Pendahuluan
Nikah beda agama merupakan salah satu isu yang paling kontroversial
di lingkungan umat Islam. hal itu dapat dilihat dalam sejumlah literatur
keislaman, baik klasik maupun kontemporer. Betapa alotnya perdebatan para
sarjana Muslim prihal nikah beda agama. Kedua belah pihak baik yang menolak
ataupun sebaliknya memiliki dasar pijakan yang kokoh dalam teks-teks keagamaan,
baik al-Quran maupun al-Hadits. ironisnya, masing-masing dari mereka kerapkali
melemparkan stigma sebagai kelompok sesat menyesatkan. Manakah pendapat yang
paling valid menurut al-Quran prihal nikah beda agama? Oleh karenanya, makalah
ini hendak menelusuri jawaban al-Quran prihal nikah beda agama, baik kafir,
musyrik maupun ahl al-kitab. Pembahasan di dalamnya akan dijelaskan pula
kondisi sosio-kultural yang melatar belakangi turunnya sebuah ayat tertentu.
Hal ini dilakukan agar dapat memahami substansi ayat secara utuh, tidak secara
parsial. Sebagai pelengkap, uraian didalamnya sekaligus akan menyoroti secara khusus
prihal term ahl al-kitab dan implikasi yang menyertainya terhadap nikah beda
agama. Secara umum, terdapat tiga ayat al-Quran prihal nikah beda agama yang
akan dijelaskan dalam makalah ini.
Pernikahan dengan
orang Musyrik
Al-Quran melarang pernikahan dengan orang musyrik ataupun
musyrikat. Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya:
janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai beriman.
Sesungguhnya, perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik
walau dia menarik bagi hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang
musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik walau dia menarik hati
kalian. Mereka akan mengajak kalian ke neraka. Sdangkan Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izinya. Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada seluruh umat
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.Nikah secara bahasa ialah الضمّ . yang berarti mengumpulkan atau menghimpunkan.
sedangkan menurut istilah ialah suatu akad yang menghubungkan antara laki-laki
dan perempuan dengan hubungan yang disyariatkan. lafad المشرك menurut
syariat ialah meyakini adanya tuhan selain Allah. Adapun lafadz الامة ialah budak perempuan yang dimiliki secara
sistem perbudakan.
Sabab NuzulPara ulama berbeda pendapat terkait sabab nuzul ayat di atas.
Sedikitnya ada dua pendapat terkait hal ini. Pertama, diriwayatkan bahwa
ayat tersebut turun berkaitan dengan kasus martsad al-ghanawi yang meminta izin
kepada Nabi saw untuk menikahi Inaq, seorang wanita musyrik. Dalam konteks ini,
maka turunlah ayat tersebut. Namun al-Suyuthi menolak pendapat ini. Menurutnya, riwayat terkait marsad
al-Ghanawi bukanlah sabab nuzul dari surat al-Baqarah ayat 221 melainkan sabab
nuzul dari ayat الزاني لا ينكح الا زانية او مشركة.Kedua, ada yang
berpendapat bahwa ayat terbebut turun berkaitan dengan kasus Abdullah bin
Rawahah yang memiliki hamba sahaya berkulit hitam. Konon ia memarahi bahkan
menamparnyanya. Kemudian Abdullah bin Rawahah datang kepada Rasulullah dan
mengabarkan hal itu. Lalu Rasulullah saw bertanya, “siapakah wanita itu wahai
Abdullah? “ Abdullah menjawab, wahai Rasulullah, dia adalah wanita yang
mengerjakan shalat, puasa dan memperbaiki wudhunya. Disamping itu, ia pun
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah. lalu
Rasul pun menjawab: dia adalah wanita mukmin. Berawal dari sini kemudian
Abdullah menikahinya. Penjelasan ayatAyat di atas merupakan ayat yang kerap dijadikan dasar pijakan oleh
para ulama prihal larangan nikah dengan orang-orang musyrik. Keberadaan lafadz
al-musyrikat di atas dijadikan indikasi prihal keharaman menikahi orang-orang
musyrik. Baik laki-laki muslim dengan wanita musyrikat ataupun sebaliknya. Pada
ayat di atas, Allah swt menegaskan bahwa menikahi hamba sahaya mukminah lebih
baik dari pada menikahi wanita musyrikat kendatipun ia lebih unggul dalam semua
aspek, baik kecantikan, harta, status sosial dan lain sebagainya. Namun para
ulama berbeda pendapat prihal keumuman lafadz al-Musyrikat di atas. Apakah
keumuman lafadz tersebut mencakup ahl kitab ataukah hanya tertuju pada para
penyembah berhala?Sebagian ulama berpendapat bahwa keumuman ayat tersebut mencakup
semua jenis kemusyrikan, baik para penyembah berhala, yahudi, nashrani (ahl
kitab), majusi dan lain sebagainya. Namun menurut mereka
keharaman menikahi wanita dari golongan ahl kitab tersebut pada akhirnya di nasakh
oleh surat al-Maidah ayat 3 yang menyatakan prihal kehalalan menikahi Ahli Kitab.
Pendapat tersebut dikuatkan pula dengan sebuah riwayat dari Ibn Abas.4212
- حدثني علي بن واقد قال،
حدثني عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن
عباس قوله:" ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ"، ثم استثنى نساءَ أهل
الكتاب فقال:( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ) حِلٌّ لكم( إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ) Riwayat Ibn Abas di atas menegaskan bahwa golongan ahl kitab
dikecualikan dari keumuman lafadz musyrikat yang terkandung dalam surat al-Baqarah
ayat 221. Tak hanya itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa al-Quran tidak mengkatagorikan
yahudi dan nashrani sebagai bagian dari orang-orang musyrik secara mutlak. Akan
tetapi al-Quran memberikan istilah lain bagi kedua agama tersebut dengan nama Ahli-Kitab. Sementara
itu, Abdullah Ibn Umar berpendapat prihal keharaman menikahi wanita-wanita
musyrikat secara Muthlak. Ia mengatakan bahwa “tidaklah aku mengetahui tentang
adanya kemusyrikan yang paling besar selain menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah
tuhan. Pendapat yang sama dianut pula oleh golongan Syiah Imamiyah dan sebagian
Syiah Zaidiyah.Tak hanya itu, larangan menikahi wanita kafir dipertegas pula dalam
surat al-Mumtahanah ayat 10يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا
هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا
بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا
أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌArtinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji
keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika
kalian mengetahui bahwa mereka beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka
kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tidaklah halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
orang-orang kafir itu apa yang telah mereka nafkahkan. Dan tiada halangan bagi
kalian mengawini mereka jika kalian membayar mahar mereka. Dan janganlah kalian
tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir itu. Dan
hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayar dan hendaklah mereka minta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan di
antara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.Kata الهجرة pada ayat di atas ialah orang-orang
yang hijrah dari dar al-kufr. Hijrah secara bahasa ialah keluar dari
satu tempat menuju tempat yang lain. Adapun secara syar’i ialah berpindah
tempat dari dar al-kufr menuju dar al-iman. Kata فا متحوهن ialah menguji kesungguhan perempuan-perempuan
kafir prihal hijrah mereka sekaligus menguji keimanannya. Sementara itu, maksud
ayatواتوهم ما
انفقوا ialah berikanlah mahar kepada wanita-wanita
kafir tersebut sebagaimana yang diberikan oleh para lelaki kafir. Adapun lafadz
جورهن أialah
mahar. Sabab NuzulAyat di atas
turun setelah perjanjian Hudaibiyah yang diantara isi perjanjiannya ialah “apabila
ada orang kafir Quraisy datang kepada Nabi (melarikan diri dari mereka) maka ia
harus dikembalikan kepada pihak Quraisy". Setelah itu, datanglah
Umi Kaltsum binti Uqbah Ibn Abi Mu’aith dari Mekah menuju Madinah untuk
melarikan diri. Lalu saudaranya datang dan menuntut kepada Nabi saw agar yang
bersangkutan dikembalikan ke mekah, sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah.
Dalam konteks itu, turunlah surat al-Mumtahanah ayat 10.Ayat di atas
merupakan dalil terkait keharaman pernikahan wanita muslimah dengan lelaki
Musyrik. Sebelum turunnya ayat tersebut atau pada masa awal kehadiran Islam,
pernikahan antara lelaki Musyrik dengan wanita mukminat memang diperbolehkan.
Oleh karenanya seorang Musyrik bernama Abu al-Ash bin Rabi pernah menikahi
Zainab, putri Nabi saw.Pernikahan
dengan ahl kitabالْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.
Makanan (sembelihan ) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagi kalian.
Dan makanan kalian halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan menikahi perempuan
yang menjaga kehormatannya dari perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan
yang menjaga kehormaatnnya dari orang-orang yang diberi alkitab sebelum kalian,
bila kalian telah membayar mas kawin mereka dengan tujuan untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka terhapuslah amalnya dan di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.Maksud lafadz الطعام pada
ayat di atas ialah sembelihan. Yaitu sembelihan Yahudi dan Nashrani. Adapun
maksud dari المحصنا ت من
الذين اوتوا الكتا ب ialah wanita-wanita merdeka dari kalangan
ahl-al-kitab. Atau wanita yahudi dan nashrani yang diberi al-kitab sebelumnya.Penjelasan ayatSecara eksplisit, ayat di atas
mengandung dua hukum. Pertama, hukum kehalalan mengkonsumsi sembelihan
ahli kitab. Mayoritas Mufassirin berpendapat bahwa maksud dari وطعام الّذين اوتوالكتاب حل لكم ialah semblihan Ahli Kitab.
Kekhususan hukum tersebut hanya ditujukan kepada Ahli Kitab, tidak kepada penyembah
berhala, karena sembelihan dan wanita penyembah berhala tak halal bagi golongan
Muslim.Kedua, hukum menikahi Ahli kitab. Ibn katsir berpendapat bahwa ayat di
atas secara eksplisit menegaskan prihal kehalalan menikahi wanita Ahli Kitab.
Pernikahan dengan ahli kitab dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pernikahan
laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Dalam hal ini para ulama sepakat
atas kehalalannya. Pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas ulama. Sementara
itu, shahabat Umar memakruhkan bahkan pernah melarang pernikahan dengan wanita
ahl kitab lantaran khawatir akan timbul fitnah, bukan karena mengharamkannya. Kedua,
pernikahan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Dalam hal ini para
ulama bersepakat atas keharamannya. Adapun dalil yang menjadi landasan terkait
pendapat tersebut di samping ayat di atas, dikuatkan juga dengan adanya hadits
riwayat Jabir bin Abdillah.
- حدثنا تميم بن المنتصر قال، أخبرنا إسحاق الأزرق، عن شريك، عن أشعث
بن سوار، عن الحسن، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا.
Artinya: kami
(kaum muslim) menikahi ahli kitab, tetapi mereka (laki-laki ahli kitab) tidak
boleh menikahi perempuan-perempuan kami. Terlepas dari itu, para ulama berbeda pendapat
prihal cakupan ahl kitab pada ayat di atas. Imam Syafii berpendapat bahwa maksud
ahli kitab pada ayat tersebut hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil secara
komunal, bukan kepada selainnya secara universal.
Pendapat tersebut tentu berimplikasi pada lahirnya sebuah pemahaman bahwa
golongan Nashrani dan Yahudi selain keturunan Bani Israil tidak dikatagorikan
sebagai ahl kitab. Pendapat al-Syafi’i tersebut merupakan definisi yang paling
ketat diantara ulama lainnya. Berbeda dengan itu, Quraish Shihab berpendapat
bahwa Cakupan ahli Kitab bukan hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil, melainkan
mencakup semua kaum Nashrani dan Yahudi secara menyeluruh, dimanapun dan dari
keturunan siapapun. Sementara
itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam disertasinya mengutip pendapat Rasyid Ridha
yang menegaskan bahwa pengertian Ahli Kitab tak hanya dibatasi kepada dua
kelompok saja, yakni Yahudi dan Nashrani. Menurut Rasyid Ridha, orang Majusi,
kaum Shabiun, kaum Hindu, Budha dan Konfusius bisa juga disebut Ahli Kitab.Dari
konteks ini pemakalah menilai bahwa keragaman definisi berikut cakupan makna
ahl Kitab yang berkembang di tengah-tengah pergulatan para mufassir tersebut
tentu memiliki konsekuensi dan Implikasi yang berbeda terhapap pernikahan beda
Agama. Sekian dan terima kasih.
Daftar
pustakaIsmail bin Abi Katsir. Tafsir al-Quran al-Adzim. (Kairo: Maktabah
al-Shafa,2004).Al-Shabuni,
Muhamad Ali. Tafsir ayat al-Ahkam.(Surabaya: Haramain, 1988).Al-Thabari, Ibn
Jarir. Jami
al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran (Beirut: Darul Fikr, 2005).
Al-Thanthawi,
Muhammad Sayid. Tafsir al-Wasith.Ghazali, Abdul Moqsith.
Argumen Pluralisme Agama.(Jakarta: Katakita,2009).Quraish Shihab,
Muhammad. Wawasan al-Quran. ( Jakarta: Pustaka Mizan, 1999). By : Aan Suherman
Muhammad Sayid thanthawi, Tafsir al-Wasith,
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran
(Beirut: Darul Fikr, 2005) h, 463 Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h,
463 Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith,
Ali al-Shabuni, Tafsir ayat Ahkam Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, h, 550
Muhammad Sayid al-Thanthawi, , Tafsir al-Wasith, h, Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran
al-Adzim (Kairo: Maktabah al-Shafa, 2004)
Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam, h
Ibnu Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran, h, 107
Ali ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam, h
Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h,465 Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran
al-Adzim, h, 27
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Jakarta: Pustaka Mizan, 1999),h,368
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita,
2009),h, 276
Tidak ada komentar:
Posting Komentar