Selasa, 07 Januari 2014

Agama, Kebudayaan Dan Masyarakat Dalam Sosiologi Agama

A.    Pendahuluan
Hubungan antara manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan hubungan totalitas. Atau dalam pengertian lain, bagaimanapun, manusia tidak bisa di pisahkan dari kebudayaan dan agama. Kedua sifat tersebut dihayati oleh manusia sekaligus dalam menempuh kehidupan. Namun karena agama yang di anut oleh manusia di dunia initidak hanya satu, maka tetu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang di anut oleh setiap orang akan muncul kepermukaan. Jika klaim itu du hadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat di duga akan terjadi benturan antar pengatur agama yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
B.     Pengertian Agama, Kebudayaan Dan Masyarakat

Secara singkatnya marilah kita sama-sama memahami dan mengulas balik pengertian agama, kebudayaan dan masyarakat. Agar kita dapat memahami sedikitnya apa yang dimaksud didalam pembahasan ini.Agama, berdasarkan sudut pandang kebahasaan pada umumnya agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sangsekerta yang artinya “tidak kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang menggatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti makna yang khusus,kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa inggris, religie dalam bahasa belanda, keduanya berasal dari bahasa latin religio,dari akar kata religare yang berati mengikat. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan” mengenai hakikat agama, baik atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah  di amatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengukapkan apa yang di mengerti dan di alami pemeluk-pemeluknya.
Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini. Ia merupakan salah stu aspek dalam kehidupan social dan merupakan bagian dari  system social suatu masyarakat. Agama bias dilihat juga sebagai unsure dari kebudayaan suatu masyarakat, karena suatu agama juga dapat melahirkan suatu unsur kebudayaan seperti kesenian, bahasa, system mata pencaharian, maupun system organisasi social. Dapat diketahui bahwasannya agama mmpunyai kaitan yang erat dengan kebudayaan, sekilas nya dapat kita ketahui  keudaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik ciri khasmasyarakat setempat.

Kebudayaan bisa terlahir, tumbuh, dan berkembang dalam suatu masyarakat, sebaliknya tidak ada suatu masyarakat yang tidak didukung oleh kebudayaan. Jadi, hubungan antara masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang saling menentukan. Dalam kaitannya kebudayaan tidak akan bias terlahir tanpa masyarakat,yang pada hakekatnya antara keduanya memiliki suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, ada yang mendefinisikan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, sedangkan rasa mewujudkan segala norma dan nilai untuk mengatur kehidupan dan cipta merupakan kemampuan berpikir dan kemampuan mental yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.

          Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan adalah konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain. Penduduk bertempat tinggal di dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu yang tertentu pula, , dan berkemungkinan akan terbentuknya suatu masyarakat di wilayah tersebut. Demikian pula hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan, ini adalah hubungan dwi tunggal, yang merupakan kebudayaan adalah hasil dari masyarakat. Kebudayaan bisa terlahir, tumbuh, dan berkembang dalam suatu masyarakat, sebaliknya tidak ada suatu masyarakat yang tidak didukung oleh kebudayaan. Jadi, hubungan antara masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang saling menentukan.

Ø  Penduduk adalah orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu, menetap dalam suatu wilayah, tumbuh dan berkembang dalam wilayah tertentu pula.

Ø  Masyarakat adalah suatu kehiduoan sosial manusia yang menempati wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan mengatur kehidupannya. Hal yang terpenting dalam masyarakat adalah pranata sosial, tanpa pranata sosial kehidupan bersama didalam masyarakat tidak mungkin dilakukan secara teratur. Pranata sosial adalah perangkat peraturan yang mengatur peranan serta hubungan antar anggota masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.

Ø  Kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, ada yang mendefinisikan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, sedangkan rasa mewujudkan segala norma dan nilai untuk mengatur kehidupan dan cipta merupakan kemampuan berpikir dan kemampuan mental yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. [1]

Pemahaman sosiologi atas agama tidak di timba dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia luar”, tetapi di angkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang di kumpulkan dari sana-sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang.
Dalam kaitan ini harus di tegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus apa yang telah ia lihat dari agama. Jelasnya ia melihat agama dari fungsinya. Agama di pandang sebagai suatau institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local,rasional,nasional maupun mondial. Maka dalam tinjauanya yang di pentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhaadap masyarakat, serta berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan ke adilan dan kedamaian, dan akan ke sejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud. 
Para pendiri agama maupun para pengikut serta para penganut baru sering datang dari berbagai latar belakang social – jelasnya Dari segala ragam kelas strata, atau sejenisnya. Kerena kelompok tersebut mempunyai perbedaan fungsi, dengan demikian juga menerima perbedaan ganjaran dari masyarakat, maka merekapun memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kondisi dan gaya hidup yang tidak sama telah pula melahirkan pandangan, kebutuhan tanggapan dan struktur motivasi yang beraneka. Beberapa prinsip keagamaan akan menunjukan secara jelas kaitan konkrit antara kebutuhan dan pendangan kelompok tertentu saja ketimbang kelompok lain yang kadangkala kepentingannya tak tercermin sama sekali. ( sebagai misal pandangan Kristen bahwa kekalahan Yesus yang duniawi dalam arti luas di anggap sebagai kemenangan terhadap iblis dan kematian teryata akan memiliki daya tarik yang lebih besar bagi beberapa kelas dan lapisan di banding dengan kelas dan lapisan lain  ). Karena itu kebenikaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan ke agamaan. Akibatnya bagi sosiologi agama terbentang lapangan studi yang maha luas khususnya yang menyangkut hubungan antara agama dan struktur socsal. Tetapi disini terjadi hubuingan dua arah, tak hanya kondisi social saja yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide-ide dan nilai telah terlembaga maka, ia mempengaruhbi tindakan manusia. Karena itu sosiologi agama tidak hanya harus mempelajari pengaruh struktur social terhadap agama, tetapi juga harus mempelajari pengaruh agama terhadap struktur social.
Masyarakat bukan hanya sekedar sebuah stuktur social , teapi juga merrrupakan suatu prosees social yang kompleks. Hubungan , nilai, dan tujuan masyarakat hyanya relative stabil pada setiap moment tertentu saja; dalam dirinya selalu bergerak perubbahan yang lambat namun kumulatif. Beberapa perubahan lain mungkin berlangsung lebih cepat , sehingga mengganggu struktur yang telah mapan. Hancurnya bentuk bentuk social dan kulturalyang telah mapan dan tampilnya bentuk bentuk baru merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dengan demikian berbagai kelompok yang ada dalam masyarakt dipengaruhi  pula oleh berbagai perubahan sosial. Seperti halnya kelompok tertentu melakukan fungsi fungsi yang lebih berarti dan lebih dihargaiv disbanding kelompok lain , maka akan ada kelompok yang justru menentang perubahan itu dan ada pula kelompok lain yang menyokong perubahan tersebut . Dalam system yang sedang berjalan aka nada kelompok yang memperoleh manfaat besar, baik materil maupun psikologis, sedang kelompok lain mengacuhkannya atau adapula kelompok lain yang merasa perlu menentang status quo dan berniat melakukan perubahan radikal.

Kelompok yang demikian jelas akan memperlihatkan bentuk kepekaan agama yang berbeda . umpama saja tentang makna , masing masing akan menfsirkannya sesuai dengan kondisi kehidupan yang dihadapi. Durkhaim menggunakan istilah anomi untuk menunjukan keadaan disorganisasi soisal dimana berbagai bentuk sosial dan kultur yang telah mapan ambruk. Ia berbicara tentang dua aspek  dari masalah ini. Pertama hilangnya solodaritas yaitu apabila kelompok-kelompok lama dimana individu mendapatkan rasa aman dan respon cenderung ambruk. Kemudian hilangnya consensus; yaitu tumbangnya persetujuan (sering hanya bersifat semi-sadar) terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok. Durkhaim memandang hal ini sebagai dua sisi dari suatu proses disorganisasi sosial, dia menyatakan dua sisi itu dapat mengalami disorganisasi dalam bentuk kecepatan yang berbeda. Akibat prose situ bagi individu ialah suatu kondisi yang secara relative terpencil dan “tanpa norma”, yang di sebut Durkhaim sebagai keadaan “ anomi “ . [2]  

C.     Pengertian Kebudayaan Dan Masyarakat

Pengertian kebudayaan dan masyarakat, definisi klsik kebudayaan seperti di kemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks, kseluruhan pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan semua kemampuan dan kebiasaa lain yang di peroleh seseorang sebagai anggota masyarakat/

Berdasarkan asal-usul kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah (kata jamak). Bentuk tunggal : Budhi (budi atau akal), berarti semua yang bersangkutan budi dan akal. Kebudayaan dapat di bagi kedalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan kebudayaan non materi. Kebudayaan materi terdiri atas benda-benda hasil karya, misalnya  alat-alat, mobil, ladang, yang di olah dan sebagainya. Sedangkan nonmateri terdiri dari kata-kata yang di pergunakan orang, hasil pemikiran, adat istiadat, keyakinan dan kebiasaan yang di ikuti anggota masyarakat.

Kebudayaan (culture) sering di campurkan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti kebudayaan berbeda. Kebudayaan adalah sitem nilai dan norma. Sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri yang hidup bersama-sama dan melakukan kegiatanya  dalam kelompok. Sedangka kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan dari masyarakat.

D.    Agama Dan Stratifikasi Sosial

Dua kesimpulan penting berkenan dengan hubungan antara agama dengan stratifikasi sosial di peroleh dari hasil penelitian Max Weber tentang agama-agama dunia : yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam, Hinduisme, Budha, Konfusianisme, dan Taoisme – suatu hubungan yang jelas dan dapat di amati di antara posisi sosial dengan kecenderungan menerima pandangan ke agamaan yang berbeda. Yang kedua, ini bukanlah suatu penentuan yang tepat tentang pandangan ke agamaan oleh stratifikasi sosial. Sebagai misal, kelas menengah rendah, yang di anggap Weber memainkan peranan strategis dalam sejarah agama Kristen, melihatkan suatu kecenderungan yang pasti kearah “congregational religion”, kea rah agama keselamatan, dan ahirnya kea rah agama etika rasional. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan ke agamaan kaum petani. Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini “ jauh dari setiap determinasi yang serupa ”. dia menegaskan bahwa dalam kelas menengah rendah, dan khusausnya di kalangan pengrajin, terdapat perbedaan besar yang saling berdampingan, dan bahwa pengrajin ini memperlihatkan suatu diversifikasi yang sangat nyata. [3]

Weber melihat hubungan kelompok ini dengan alam, jauh lebih renggang di banding dengan petani dan jauh lebih terlibat dalam kehidupan yang bertolakdari pertimbangan ekonomis yang rasional. Kerena itu cara mereka menangani situasi kehidupanmemberi kemungkinan berupakemampuan memperhitungkan dan manipulasi secara sengaja. Di samping itu dia menemukan bahwakejujuran merupakan cara prilaku yang di andalkan kelompok ini, dan mereka cenderung percaya bahwa bekerja dan berkewajiban bekerja sama akan menghasilakan suatu imbalan yang seimbang “karena alasan-alasan ini, para pedagang kecil dan kaumpengrajin bersedia menerima suatu pandangan dunia yang rasional di jiwai oleh etika pembalasan. [4] Weber juga menemukan kelas buruh industri modern di Eropa memperlihatkan pra-disposisi bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat semu-agama ketimbang bersifat agama. “Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agam pada umumnya di gantikan oleh ideology lainya”, Marx menyebut kelas buruh Eropa sebagai “proletariat”, yang di maksudnya dengan istilah ini ialah kelas yang tidak memperoleh “bagian” dalam system sosisial yang ada. Buruh bekerja dan hidup di suatu masyarakat dimana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu. [5] Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di masa pertengahan abad ke-19 dan pada perang dunia ke-2.

Weber juga berbicara secara umum tentang kaum elit dank kelas yang tidak memiliki hak istimewa. Ide-ide seprti keselamatan, dosa dan kerendahan hati di temukan Weber “jauh dari semua kelas elit politik” .[6] dan sebenarnya layak di cela dengan sesuai rasa kehormatan diri kelas yang demikian’: “jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas yang punya status sosial tinggi dan yang memiliki privilese ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan keselamatan. Sebaliknya mereka memanfaatkan fungsi agama sebagai pengabsah pola kehidupan dan kondisi mereka di dunia. [7]  Sebaliknya kelas yang tidak mempunyai hak istimewa atau yang sudah tergusur, menunjukan kecenderungan untuk merangkul dan mengembangkan agama-agama penyelamat, “menerima pandangan dunia rasional yang di jiwai oleh etika konpensasi”, [8] dan untuk memberikan persamaan derajad pada wanita dalam partisipasi keagamaan. [9]  Weber menyatakan : “selama setiap kebutuhan untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka tekanan sosial atau ekonomi merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan sebagai sumber ekslusif satu-satunya.[10] Sebaliknya Weber menyimpulkan “kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu”. [11]


E.     Agama Sebagai Ideologi Transisi

Pada masyarakat tradisional, tujuan individu dan kelompok, dan bahkan tujuan masyarakat itu sendiri, telah di tetapkan dan di akui sejak dulu-dulu. Bila, perbauran dengan kebudayaan lain atau dengan perkembangan lain yang internal pada suatu masyarakat, timbul tujuan baru dan nilai baru, maka kepemimpinan masyarakat berada dalamkeadaan yang membutuhkan ideologi untuk mejelaskan dan merasionalisir tujuan dan nilai baru yang mendukungnya. Proses ini sering melibatkan lahirnya kelompok penguasa baru.

Bila kaum elit memperoleh kekuasan dalam priode krisis, hal ini di lakukan sebagian melalui kesanggupan mereka untuk mengarahkan masyarakat ke sekitar keinginan tujuan-tujuan baru atau lewat keahlian mereka mengungkapkan system nilai baru yang dapat diterima oleh mayoritas anggota masyarakat. System ide dan tujuan ini memberikan kerangka dimana kaum elit mengorganisir struktur kekuasaan dan kontrol yang baru. [12] Dalam abad modern, paling tidak di Eropa dan Amerika, system nilai baru dan ideologi yang membenarkanya telah bersifat sekuler.

Dalam priode-priode sejarah sebelumnya, agama sering memenuhi fungsi pelayanan ini sebagai “ideologi transisi”. Pada abad ke-8 misalnya, agama Kristen bertindak sebagai ideologi bagi penyiapan kembali tahta Karel Martel. Selanjutnya pada abad ke-10, dengan berdirinya Kerajaan Romawi Suci, agama Kristen kembali bertindak sebagai Ideologi. Kebutuhan elit baru ini dan rakyat yang sedang berada dalam transisi akan ideologi mirip dengan kebutuhan mereka yang menderita anomi akan suatu system nilai dan komunitas yang baru. Sebenarnya kedua kebutuhan ini sering di jumpai secara bersamam-sama.

F.      Kesimpulan

Masyarakat, agama dan budaya merupakan tiga komponen yang saling mengikat dan memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Masyarakat sebagai subjek yang menjalankan agama dan menciptakan budaya. Karena agama  merupakan pemberian Tuhan, sedangkan budaya hasil karya cipta masyarakat.  Sehingga kedudukan agama lebih absolut dab tidak dapat diganggu gugat. Sementara budaya sangat di tentukan oleh masyarakat, yang menyebabkannya tidak absolute dan kemungkinan untuk dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi.

Hubungan timbal balik antara agama dan kebudayaan tidak bisa terlepaskan, sebab masyarakat yang di sebut berbudaya pasti masyarakat yang mematuhi segala macam ketentuan dalam agama yang di percaya. Sebaliknya masyarakat yang beragama meiliki dam menghasillkan kebudayaan yang berdasarkan agama yang di percayai.


G.    Daftar Pustaka

Ø  Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si. Sosiologi Agama, Jakarta, 1991.
Ø  D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. Penerbit Yayasan Kanisius
Ø  Thomas F. O’Dea. Sosiologi Agama. Penerbit Yayasan Solidaritas Gadjahmada



[1] . Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si. Sosiologi Agama, Jakarta, 1991, hal. 4
[2] . Untuk diskusi Durkhaim mengenai anomi, lihat Suicide, di terjemahkan oleh John A. Spaulding dan George Simpson (Glencoe, III: The Free Press, 1951)
[3] . Max Weber, The sociology of Religion, di terjemahkan oleh Ephraim Fishoff (Boston: Beacon Press, 1963), hal.95, 96
[4] . Ibid., hal. 97
[5] . Ibid. hal. 80, 97.
[6] . Ibid. hal. 91
[7]Ibid. hal. 90
[8] . Ibid. hal. 101
[9] . Ibid. hal. 85
[10] . Ibid. hal. 107
[11] . Ibid, hal. 97
[12] . Robert K. Lamb, Political Elites and the Process of Economic Development, The Progress of Underdeveloped Areas, Bert F. Hoselitz (ed) (Chicago: University of Chicago Press, 1952), hal. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar