Pendahuluan
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk
dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari al-Qur’an.
Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh dan
Mansukh. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin
memahami isi kandungan al-Qur’an secara benar dan baik.
Di
samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang
lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi
pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu hukum
syara’ dengan hukum syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba
berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.
A. Pengertian Nasakh
Nasakh menurut bahasa
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya dikatakan: nasakhat
al-Syamsu al-zhilla, artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata
naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain. Misalnya: nasakhtu al-Kitab, artinya, saya menyalin isi
kitab.
Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh,
sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.
Di
dalam al-Qur’an dikatakan:
$¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
“Sesungguhnya
Kami telah menyuruh menasakh apa yang telah kamu kerjakan". (al-Jatsiyah:
29). Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam
lembaran-lembaran catatan amal.
Qadhi Abu Bakar dan pengikutnya seperti al-Ghazali
dan lainnya berpendapat bahwa kata nasakh itu “musytarak” artinya
mengandung arti ganda, antara memindahkan dan menghilangkan. Alasannya karena
kata nasakh biasa digunakan untuk dua maksud tersebut dengan penggunaan secara
hakiki (sebenarnya).
Nasakh secara terminologi
ialah” mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang
lain. “Disebutkannya kata “hukum” di sini, menunjukan bahwa prinsip “segala
sesuatu hukum asalnya boleh” (al-Bara’ah al-Ashliyah) tidak termasuk
yang dinasakh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan
pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau
penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.
Menurut ulama-ulama yang datang kemudian, nasakh adalah pembatalan hukum
syar’i akibat hadirnya hukum syar’i baru yang bertolak belakang dengan hukum
syar’i sebelumnya.
B.
Urgensi mengetahui nasikh-mansukh
Pengetahuan
tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar
bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh,
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh karena itu, terdapat
banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang
diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah
kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?” “Tidak,” jawab
hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun akan mencelakakan orang
lain.”
Dari Ibnu Abbas,
bahwa ia berkata tentang firman Allah, “Dan barang siapa yang diberi hikmah,
sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (AL-Baqarah;269),
“yang dimaksud ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya,
muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharny,
serta haram dan halalnya.
Untuk mengetahui nasikh
dan mansukh terdapat beberapa cara:
1.
Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah
kuburlah.” (HR. Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang
yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah,“berkenaan
dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian ia
diangkat kembali.”
2.
Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3.
Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah,
atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.
C.
Macam-macam nasikh-mansukh
Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Ayat
jenis pertama tidak boleh dibaca dan tidak boleh diamalkan karena telah
di-nasakhkan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat tentang penyusuan
menjadikan kemahraman seseorang dengan sepuluh kali penyusuan. Seperti
riwayat yang menyatakan tadinya ada ayat yang artinya:
Sepuluh kali
susuan mengharamkan (yakni menjadikan anak yang menyusu serupa dengan anak
kandung).
Lalu ayat
tersebut dibatalkan dengan turunnya ayat:
Lima kali penyusuan mengharamkan.
Riwayat di atas oleh ulama dijadikan contoh
tentang adanya ayat yang mansukh bacaan dan hukumnya, dalam riwayat di
atas adalah yang menginformasikan hukum sepuluh kali susuan.
Kedua, nasakh hukum, sedang bacaannya
tetap. Misalnya nasakh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun,
sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak disusun
kitab-kitab yang di dalamnya disebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah
diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan
al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi.
Dalam hal ini
mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum, sedang tilawahnya
tetap ada?
Hal ini bisa
dijawab dari dua sisi:
1)
Al-Qur’an, di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan
hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat
pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2)
Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah
tilawah untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah)
suatu kewajiban.
Ketiga, nasakh bacaan sedang hukumnya tetap. Untuk jenis ini para ulama
mengumakakan sejumlah contoh. Di antaranya adalah ayat rajam,
“Orang
tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan
pasti sebagai siksaan dari allah. Dan Allah MahaPerkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sementara itu
sebagian ulama tidak mengakui nasakh semacam ini, sebab kabarnya adalah
khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan nasakhnya
dengan khabar ahad.
Qurasih Shihab menyatakan bahwa sedikit sekali riwayat yang mendukung hal di
atas, dalih logikanya pun sangat rapuh, sehingga wajar jika banyak ulama masa
lampau dan kontemporer yang menolaknya dan menolak riwayat-riwayat yang serupa,
baik dalam buku-buku Ahlussunah maupun Syiah.
Ibnu al-Hashshar menjelaskan, bahwa nasakh
itu sebenarnya dinukil secara jelas dari Rasulullah, atau dari sahabat, seperti
perkataan “Ayat ini menaskh ayat anu.” Nasakh, jelasnya lebih lanjut,
terkadang disimpulkan ketika terdapat pertentangan yang pasti, dengan
pengetahuan sejarah untuk mengetahui mana (ayat) yang terdahulu dan pula (ayat)
yang datang kemudian.
D.
Pendapat ulama tentang adanya nasikh-mansukh
Mereka yang mendukung nasakh wal mansukh dalam al-Qur’an
dipelopori oleh al-Syafi’i, al-Nahhas, al-Suyuti, dan al-Syaukani.
mereka menunjuk firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:106;
“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, atau Kami menangguhkannya
(kecuali) Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya.”
Menurut mereka ayat ini bermakna: Kami tidak mengganti atau
mengalihkan hukum sesuatu ayat kecuali pengalihan itu mengandung sesuatu yang
sama dengannya atau lebih baik dalam manfaat dan ganjarannya. Kami juga
tidak menundanya untuk dilaksanakan pada waktu yang lain kecuali pembatalan,
perubahan, dan pengalihan, serta penundaan itu Kami ganti dengan sesuatu yang
sama dengannya atau yang lebih baik dari padanya.
Para pendukung nasakh
juga menetapkan bahwa nasakh tidak mungkin dinyatakan kecuali bila telah
jelas mana ayat yang turun terlebih dahulu sehingga batal hukumnya (mansukh)
dengan hadirnya ayat hukum baru yang bertolak belakang dengannya (nasikh).
Sedang mereka
yang menolak
adanya nasakh, memahami ayat di atas sebagai berbicara tentang
pembatalan hukum-hukum syariat terdahulu oleh datangnya hukum-hukum syariat
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Karena mereka berpendapat bahwa
konteks ayat di atas berbicara tentang orang-orang Yahudi. Dari ulama terdahulu
yang paling populer menolaknya adalah Abu Muslim al-Asfahani (1277-1365), Menurut
al-Isfahani, tak seorangpun dapat atau berhak mengubah firman Allah. kita wajib
beriman bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada pembatalan (nasakh) karena
semua ayat sudah tetap dan wajib diamalkan.
Beliau juga menyatakan bahwa Kalam Allah
itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali).
Sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut. Menurutnya,
nasakh dapat saja terjadi, tetapi menurut syar’i, tidak. Dikatakan pula
bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam al-Qur’an berdasarkan
firman-Nya,
“yang tidak datang kepadanya (Al
Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari
Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (al-Fushilat: 42). Ayat ini meunrut al-Isfahani menegaskan bahwa
al-Qur’an tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila nasakh
diartikan sebagai pembatalan, maka kelas ia tidak terdapat dalam al-Qur’an. Dan
ia menjadikan ayat-ayat tentang nasakh, sebagai ayat-ayat takhsish
(pengkhususan).
Pendapat Abu Muslim diatas ditangkis oleh para pendukung nasikh
dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi
“kebatilan” yang berarti lawan dari kebatilan. Pendapat
Abu Muslim di atas dibantah pula oleh Manna’ al-Qaththan, menurutnya, makna ayat tersebut ialah, bahwa al-Qur’an
tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula
sesudahnya sesuatu yang membatalkannya..
E.
Contoh nasikh-mansukh dalam al-Qur’an
Al-Suyuthiy menyebutkan dalam kitabnya al-Itqan, ada dua puluh ayat
yang dapat digolongkan kepada nasikh.
Di antaranya yaitu;
1.
Firman Allah yang berbunyi.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS al-Baqarah: 115). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya: “Maka
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (QS al-Baqarah: 144)
Ada yang berpendapat bahwa inilah yang benar, bahwa ayat pertama
tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan
yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan
demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam al-Shahihain.
Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar,
ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang
ditetapkan dalam sunnah.
2.
Firman Allah: “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat...”(al-Taubah:41). Ayat ini dinasakh oleh: “tiada dosa
(lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, dan atas orang-orang yang sakit..”(al-taubah:91),
dan oleh firman-Nya:”122. “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang)..” (al-Taubah:122).
Ada yang berpendapat, ayat tersebut termasuk kategori takhsish,
bukan nasakh.
3.
Firman Allah: “jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”(al-Baqarah:284). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya, “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(al-Baqarah:286).
F.
Kesimpulan
Jadi, nasikh
yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Sedangkan Mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang
belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Ada
dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh. yaitu ada
yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat
nasikh dan mansukh di dalam al-Quran.
Macam-macam nasikh mansukh terbagi ke dalam tiga macam, pertama,
nasakh
tilawah dan hukum. Kedua, nasakh hukum, tilawahnya tetap. Ketiga,
nasakh tilawah hukumnya tetap. Dan urgensi mempelajari nasikh dan mansukh
adalah untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan
hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan
ditetapkannya suatu hukum). Dan
juga nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi
para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh,
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur.
G.
Daftar
Pustaka
Al-Qaththan,
Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2012.
Shihab,
Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Shihab,
Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Izzan,
Ahmad. Ulum al-Qur’an. Bandung: Tafakur, 2011.
Al-Qasim bin
Sallam, Abu ‘Ubaid. Al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006.
Quthan,
Manna’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta: RINEKA CIPTA, 1995.
Mana’ul Quthan,
Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, halm. 44
Abu Muslim
Muhammad Ibn Baher adalah Seorang
pembesar negara di Asfahan, termasuk penulis yang ulung, sangat pandai dalam
urusan tafsir dan dalam berbagai ilmu. Ia juga merupakan salah seorang
tokoh mu’tazilah., dan orang yang pertama kali menyusun tafsir al Qur’an
yang lengkap atas dasar dirayat yang benar dan kaidah-kaidah yang kuat sesuai
dengan kehendak bahasa. Pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh Fakhruddin Ar
Razi dalam menulis tafsirnya. Diantara pendapatnya yang cukup
menggegerkan sebagian ulama ialah: “ Tidak ada didalam Al Qur’an suatu
ayat yang telah di-mansukh-kan, segala ayat yang didakwa mansukh dapat kita
tanfikkan, karena itu tidak ada nasikh dan mansukh”. Salah satu karyanya adalah
Jami’ut Ta’wil, suatu kitab tafsir yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir
ini sangat baik susunannya, pentakhihannya, dan bagus uraiannya. Kitab ini
tidak berkembang dalam masyarakat, tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh
Al-Razi. Jika mempelajari tafsir Al-Razi, sebagian besar pendapat Asfahani
telah dipindahkan Al-Razi dalam kitabnya yang bernama Al-Muqtathaf .
wafat pada 322 H.