Minggu, 30 Maret 2014

Tahriz Hadis Metode Mu'jam Mufaros

Hadis 1

Kitab Jam’u Mufahros Juz 3 halaman 454

إن شئت فصم، وإن شئت فأفطر, صم إن شئت وافطر ان شئت,خ صوم 33
م. صيام 103,104 د. صوم 42 ن. صيام.56.58.74 جه. صيام 10 دي. صوم 15 ط. صيام 24، حم. صوم 6
 
Sahih al-Bukhari [1]  
1943 - حدثنا عبد الله بن يوسف، أخبرنا مالك، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة رضي الله عنها، - زوج النبي صلى الله عليه وسلم -: أن حمزة بن عمرو الأسلمي قال للنبي صلى الله عليه وسلم: أأصوم في السفر؟ - [ص:34] وكان كثير الصيام -، فقال: «إن شئت فصم، وإن شئت فأفطر»
 
Sahih Muslim[2]
 
103 - (1121) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ: سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
104 - (1121) وحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ، سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ، أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ قَالَ: «صُمْ إِنْ شِئْتَ، وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ»
 
Sunan Abu Daud[3]
2402 - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، وَمُسَدَّدٌ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ حَمْزَةَ الْأَسْلَمِيَّ، سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ قَالَ: «صُمْ إِنْ شِئْتَ، وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ»
 
Ibnu Majah[4]
1662 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: سَأَلَ حَمْزَةُ الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي أَصُومُ، أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
 
Sunan Adarimi[5]
1748 - أخبرنا محمد بن يوسف، عن سفيان، عن هشام بن عروة، عن عروة، عن عائشة، أن حمزة بن عمرو الأسلمي سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: [ص:1065] يا رسول الله إني أريد السفر، فما تأمرني؟ قال: «إن شئت فصم، وإن شئت فأفطر»
 
Muato[6]
 
1034/ 312 - مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ، قَالَ لِرَسُولِ اللهِ: يَا رَسُولَ اللهِ! إِنِّي رَجُلٌ أَصُومُ. أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ [ص:422]
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ. وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ».1034/ 312 - مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ، قَالَ لِرَسُولِ اللهِ: يَا رَسُولَ اللهِ! إِنِّي رَجُلٌ أَصُومُ. أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ [ص:422]
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ. وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ».
 
 
Ibnu hanbal[7]
 
16037 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدٌ (1) ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيِّ، أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ: " إِنْ شِئْتَ صُمْتَ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْطَرْتَ " (2)
 
 
 

[1] . kitab sahih al-Bukhari hal 33 juz 3
[2] . kitab sahih Muslim Juz hal 789
[3] . Sunan Abu Daud juz 2 hal 316
[4]. Ibnu Majah juz 1 hal 531
[5]. Sunan Addarimi juz 2 hal 1064
[6]. Muato juz 3 hal 421
[7]. Ibnu Hanbal juz 25 hal 423

Makalah Nasikh Wal Mansukh

Pendahuluan
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan al-Qur’an secara benar dan baik.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.

A.    Pengertian Nasakh
Nasakh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya dikatakan: nasakhat al-Syamsu al-zhilla, artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasakhtu al-Kitab, artinya, saya menyalin isi kitab.[1] Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.[2] Di dalam al-Qur’an dikatakan:

$¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ  

 “Sesungguhnya Kami telah menyuruh menasakh apa yang telah kamu kerjakan". (al-Jatsiyah: 29). Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Qadhi Abu Bakar dan pengikutnya seperti al-Ghazali dan lainnya berpendapat bahwa kata nasakh itu “musytarak” artinya mengandung arti ganda, antara memindahkan dan menghilangkan. Alasannya karena kata nasakh biasa digunakan untuk dua maksud tersebut dengan penggunaan secara hakiki (sebenarnya).[3]
Nasakh secara terminologi ialah” mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. “Disebutkannya kata “hukum” di sini, menunjukan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (al-Bara’ah al-Ashliyah) tidak termasuk yang dinasakh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Menurut ulama-ulama yang datang kemudian, nasakh adalah pembatalan hukum syar’i akibat hadirnya hukum syar’i baru yang bertolak belakang dengan hukum syar’i sebelumnya.[4]

B.     Urgensi mengetahui nasikh-mansukh
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh karena itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?” “Tidak,” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun akan mencelakakan orang lain.”[5]
            Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (AL-Baqarah;269), “yang dimaksud ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharny, serta haram dan halalnya.[6]
            Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1.      Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (HR. Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah,[7]“berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian ia diangkat kembali.”
2.      Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir  atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.[8]

C.    Macam-macam nasikh-mansukh
Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Ayat jenis pertama tidak boleh dibaca dan tidak boleh diamalkan karena telah di-nasakhkan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat tentang penyusuan menjadikan kemahraman seseorang dengan sepuluh kali penyusuan. Seperti riwayat yang menyatakan tadinya ada ayat yang artinya:
Sepuluh kali susuan mengharamkan (yakni menjadikan anak yang menyusu serupa dengan anak kandung).
Lalu ayat tersebut dibatalkan dengan turunnya ayat:
                        Lima kali penyusuan mengharamkan.
Riwayat di atas oleh ulama dijadikan contoh tentang adanya ayat yang mansukh bacaan dan hukumnya, dalam riwayat di atas adalah yang menginformasikan hukum sepuluh kali susuan.[9]
Kedua, nasakh hukum, sedang bacaannya tetap. Misalnya nasakh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak disusun kitab-kitab yang di dalamnya disebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum, sedang tilawahnya tetap ada?
Hal ini bisa dijawab dari dua sisi:
1)      Al-Qur’an, di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2)      Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah) suatu kewajiban.

Ketiga, nasakh bacaan sedang hukumnya tetap. Untuk jenis ini para ulama mengumakakan sejumlah contoh. Di antaranya adalah ayat rajam,
“Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari allah. Dan Allah MahaPerkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sementara itu sebagian ulama tidak mengakui nasakh semacam ini, sebab kabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan nasakhnya dengan khabar ahad.[10] Qurasih Shihab menyatakan bahwa sedikit sekali riwayat yang mendukung hal di atas, dalih logikanya pun sangat rapuh, sehingga wajar jika banyak ulama masa lampau dan kontemporer yang menolaknya dan menolak riwayat-riwayat yang serupa, baik dalam buku-buku Ahlussunah maupun Syiah.[11]
 Ibnu al-Hashshar menjelaskan, bahwa nasakh itu sebenarnya dinukil secara jelas dari Rasulullah, atau dari sahabat, seperti perkataan “Ayat ini menaskh ayat anu.” Nasakh, jelasnya lebih lanjut, terkadang disimpulkan ketika terdapat pertentangan yang pasti, dengan pengetahuan sejarah untuk mengetahui mana (ayat) yang terdahulu dan pula (ayat) yang datang kemudian.[12]





D.    Pendapat ulama tentang adanya nasikh-mansukh
Mereka yang mendukung nasakh wal mansukh dalam al-Qur’an dipelopori oleh al-Syafi’i, al-Nahhas, al-Suyuti, dan al-Syaukani.[13] mereka menunjuk firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:106;

“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, atau Kami menangguhkannya (kecuali) Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya.”

Menurut mereka ayat ini bermakna: Kami tidak mengganti atau mengalihkan hukum sesuatu ayat kecuali pengalihan itu mengandung sesuatu yang sama dengannya atau lebih baik dalam manfaat dan ganjarannya. Kami juga tidak menundanya untuk dilaksanakan pada waktu yang lain kecuali pembatalan, perubahan, dan pengalihan, serta penundaan itu Kami ganti dengan sesuatu yang sama dengannya atau yang lebih baik dari padanya.
Para pendukung nasakh juga menetapkan bahwa nasakh tidak mungkin dinyatakan kecuali bila telah jelas mana ayat yang turun terlebih dahulu sehingga batal hukumnya (mansukh) dengan hadirnya ayat hukum baru yang bertolak belakang dengannya (nasikh).[14]
Sedang mereka yang menolak[15] adanya nasakh, memahami ayat di atas sebagai berbicara tentang pembatalan hukum-hukum syariat terdahulu oleh datangnya hukum-hukum syariat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Karena mereka berpendapat bahwa konteks ayat di atas berbicara tentang orang-orang Yahudi. Dari ulama terdahulu yang paling populer menolaknya adalah Abu Muslim al-Asfahani (1277-1365), [16]Menurut al-Isfahani, tak seorangpun dapat atau berhak mengubah firman Allah. kita wajib beriman bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada pembatalan (nasakh) karena semua ayat sudah tetap dan wajib diamalkan.[17] Beliau juga menyatakan bahwa  Kalam Allah itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali). Sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.[18] Menurutnya, nasakh dapat saja terjadi, tetapi menurut syar’i, tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya,
“yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (al-Fushilat: 42). Ayat ini meunrut al-Isfahani menegaskan bahwa al-Qur’an tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka kelas ia tidak terdapat dalam al-Qur’an. [19] Dan ia menjadikan ayat-ayat tentang nasakh, sebagai ayat-ayat takhsish (pengkhususan).[20]
            Pendapat Abu Muslim diatas ditangkis oleh para pendukung nasikh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebatilan.[21] Pendapat Abu Muslim di atas dibantah pula oleh Manna’ al-Qaththan, menurutnya,  makna ayat tersebut ialah, bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.[22].

E.     Contoh nasikh-mansukh dalam al-Qur’an
Al-Suyuthiy menyebutkan dalam kitabnya al-Itqan, ada dua puluh ayat yang dapat digolongkan kepada nasikh[23]. Di antaranya yaitu;
1.    Firman Allah yang berbunyi.
 “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS al-Baqarah: 115). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya: “Maka Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (QS al-Baqarah: 144)
Ada yang berpendapat bahwa inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam al-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2.    Firman Allah:  “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat...”(al-Taubah:41). Ayat ini dinasakh oleh: “tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,  dan atas orang-orang yang sakit..”(al-taubah:91), dan oleh firman-Nya:”122. “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)..” (al-Taubah:122).
Ada yang berpendapat, ayat tersebut termasuk kategori takhsish, bukan nasakh.
3.    Firman Allah: “jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”(al-Baqarah:284). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(al-Baqarah:286).


F.     Kesimpulan
Jadi, nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan Mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh. yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh di dalam al-Quran.
Macam-macam nasikh mansukh terbagi ke dalam tiga macam, pertama, nasakh tilawah dan hukum. Kedua, nasakh hukum, tilawahnya tetap. Ketiga, nasakh tilawah hukumnya tetap. Dan urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah  untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum). Dan juga nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur.

G.    Daftar Pustaka
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012.
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Izzan, Ahmad. Ulum al-Qur’an. Bandung: Tafakur, 2011.
Al-Qasim bin Sallam, Abu ‘Ubaid. Al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006.
Quthan, Manna’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an.  Jakarta: RINEKA CIPTA, 1995.




[23]Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, halm. 44  
[1] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm. 285
[2]Ahmad Izzan, Ulum al-Qur’an, halm. 185
[3]Amir Syarifuddin, Ushul fiqh , Hal. 249
[4] Quraish shihab, Kaidah Tafsir, halm. 283
[5] Abi ’Ubaid al-Qasim bin Sallam, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006, halm. 19
[6] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm. 288
[7] Mereka adalah duta dari kalangan para sahabat Rasulullah yang dikirim kepada penduduk Nejd. Mereka berjalan sampai ke sumur Ma’unah. Lalu ‘Amir bin Thufail meminta bantuan kepada ‘Ushaiyah, Rahal dan Dzakwan dari kabilah Bani Sulaim untuk menyerang mereka. Maka kabilah-kabilah itu kemudian mengepung dan membunuh mereka sampai semuanya mati. Lihat Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Halm. 288
[8] Ibid., halm. 288
[9] Quraish shihab, Kaidah Tafsir, halm. 288
[10]Yakni diriwayatkan oleh orang per orang atau sejumlah orang yang tidak dapat dipastikan kebenaran ucapannya atau paling tidak dapat diduga mereka lupa, salah paham, bahkan boleh jadi sepakat berbohong.
[11] Quraish shihab, Kaidah Tafsir, halm. 289
[12] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm. 295
[13] Ahmad Izzan, Ulum al-qur’an, halm. 188
[14] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, halm. 287
[15]Ulama-ulama terkemuka dalam era modern ini, banyak yang menolak adanya nasakh antar ayat-ayat al-Qur’an. Antara lain, Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) dalam bukunya Mashadir al-fiqh al-Islamy, Syeikh Muhammad al-Ghazali (1917-1996) dalam bukunya Nadzarat fi al-Qur’an. Syeikh Muhammad Husain al-Dzahaby (1914-1977). Dari kalangan ulama terdahulu yang paling populer menolaknya adalah Abu Muslim al-Isfahani (1277-1365).
[16] Abu Muslim Muhammad Ibn Baher adalah  Seorang pembesar negara di Asfahan, termasuk penulis yang ulung, sangat pandai dalam urusan tafsir dan dalam berbagai ilmu. Ia juga merupakan salah seorang tokoh mu’tazilah., dan orang yang pertama kali menyusun tafsir al Qur’an yang lengkap atas dasar dirayat yang benar dan kaidah-kaidah yang kuat sesuai dengan kehendak bahasa. Pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh Fakhruddin Ar Razi dalam menulis tafsirnya. Diantara pendapatnya yang cukup menggegerkan sebagian ulama ialah: “ Tidak ada didalam Al Qur’an suatu ayat yang telah di-mansukh-kan, segala ayat yang didakwa mansukh dapat kita tanfikkan, karena itu tidak ada nasikh dan mansukh”. Salah satu karyanya adalah     Jami’ut Ta’wil, suatu kitab tafsir yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir ini sangat baik susunannya, pentakhihannya, dan bagus uraiannya. Kitab ini tidak berkembang dalam masyarakat, tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Al-Razi. Jika mempelajari tafsir Al-Razi, sebagian besar pendapat Asfahani telah dipindahkan Al-Razi dalam kitabnya yang bernama Al-Muqtathaf . wafat pada 322 H.
[17] Ahmad Izzan, Ulum al-Qur’an, halm. 189
[18]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, halm 269
[19] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, halm. 146
[20] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm. 290
[21] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, halm. 146
[22] Ibid.,