Sejarah Peradaban Islam
Perkembangan Islam di Flipina
Disusun Oleh:
Suherman
Prodi Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Asia tenggara adalah sebutan
untuk wilayah daratan Asia bagian timur yang terdiri dari jazirah Indo-Cina dan
kepulauan yang banyak serta terlingkupi dalam Negara Indonesia dan Philipina.
Melihat sejarah masa lalu, tampak bahwa Islam bukanlah agama pertama yang
tumbuh pesat, akan tetapi Islam masuk ke lapisan masyarakat yang waktu itu
telah memiliki peradaban, budaya, dan agama. Taufiq Abdullah menulis dalam
bukunya renaisans Islam di Asia Tenggara, bahwa kawasan Asia Tenggara terbagi
menjadi tiga bagian berdasarkan atas pengaruh yang diterima wilayah tersebut.
Pertama, adalah wilayah
Indianized Southeast Asia, Asia Tenggara yang dipengaruhi India yang dalam hal
ini Hindu dan Budha.
Kedua, Sinized South East
Asia, wilayah yang mendapatkan pengaruh China, adalah Vietnam. Ketiga, yaitu wilayah Asia Tenggara yang dispanyolkan, atau Hispainized
South East Asia, yaitu Philipina.
Ketiga pembagian tersebut
seolah meniadakan pengaruh Islam yang begitu besar di Asia tenggara, khususnya
Philipina. Seperti tertulis bahwa Philipina termasuk negara yang terpengaruhi
oleh Spanyol. Hal itu benar adanya, akan tetapi pranata kehidupan di Philipina
juga terpengaruhi oleh Islam pada masa penjajahan amerika dan spanyol. Sedikit
makalah di bawah ini akan menyingkap dengan singkat tentang sejarah masuknya
Islam di Philipina.
A.
Sejarah Masuknya Islam di Filipina
Islam di Asia menurut Dr.
Hamid mempunyai tiga bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan
mayoritas penduduk. Kedua, kelompok minoritas Islam. Ketiga, kelompok
negera-negara Islam tertindas. Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid
mencantumkan bahwa Islam di Philipina merupakan salah satu kelompok Minoritas
di antara negara-negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977,
Masyarakat Philipina berjumlah 44. 300.000 jiwa. Sedangkan jumlah masyarakat Muslim
2.348.000 jiwa. Dengan presentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao
dan Mogondinao. Hal itu pastinya tidak
lepas dari sejarah latar belakang Islam di negeri Philipina. Bahkan lebih dari
itu, bukan hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih
berlanjut sampai saat ini. Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Philipina
Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib
dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang
pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan
sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra
Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan
Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga,
akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk
Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem
pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran
yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan
Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di
propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan
ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan
pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja. Menurut ahli sejarah
kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri
Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut
banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen Secara umum, gambaran Islam masuk di
Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern.
B.
Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya
orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah
mencium adanya maksud lain di balik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans.
Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa
perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru
menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani
dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian
kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk
pada tahun 1876 M). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan
perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Walaupun
demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total. Selama masa
kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai)
serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan
orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai
“Moor” (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan
huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada
orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut. Tahun 1578 M
terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi
wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial
Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam
di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan
mengatasnamakan “misi suci”. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa
curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga
sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat
politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari
pulau Cebu.
C.
Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun Spanyol gagal
menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu
merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol
kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun
1898 M melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan
diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Dan inilah karakter
musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan
ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan
beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan
bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar
tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan
pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao
dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka.
Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi
Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan
Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto
Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali
pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa
selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk
membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para
kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai
kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup
efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi
penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian
disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka.
Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan
strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai
hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai
berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya
kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke
dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke
dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkuranngya
kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke
Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.
D.
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah
Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi
Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan
jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496
(November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk
tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission
Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu,
atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang
atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober
1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land
Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang
menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka
untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta
Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang
berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan
birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah. Pada intinya
ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah
kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan
pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Pemberlakukan
Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya
pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah
Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan
survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang
baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan berdasarkan
Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung
ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama. Bahkan seorang
senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman
besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman
(homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha
mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum. Kepemilikan
tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut
mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa
motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk
menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun
koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu
AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro
menjadi minoritas di tanah mereka
E.
Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan yang
didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti
khusus bagi Bangsa Moro. Hengkanngya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari
Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun
patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan
dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM,
Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama
juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang
melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina
disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban
Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi.
Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti
penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke
pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon
Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino
(1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos
berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden
Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos, maka masa pemerintahan Ferdinand
Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro.
Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation
Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih
dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan
berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya
terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj
Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation
Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni
berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina
Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari
mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas
Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan
dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan
Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta
lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang
telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya
konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya
menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak
memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah
memilih salah satu di antara mereka walaupun dengan penuh resiko. “Semua orang
harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya. Dan jadilah
bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri. Dari telusan diatas,
begitu kentara bahwasanya islam masuk Philipina dengan jalan yang tidak mulus,
berliku dan harus menghadapi rintangan dan hambatan dari dalam maupun luar
negeri. Imbasnya, maka pada awal tahun 1970-an, Islam di Philipina merupakan
komunitas minoritas dan tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan
suatu konsekwensi bagi kaum minoritas Islam berseberangan dengan kepentingan
pemerintah, hingga timbullah konflik yang berkepanjanangan antara pemerintah
dan komunitas muslim.
F.
Suku Moro dan Perkembangan Islam di Philipina
Suku Bangsa Moro adalah
sebuah suku yang terdapat di Filipina, Indonesia bahkan tersebar diberbagai
pulau. Di antaranya di Maluku dengan nama Pulau Moro Tai, di Sumatera terdapat
kecamatan Moro di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Indonesia. Di Philipina
Suku Moro di Mindanao adalah suku etnoreligius yang terdiri atas 13 suku yang
mendiami Filipina bagian Filipina selatan. Daerah tempat kelompok ini meliputi
bagian selatan Mindanao, kepulauan Sulu, Palawan, Basilan dan beberapa pulau
yang bersebelahan. Suku Moro merupakan suku bangsa pelaut yang gigih dan dapat
beradaptasi di berbagai tempat mereka berdiam. Sebagian besar mereka berdiam di
Mindanao Philipina. Pulau
kalimantan bagian timur Rumpun Bangsa moro bernama Suku Bajau. Suku Bajau
adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku
ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi
laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun
yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku
Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan
bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang
Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki
pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari
rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar.
Wilayah yang terdapat
suku Bajau, antara lain :
1. Kalimantan Timur
(Berau, Bontang, dan lain-lain)
2. Kalimantan Selatan
(Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis
3. Sulawesi Selatan
(Selayar)
4. Sulawesi Tenggara
5. Nusa Tenggara Barat
6. Nusa Tenggara Timur
(pulau Komodo)
7. Dan lain-lain
Luas Mindanao ialah
94.630 km², lebih kecil 10.000 km² dari Luzon. Pulau ini bergunung-gunung,
salah satunya adalah Gunung Apo yang tertinggi di Filipina. Pulau Mindanao
berbatasan dengan Laut Sulu di sebelah barat, Laut Filipina di timur dan Laut
Sulawesi di sebelah selatan. Penduduk mindanau adalah 19 juta dimana kurang
lebih 5 juta adalah muslim. Mindanao adalah pulau terbesar kedua di Filipina dan salah satu dari tiga
kelompok pulau utama bersama dengan Luzon dan Visayas. Mindanao, terletak di
bagian selatan Filipina, adalah kawasan hunian bersejarah bagi mayoritas kaum
muslim atau suku Moro yang sebagian besar adalah dari etnis Marano dan Tasaug.
Moro adalah sebutan penjajah spanyol kepada kaum muslim setempat. Pada masa
dahulu mayoritas penduduk Midanau dan pulau sekitarnya adalah muslim.
Peperangan untuk meraih kemerdekaan telah ditempuh oleh berbagai kaum Muslim
selama lima abad melawan para penguasa. Pasukan Spanyol, Amerika, Jepang dan
Filipina belum berhasil meredam tekad mereka yang ingin memisahkan diri dari
Filipina yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Kini mayoritas populasi
Mindanao beragama katolik. Pada saat sekarang muslim hanya menjadi mayoritas di kawasan otonomi ARMM,
The Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM). ARMM di bawah kepemimpinan
Misuari mencakup Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, dan Tawi-Tawi. ARMM dibentuk
oleh pemerintah pada tahun 1989 sebagai daerah otonomi di Filipina Selatan.
Sebagai hasil dari kesepakatan damai antara MNLF dan pemerintah pusat Filipina.
Ketika itu penduduk boleh menyatakan pilihannya untuk bergabung dalam wilayah
otonomi Muslim dan hasilnya empat wilayah tersebut memilih untuk bergabung.
Meskipun begitu kesepakatan itu tidak cukup memuaskan sebagian pejuang muslim
sehingga munculah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf.
Kelompok ini bersumpah untuk menentang dan memboikot ARMM dan tetap
memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun pada saat sekarang MILF juga menerima
otonomi dengan syarat wilayah otonomi ARMM diperluas dengan ditambahkan
beberapa propinsi lagi sebagai tambahan. Bangsa Eropa pertama kali tiba pada
tahun 1521 dipimpin oleh Magellan yang kemudian dibunuh oleh kepala suku
setempat dalam peperangan. Kemudian Tentara Spanyol yang dipimpin Miguel Lopez
Legaspi, yang tiba di pantai kepulauan Filipina pada tahun 1565, menghentikan
perkembangan dakwah Islam pada tahun 1570 di Manila, yang menyebabkan
terjadinya pertempuran selama berabad-abad masa pendudukan Spanyol. Dapat
dipastikan, kalau bukan karena kedatangan orang Spanyol maka –insya Allah-
semua orang Filipina adalah muslim, sama seperti sebagian besar daerah-daerah
di Indonesia dan Malaysia. Sehingga dapat dikatakan bahwa penjajahan Spanyol bermula pada tahun 1565
di salah satu pulau Filipina dan mereka segera mengetahui bahwa sebagian
penduduk setempat beragama Islam. Mereka mengidentifikasi orang-orang itu
dengan musuh historis mereka yaitu umat Islam Andalus yang disebut Moor, yang
kemudian menjadi sebutan untuk umat Islam di kawasan Filipina Selatan. Hal ini
membuat bangsa Spanyol memusuhi umat Islam setempat dan selama tiga ratus tahun
penjajahan Spanyol perang terus terjadi. Disamping suku
Maguindanao, suku lain yang bertempat tinggal di pulau Mindanao adalah suku
Maranao yang merupakan kelompok Muslim terbesar kedua di Filipina. Dari sekian
kelompok Muslim Filipina Maranao adalah yang terakhir memeluk Islam. Sufisme
memengaruhi corak Islam di Maranao, terutama dalam hal kosakata dan musik
ritual. Nama Bangsamoro merujuk pada empat suku yang mendiami Filipina selatan,
yaitu Tausug, Maranao, Maguindanao, dan Banguingui. Sejarah Awal Muslim Filipina Muslim Filipina memiliki sejarah panjang, sama
panjangnya dengan kedatangan Islam ke kawasan Asia Tenggara secara umum.
Menurut cendekiawan Muslim Filipina, Ahmed Alonto, berdasarkan bukti-bukti
sejarah yang terekam, Islam datang ke Filipina pada tahun 1280. Muslim pertama
yang datang adalah Sherif Macdum (Sharif Karim al-Makhdum) yang merupakan
seorang ahli fikih. Kedatangannya kemudian diikuti oleh para pedagang Arab dan
pendakwah yang bertujuan menyebarkan Islam. Pada mulanya dia tinggal di kota
Bwansa, dimana rakyat setempat dengan sukarela membangun masjid untuknya dan
banyak yang ikut meramaikan masjid. Secara bertahap beberapa kepala suku
setempat menjadi Muslim. Kemudian dia juga mengunjungi beberapa pulau lain.
Makamnya dipercaya terdapat di pulau Sibutu. Selain orang
Arab, umat Islam India, Iran dan Melayu datang ke Filipina, menikahi penduduk
lokal dan mendirikan pemerintahan di pulau-pulau yang tersebar di kepulauan
Filipina. Salah seorang pendiri pemerintahan itu adalah Sharif Abu Bakr, yang
berasal dari Hadramaut yang datang ke kepulauan Sulu melalui Palembang dan
Brunei. Dia menikahi putri pangeran Bwansa, Raja Baginda, yang sudah beragama
Islam. Ayah mertuanya menunjuknya sebagai pewaris. Setelah menggantikan
mertuanya dia menjalankan pemerintahan dengan hukum Islam dengan memerhatikan
adat istiadat setempat. Dengan demikian, dia bisa disebut sebagai pendiri
kesultanan Sulu yang bertahan hingga kedatangan Amerika ke Filipina. Kesultanan
Sulu mencapai puncak kejayaannya pada abad delapan belas dan awal abad sembilan
belas, ketika pengaruhnya membentang hingga Mindanao dan Kalimantan utara. Kepulauan Sulu di Filipina selatan terletak sepanjang rute perdagangan
antara Malaka dan Filipina, karenanya pedagang Arab dikenal sebagai orang yang
membawa Islam ke wilayah ini. Kepulauan Sulu merupakan jalur perdagangan
penting yang menghubungkan antara pedagang Arab dan Cina selatan. Menurut
sebagian ahli, ada kemungkinan telah terjadi Islamisasi oleh Cina Muslim.
Disamping kepulauan Sulu, pulau Mindanao adalah tempat tinggal Muslim. Di
Mindanao, Islam dibawa oleh Sharif Kabungsuwan yang berasal dari Johor yang
merupakan keturunan Nabi saw. dan ibu seorang Melayu. Dia menikahi Putri
Tunina. Pulau Mindanao ditinggali oleh suku Maguindanao, yang sebagian besar tinggal
di bagian selatan yang disebut Cotabato. Bangsa Eropa pertama kali tiba pada
tahun 1521 dipimpin oleh Magellan yang kemudian dibunuh oleh kepala suku
setempat dalam peperangan. Kolonisasi Spanyol bermula pada saat Tentara Spanyol
yang dipimpin Miguel Lopez Legaspi, yang tiba di kepulauan Filipina pada tahun
1565, menghentikan perkembangan dakwah Islam pada tahun 1570 di Manila, yang
menyebabkan terjadinya pertempuran selama berabad-abad masa pendudukan Spanyol
di salah satu kepulauan Filipina dan mereka segera mengetahui bahwa sebagian
penduduk setempat beragama Islam. Mereka mengidentifikasi orang-orang itu
dengan musuh historis mereka yaitu umat Islam Andalus yang disebut Moor, yang
kemudian menjadi sebutan untuk umat Islam di kawasan Filipina selatan. Hal ini
membuat bangsa Spanyol memusuhi umat Islam setempat dan selama tiga ratus tahun
penjajahan Spanyol perang terus terjadi. Disamping suku Maguindanao, suku lain yang bertempat tinggal di pulau
Mindanao adalah suku Maranao yang merupakan kelompok Muslim terbesar kedua di
Filipina. Dari sekian kelompok Muslim Filipina Maranao adalah yang terakhir
memeluk Islam. Sufisme memengaruhi corak Islam di Maranao, terutama dalam hal
kosakata dan musik ritual. Nama Bangsamoro merujuk pada empat suku yang
mendiami Filipina selatan, yaitu Tausug, Maranao, Maguindanao, dan Banguingui.
Sebagai penutup bagian ini akan dihadirkan kesimpulan C. A. Majul dalam bukunya
Muslims in the Philippines. Majul membagi Islamisasi awal di Sulu ke dalam
beberapa tahap. Tahap pertama terjadi pada seperempat terakhir abad ketiga
belas atau lebih awal ketika para pedagang asing mendiami kawasan ini. Beberapa
pedagang ini menikahi keluarga setempat yang berpengaruh. Pada tahap ini
elemen-elemen Islam awal diintegrasikan ke dalam masyarakat setempat dan secara
bertahap terjadi pembentukan keluarga Muslim. Tahap kedua, yang diperkirakan
terjadi pada paruh kedua abad keempat belas, adalah kelanjutan dari pendirian
kumpulan keluarga Muslim yang secara bertahap melakukan dakwah terhadap
masyarakat setempat. Peristiwa ini bersamaan dengan proses dakwah Islam di
Jawa. Pada tahap ini para pendakwah dikenal dengan sebutan “makhdumin”. Tahap
ketiga adalah kedatangan Muslim Melayu dari Sumatra pada permulaan abad kelima
belas. Hal ini ditandai dengan kedatangan Rajah Baguinda dengan beberapa
penasehatnya yang ahli agama, yang membuat umat Islam saat itu memiliki
penguasa Muslim yang menjamin berjalannya proses dakwah. Tahap selanjutnya
ialah pendirian kesultanan oleh Shariful Hashim menjelang tengah abad kelima
belas. Pada saat ini, Islam telah menyebar dari daerah pantai ke daerah pegunungan
di pedalaman pulan Sulu. Penerimaan kepala suku-kepala suku setempat di daerah
pantai menandakan bahwa kesadaran tentang Islam telah menyebar luas. Menjelang
permulaan abad keenam belas, hubungan politik dan perdagangan yang semakin
meningkat dengan bagian kepulauan Nusantara lain yang telah diislamisasi menjadikan
Sulu sebagai bagian dari darul Islam yang berpusat di Malaysia. Sekitar akhir
abad keenam belas dan beberapa dekade awal abad ketujuh belas, persekutuan
politik dengan kerajaan-kerajaan Islam yang bertetangga untuk menghadapi bahaya
penjajahan dan Kristenisasi Barat dan para pendakwah yang terus berdatangan
menjamin keberlangsungan Islam di Sulu hingga sekarang. Muslim Filipina Sebagai
Minoritas Sejak awal hingga pertengahan abad dua puluh, hubungan antara Muslim
Filipina dan dunia Islam secara umum dilakukan melalui umat Islam Asia Tenggara
yang lain. Hal ini disebabkan kedekatan kultural dan, terutama, relijius
Bangsamoro dan bangsa Melayu yang lain. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa,
sebelum penggunaan bahasa Arab menjadi populer, buku-buku agama di Mindanao dan
Sulu kebanyakan berbahasa Melayu yang ditulis dalam aksara jawi, hanya sedikit
orang yang mampu membaca huruf Arab. Setelah
Filipina merdeka pada 1946 dan pulau Mindanao dan Sulu dijadikan bagian dari
Republik Filipina, hubungan antara Muslim Filipina dan negara Timur Tengah
semakin kuat. Hubungan ini ditandai dengan pengiriman para pelajar Mindanao ke
universitas al-Azhar dan semakin banyaknya beasiswa yang disediakan oleh
negara-negara Arab. Dengan ini hubungan Muslim Filipina yang pada mulanya
berorientasi Asia Tenggara menjadi semakin terbuka terhadap akses langsung
Islam di Timur Tengah. Tidak hanya itu, pengaruh gerakan reformis di Mesir dan
Indo-Pakistan ikut memengaruhi umat Islam di Mindanao dan Sulu. Keterpengaruhan
ini terlihat, misalnya, pada sosok Salamat Hashim, pendiri dan kepala MILF
(Moro Islamic Liberation Front) yang diinspirasi oleh pemikiran Sayid Qutb dan
Abul A’la al-Maududi. Hubungan yang erat dengan komunitas Muslim yang lebih
luas mendatangkan keuntungan bagi umat Islam di Mindanao dan Sulu. Seperti yang
terjadi di awal tahun tujuh puluhan, ketika media massa melaporkan pembantaian
terhadap kaum Muslim, Libya langsung bereaksi dan berinisiatif membawa kasus
ini ke hadapan OKI (Organisasi Konferensi Islam). Pada mula umat Islam Filipina memilih jalan damai untuk merebut kedaulatan.
Setelah terbukti bahwa perjuangan konstitusional untuk merebut kemerdekaan
tidak dapat dilakukan, mereka membentuk MNLF (Moro National Liberation Front)
untuk mengorganisasi perjuangan bersenjata. Tujuan berdirinya MNLF pada mulanya
ialah untuk membentuk negara sendiri. Namun kemudian hal ini berubah ketika
pemerintah Filipina memulai negosiasi dengan MNLF pada 1975 dan setahun
kemudian tercapai kata sepakat tentang kerangka penyelesaian masalah di
Filipina. Persetujuan ini dikenal dengan Kesepakatan Tripoli yang
ditandatangani pada 23 Desember 1976 antara MNLF dan pemerintahan Filipina.
Kesepakatan ini mengikat MNLF untuk menerima otonomi sebagai status bagi
wilayah Filipina selatan. Penerimaan MNLF terhadap Kesepakatan Tripoli memicu
perpecahan di kalangan internal MNLF, yang berakibat pada munculnya faksi baru
yang bernama MILF. Kesepakatan Tripoli berisi pembentukan pemerintahan otonomi di Filipina
selatan yang mencakup tiga belas propinsi, yaitu Basilan, Sulu, Tawi-Tawi,
Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, Cotabato utara, Manguindanao, Sultan
Kudarat, Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, Cotabato selatan, dan Palawan.
Otonomi penuh diberikan pada bidang pendidikan dan pengadilan, sementara bidang
pertahanan dan politik luar negeri tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat di
Manila. Kesepakatan damai yang ditanda tangani di Tripoli ternyata dikhianati
oleh Ferdinand Marcos, dengan mengadakan referendum di tiga belas propinsi yang
tercantum dalam Kesepakatan Tripoli untuk mengetahui penduduk ketiga belas
propinsi yang akan diberi otonomi khusus. Referendum yang dilakukan Marcos ini
sebenarnya adalah cara yang dia gunakan untuk membatalkan Kesepakatan Tripoli
secara halus. Dengan program perpindahan penduduk yang digalakkan pemerintah
pusat untuk mendorong rakyat bagian utara yang mayoritas Katolik, kawasan
selatan yang semula lebih banyak penduduk Muslim menjadi didominasi warga
Katolik/Kristen. Kondisi ini memastikan hasil yang diharapkan Marcos, yaitu
menolak otonomi. Disamping perjuangan bersenjata melalui organisasi seperti
MNLF, masyarakat sipil juga melakukan pendekatan damai dan demokratis dibawah
pengawasan PBB, melalui Bangsamoro People’s Consultative Assembly yang
melakukan pertemuan pada tahun 1996 dan 2001. Pertemuan
pertama, yang menurut laporan dihadiri lebih dari satu juta orang, menghasilkan
pernyataan untuk mendirikan kembali negara dan pemerintahan Bangsamoro. Hal ini
semakin nyata dalam pernyataan bersama yang dideklarasikan oleh ratusan ribu
Bangsamoro yang ikut serta dalam Rapat Umum untuk Perdamaian dan Keadilan in
Cotabato City dan Davao City pada 23 Oktober 1999, di Marawi City pada 24
Oktober 1999, dan di Basilan pada 7 Desember 1999. Dalam serangkaian rapat umum
mereka mengeluarkan pernyataan sikap terhadap pemerintah Filipina: “…kami
percaya bahwa satu-satunya solusi berguna dan abadi bagi hubungan yang tidak
sehat dengan pemerintah Filipina adalah pengembalian kebebasan kami yang secara
ilegal dan imoral telah dicuri dari kami, dan kami diberi kesempatan untuk
mendirikan pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai sosial, relijius dan budaya
kami”. Sikap ini dipertegas dalam
pertemuan kedua, yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan dihadiri sekitar dua
setengah juta orang, yang menyatakan ”Satu-satunya solusi yang adil, bermakna
dan permanen untuk persoalan Mindanao adalah kemerdekaan rakyat dan wilayah
Bangsamoro sepenuhnya”. Dan hingga sekarang masyarkat moro masih berjuang untuk
merdekan atau otonami dengan wilayah yang diperluas.
Daftar Pustaka
Sejarah Islam Klasik. Prof Dr. Hj. Musyrifah Sunanto,
kencana prenada media group cetakan ke-4,februari 2011
Sejarah Peradaban Islam. Dedi Supriyadi, M.Ag. Pustaka
setia Bandung 2008.
Sejarah Peradaban Islam. Dr, Badri Yatim M.A, Raja
Grafindo Persada 2002.
Jaringan Ulama, Dr. Azyumardi Azra, Mizan 1998.
Historiografi Islam, Dr. H. Badri Yatim, M.A, Logos 1997