
Murata dan William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa al-Qur’an
bisa dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir al-Qur’an bisa
berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan ayat-ayat
Allah. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam kitab suci,
sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar dalam masyarakat.
Kedua, kita perlu
mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an
menempuh perubahan secara radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu
dilakukan secara bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan
berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang dikampanyekan
al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan patung dan berhala yang
sedang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut
dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Allah
berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 116), “Sesungguhnya Allah tak
mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu) dengan Dia (Allah), dan Dia (Allah)
mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikendakinya.
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya yang
bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.
Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait
dengan tauhid, al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Misalnya, praktek
meminum khamr yang sudah berlangsung lama bahkan telah menjadi tradisi masyarakat
Arab secara kolektif tak diharamkan al-Qur’an secara sekaligus. Al-Qur’an
mengawali responsnya dengan menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr,
lalu tak diperkenankannya menimum khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan
bahwa meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh belakangan, hanya
beberapa tahun sebelum Rasulullah meninggal dunia. Ini karena sejak awal telah
dipahami bahwa mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berurat-berakar
membutuhkan proses penahapan untuk mengubahnya.
Penahapan aturan seperti yang dilakukan al-Qur’an ini saya kira
amat diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik atau undang-undang
dalam dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan publik perlu
memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan masyarakat sekiranya sebuah
undang-undang hendak diterapkan. Kebijakan publik atau undang-undang yang
dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu
hanya akan mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata
yang tak berguna.
Ketiga, hermeneutika
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu metodologi untuk membaca teks
al-Qur’an. Hermeneutika biasanya dipahami sebagai ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau peristiwa di masa lalu bisa dipahami
dan tetap bermakna secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Rudolf
Bultmann berkata, biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang
antara masa lalu dan masa kini. Banyak para penafsir al-Qur’an kontemporer
berpendapat bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk teks
al-Qur’an akan bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan hermeneutika.
Hermeneutika tentu tak perlu diposisikan sebagai metode tunggal dan
pokok untuk membaca al-Qur’an. Ia harus kita letakkan sebagai pelengkap dari
metode penafsiran al-Qur’an yang sudah ada dalam Islam seperti ushul fikih.
Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa ditembus dengan ushul fikih, tapi
ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya kita menggunakan hermeneutika.
Namun, perlu dicatat, sebagaimana ushul fikih memiliki keterbatasan dan tak
bisa diabsolutkan, maka demikian juga halnya dengan hermeneutika. Wallahu A’lam
bis Shawab.
Daftar Pustaka
Abd
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, Depok: KataKita, 2009
Al-Qurthubi,
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadits, 2002.
Duncan
S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, London: SCM Press, Tanpa
Tahun.
Ibn
Ishaq, al-Sirah al-Nabawiyah, Kairo: Quththa’ al-Tsaqafah, 1998
Ibn
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Dar al-Hadits, 1992
Jalaluddin
al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun
Jawad
Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, Beirut: Dar al-Ilm li
al-Malayin, Tanpa Tahun.
Khalil
Abdul Karim, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS,
2002
Leila
Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, Yale
University Press, 1992
M.
Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: Dalam Sorotan al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Marshall
G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 1999
Muhammad
Husain Haikal, Hayat Muhammad, Kairo Dar al-Ma’arif, Tanpa Tahun
Nurcholish
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Philip
K Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present, New
York: Palgrave Macmillan, 2002
Richard
E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969.
Sachiko
Murata & William C. Chittik, The Vision of Islam, Yogyakarta: Suluh Press,
2005.
muda''n manfaat...
BalasHapus