Jumat, 09 Januari 2015

KONSEP HERMENEUTIKA MENURUT HEIDEGGER


KONSEP HERMENEUTIKA MENURUT HEIDEGGER

A.    Pendahuluan
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika adalah ilmu yang merupakan produk dari pandangan hidup dan peradaban tersebut.

B.     Biofrafi Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortus. Martin Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomelogi). Sebelumnya ia kuliah di fakultas Teologi sampai empat semester, lau pindah filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat Neo-Kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh padanya.
Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf Bultmann, kemudian kembali ke Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg ia sempat menyelesaikan karya monumental Sein und Zeit (Being and Time). Pada 1993, ia di angkat oleh gerakan Nazi menjadi rektor pertama di Universitas Freiburg. Sadr kalau dirinya dieksploitasi, setahun kemudian ia meletakkan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiun 1957.
Selain Sein and Zeit dan Einfuhrung in die Methaphisic, masih banyak lagi karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas maslah seperti “What is Being”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga dengan judul-judul megenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati. [1]

C.     Latar Belakang Pemikiran Heidegger
            Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Kaum fenomenologi menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoritis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini.sementara Heidegger adalah mahasiswa dan sekaligus asistennya. Hal ini lah yang mempengaruhi pemikiran Heidegger.  (Rifqi K. Anam) Heidegger menjadi tertarik mengenai pertanyaan “Ada”. Karyanya yang terkenal Being and Time dicirikan sebagai sebuah karya fenomenologis. Gagasan tentang ada berasal dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger  setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga mengkritik Descrates “aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman seseorang bisa berpikir, apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi Heidegger adalah “Aku ada, maka aku berpikir”.
            Heidegger mengarah pada metakritik atas kritik-kritik Kant, Heidegger menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan yang lebih bersifat ontologism dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis Heidegger menyediakan sebiah re-orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh lebih radikal dengan mengembangkan sejumlah  Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale) yang, dalam hubungannya dengan “kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”, “menjadi dua kemungkinan dari karakter-karakter Ada”.[2]

D.    Pemikiran Hermenutika Heidegger
Hakikat eksistensi – menurut Heidegger—melampaui dan berada di atas kesadaran subjektifitas. Karena kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti. Terdapat indikasi – dihubungkan dengan hermenutik—bahwa Heidegger menganggap hermenutik sebagai fenomena (hermeneutic of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia menganggap bahwa tugasnya dalam buku Being and Time adalah menjelaskan hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat fenomenologinya dan ia kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan memandangnya disusun oleh dua unsure, phenomenon dan logos. Bagian pertama menunjuk pada “sekumpulan yang nampak karena cahaya siang” atau “objek yang terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan atau penampakan bagi objekini tidak mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia menjadi unsure kedua yang menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah penampakan dari berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya. Dengan kata lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua—atau manifestasinya dalam persepsi—melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya.[3]
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology— Hermeneutics of Facticity. Heidegger merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutic of facticity”. Heidegger mengunakan istlah ontology bagi proyeknya. Ontology dalam pemikirian Heidegger  tidak dimaksud untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika tradisonal. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asli ketika Ada belum disalahpahami. Ada Heidegger bertolak dari “ada” partikuler yang menanyakan Ada. Ada partikuler tersebut dinama Dasein. Jadi ontology disini dimaksudkan sebagai kajian yang bertolak dari Dasein.
Daseinyang secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-world, capable of being with itself (at-home-in), as well as with others (there involved in), for a period of temporal spatial duration.”. [4] Kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang disebut Heideger sebagai faktis (factical). Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontology yang dimaksud Heidegger disini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada”particular dalam temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai hermeneutic faksitas. Dalam hal ini, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar tidak hanya pada disiplin ontology tetapi juga bidang hermeneutic denga mengganti objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak dalam temporalitas.
Contoh fenomena ini adalah hermeneutic . bidang hermeneutic dengan menguraikan perjalanan sejarah dimana hermeneutic didefinisikan dan didefinisikan ulang sejak masa klasikgga sekarang . artinya hermeneutic bahwa pemahaman tidak didasarkan pada berbagai kategori dan kesadaran kemanusiaan. Tetapi muncul dari manifestasi-manifestasi objek yang kita hadapi yang berupa kebenaran yang kita persepsikan—pahami. Manusia,dalam eksistensinya dan atas dasar jangkauan eksistensinya ini menemukan pemahaman terbatas terhadap hakikat eksistensi yang sempurna.  Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang stabil, tetapi pemahaman yang terbentuk secara historis dan berkembang dalam menghadapi berbagai fenomena. Eksistensi manusia menurut pemahaman ini merupakan praktek berkesinambungan dalam memahami berbagai fenomena dan eksistensi tersebut sekaligus.
Dengan demikian fenomenologi menjadi hermeneutic. Dan hermeneutic-- praktek pemahaman –menjadi eksistensi. Pemahaman adalah kemampuan untuk mempersepsikan berbagai kemungkinan eksistensi bagi individu dalam konteks kehidupannya dan eksistensinya di dunia. Pemahaman bukanlah potensi atau bakat untuk merasakan pemahaman pribadi lain, sebagaimana pemahaman bukanlah kemampuan untuk mencerna makna berbagai ekspresi hidup yang dalam. Pemahaman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan atau dimiliki, namun merupakan salah satu bentuk eksistensi di dunia ini, atau satu elemen yang mendasari dunia ini. Karean inilah--dari segi eksistensi—pemahaman adalah dasar dan yang mendahului segala aktifitas eksistensialis (menjadi atau being). Fenomena alam dan ketersingkapannya hanya terjadi dalam bahasa (pembicaraan).
Secara alami teks tiadaklah dianggap sebagai ekpresi dari “kebenaran internal” sebagaimana syair tidak mengungkapkan sisi-sisi internal kepada kita. Tetapi lebih tepat dianggap sebagai pengalaman eksistensial. Teks merupakan keterlibatan dalam kehidupan “sebagaimana pengalaman ekistensi” yang melampaui subjektivitas dan objektivitas.
Dalam pemahaman dan interprestasi terhadap teks , kita tidak berawal dari kekosongan, tetapi kita mulai—sebagaimana pemahaman eksistensi—dari pengetahuan awal tentang teks dan jenis-jenisnya. Bahkan mereka yang tidak memiliki konsep adanya eksistensi seperti pengetahuan ini atau menyangkalnya, juga mereka mulai dengan gambaran bnahwa teks ini misalnya merupakan lirik. Disisi lain, kita tidak menemukan teks diluar bingkai ruang dan waktu, tetapi kita menemuinya dalam situasi yang terbatas. Kita tidak menemui teks dengan keterbukaan yang statis, tetapi kita menemuinya dengan saling mempertanyakan. Pertanyaan seperti ini merupakan dasar eksistensi dalam memahami teks, kemudian menginterprestasikannya secara sempurna sebagaimana persepsi kita terhadap eksistensi yang sempurna dengan eksistensi subjektif kita, maka eksistensi subjektif itu juga yang menjadi dasar pemahaman kita terhadap ekistensi alam semesta.
Heidegger membuat perubahan drastis pada bidang hermeneutika. Ia tidak lagi memahami hermeneutika sebagai salah satu bidang pengetahuan instrumental khususnya sebagai metodologi penafsiran pada kawasan ilmu-ilmu sosial. Heidegger menjadikan hermeneutika sebagai pusat bagi kegiatan filsafatnya.[5] Heidegger memahami hermeneutika sebagai bentuk ontologi mengada-di-dalam-dunia (a form of ontology of being-in-the-world) dan sebagai cara memandang dunia. Teori hermeneutikanya bersifat ontologis dan merupakan sebuah uraian penjelasan fenomenologis atas eksistensi manusia sebagai Dasein. Pusat kajian hermeneutika Heideggerian adalah faktisitas Dasein.
Makalah ini akan membahas hermeneutika dalam pemikiran Heidegger awal khususnya dalam karyanya Ontology─The hermeneutics of Facticity dan Being and Time. Kedua karya tersebut dengan jelas menunjukkan pemikiran Heidegger mengenai hermeneutika yang berada dalam konteks ontologi eksistensi manusia. Setelah Being and Time, Heidegger banyak menafsir pemikiran filsuf-filsuf (seperti Kant, Hegel, dan Nietzsche) dan puisi-puisi dari Rilke, Trakl, atau Hölderlin. Pemikirannya menjadi lebih bersifat hermeneutis dalam arti tradisional yang menekankan penafsiran teks. [6]
E.     Berangkat dari Fenomenologi Husserl
Pemikiran awal Heidegeer sangat dipengaruhi oleh Husserl meski di sisi lain tampak usaha Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang gurunya. Di dalam Ontology─The hermeneutics of Facticity, Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan melalui evaluasi ulang fenomenologi Huserlian, yang terdapat dalam bukunya Logical Investigation, untuk membangun sebuah proyek hermeneutika baru. Heidegger mulai dengan mengevaluasi akar kata fenomena dalam bahasa Yunani. Akar kata Yunani untuk fenomena berarti “show itself from itself” dalam sebuah “distinctive mode of being-an-object”.[7][4] Secara lebih mendalam Heidegger mengulangi penggalian ke akar kata Yunani untuk istilah fenomenologi di dalam Being and Time. Bagi Heidegger fenomenologi berakar pada kata phainomenon atau phainesthai, dan logos. Phainomenon berarti “yang menampakkan dirinya”. Jadi fenomena berarti membuat sesuatu tampak sebagaimana adanya. Suffix-ology dari istilah phenomenology berasal dari istilah Yunani logos. Logos berarti pembicaraan untuk membuat sesuatu menampak. Dengan gabungan phainesthai (phainomenon) dan logos, fenomenologi berarti membiarkan benda-benda menampakkan dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa memaksakan kategori-kategori kita kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada fenomena tetapi apa yang nampak merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.
Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana objek tersebut  menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar. Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl bahasa tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.
Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam melihat objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran sebelum Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi tidak terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna etimologis kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-ilmu alam dan keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih oleh Husserl.
Menurut Heidegger sebagaimana yang terdapat dalam Ontology─The hermeneutics of Facticity, fenomena sebagai “something that shows itself from itself as an object in a distinctive mode” hanya bisa sebagai sebuah materi dalam ruang. Dengan pemahaman fenomena tersebut, investigasi fenomenologis seharusnya tidak dimulai dari pengalaman sadar atas objek, tetapi merujuk pada pengalaman keseharian manusia dengan objek material dalam ruang. Heidegger memberikan contoh sebuah meja keluarga (di kemudian Heidegger cenderung menggunakan palu sebagai contoh) untuk investigasi fenomenologisnya. Sebuah meja keluarga yang menampakkan dirinya tidak semata merupakan sebuah gambaran mental atau sebagai sebuah konsep sebagai objek kesadaran, tetapi hadir sebagai benda material yang mempunyai karakteristik dan fungsi tertentu bagi sebuah keluarga yang memilikinya. Jadi, pertama-tama sebuah benda (misalnya sebuah meja keluarga) tertentu nampak tidak sebagai objek kesadaran dan intensionalitas, tetapi sebagai mengada-di-dalam-dunia yang bersifat temporal dan memiliki fungsi dan sifat tertentu sebagaimana sebuah keluarga (yang memilikinya) melihatnya di waktu tertentu. Dengan demikian, sifat esensial dari sebuah meja keluarga terletak pada temporalitas kesehariannya yang dengannya seseorang dapat berbuat sesuatu.[8][8] Istilah keseharian menjadi kata kunci pada pemikiran Heidegger. Hal tersebut membawa konsekuensi pada sifat menyejarahnya pemahaman manusia. Pemahaman selalu muncul dari kerangka ruang dan waktu. Adanya kesejarahan dalam pemahaman ini menuntut fenomenologi untuk bersifat hermenutis.
Dalam hal ini, Heidegger mengambil tujuan yang berbeda dari proyek Husserl sebagaimana dalam Logical Investigation. Sementara Husserl bertujuan untuk mengidentifikasi objek pengalaman sadar dan berusaha untuk mendapatkan sebuah dasar yang valid secara universal bagi sains, Heidegger berusaha untuk membebaskan objek dari kungkungan mental dan kesadaran dengan menempatkannya dalam cara mengada yang temporal dan kongkret dan dengan demikian menghilangkan tujuan Husserl untuk meraih universalitas. Bagi Heidegger, objek kajian fenomenologi hanya berkaitan dengan objek yang berada dalam ruang dan waktu yang tertentu seperti saat ia menampakkan diri saat investigasi berlangsung. 




Daftar Pustaka
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003
Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.
Martin Heidegger  1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.


[1] Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

[2] . Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
           [3] .Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003

            [4] .Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.


[5] . Jean Grondin 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics, New Haven & London: Yale
[6] . Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutic: Interpretation Theory In Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 126.
[7]. Martin Heidegger  1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.
[8][8] Ibid, 91-92.