Rabu, 21 Mei 2014

Nikah Beda Agama

Pendahuluan
Nikah beda agama merupakan salah satu isu yang paling kontroversial di lingkungan umat Islam. hal itu dapat dilihat dalam sejumlah literatur keislaman, baik klasik maupun kontemporer. Betapa alotnya perdebatan para sarjana Muslim prihal nikah beda agama. Kedua belah pihak baik yang menolak ataupun sebaliknya memiliki dasar pijakan yang kokoh dalam teks-teks keagamaan, baik al-Quran maupun al-Hadits. ironisnya, masing-masing dari mereka kerapkali melemparkan stigma sebagai kelompok sesat menyesatkan. Manakah pendapat yang paling valid menurut al-Quran prihal nikah beda agama? Oleh karenanya, makalah ini hendak menelusuri jawaban al-Quran prihal nikah beda agama, baik kafir, musyrik maupun ahl al-kitab. Pembahasan di dalamnya akan dijelaskan pula kondisi sosio-kultural yang melatar belakangi turunnya sebuah ayat tertentu. Hal ini dilakukan agar dapat memahami substansi ayat secara utuh, tidak secara parsial. Sebagai pelengkap, uraian didalamnya sekaligus akan menyoroti secara khusus prihal term ahl al-kitab dan implikasi yang menyertainya terhadap nikah beda agama. Secara umum, terdapat tiga ayat al-Quran prihal nikah beda agama yang akan dijelaskan dalam makalah ini.

            Pernikahan dengan orang Musyrik

Al-Quran melarang pernikahan dengan orang musyrik ataupun musyrikat. Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 221

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya: janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai beriman. Sesungguhnya, perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik walau dia menarik bagi hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik walau dia menarik hati kalian. Mereka akan mengajak kalian ke neraka. Sdangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinya. Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada seluruh umat manusia supaya mereka mengambil pelajaran.Nikah secara bahasa ialah  الضمّ .  yang berarti mengumpulkan atau menghimpunkan. sedangkan menurut istilah ialah suatu akad yang menghubungkan antara laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang disyariatkan. lafad   المشرك menurut syariat ialah meyakini adanya tuhan selain Allah.[1] Adapun lafadz الامة  ialah budak perempuan yang dimiliki secara sistem perbudakan.[2] Sabab NuzulPara ulama berbeda pendapat terkait sabab nuzul ayat di atas. Sedikitnya ada dua pendapat terkait hal ini. Pertama, diriwayatkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan kasus martsad al-ghanawi yang meminta izin kepada Nabi saw untuk menikahi Inaq, seorang wanita musyrik. Dalam konteks ini, maka turunlah ayat tersebut. Namun al-Suyuthi menolak pendapat  ini. Menurutnya, riwayat terkait marsad al-Ghanawi bukanlah sabab nuzul dari surat al-Baqarah ayat 221 melainkan sabab nuzul dari ayat  الزاني لا ينكح الا زانية او مشركة.[3]Kedua, ada yang berpendapat bahwa ayat terbebut turun berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah yang memiliki hamba sahaya berkulit hitam. Konon ia memarahi bahkan menamparnyanya. Kemudian Abdullah bin Rawahah datang kepada Rasulullah dan mengabarkan hal itu. Lalu Rasulullah saw bertanya, “siapakah wanita itu wahai Abdullah? “ Abdullah menjawab, wahai Rasulullah, dia adalah wanita yang mengerjakan shalat, puasa dan memperbaiki wudhunya. Disamping itu, ia pun bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah. lalu Rasul pun menjawab: dia adalah wanita mukmin. Berawal dari sini kemudian Abdullah  menikahinya.[4] Penjelasan ayatAyat di atas merupakan ayat yang kerap dijadikan dasar pijakan oleh para ulama prihal larangan nikah dengan orang-orang musyrik. Keberadaan lafadz al-musyrikat di atas dijadikan indikasi prihal keharaman menikahi orang-orang musyrik. Baik laki-laki muslim dengan wanita musyrikat ataupun sebaliknya. Pada ayat di atas, Allah swt menegaskan bahwa menikahi hamba sahaya mukminah lebih baik dari pada menikahi wanita musyrikat kendatipun ia lebih unggul dalam semua aspek, baik kecantikan, harta, status sosial dan lain sebagainya. Namun para ulama berbeda pendapat prihal keumuman lafadz al-Musyrikat di atas. Apakah keumuman lafadz tersebut mencakup ahl kitab ataukah hanya tertuju pada para penyembah berhala?[5]Sebagian ulama berpendapat bahwa keumuman ayat tersebut mencakup semua jenis kemusyrikan, baik para penyembah berhala, yahudi, nashrani (ahl kitab), majusi dan lain sebagainya. Namun menurut mereka keharaman menikahi wanita dari golongan ahl kitab tersebut pada akhirnya di nasakh oleh surat al-Maidah ayat 3 yang menyatakan prihal kehalalan menikahi Ahli Kitab. Pendapat tersebut dikuatkan pula dengan sebuah riwayat dari Ibn Abas.4212 - حدثني علي بن واقد قال، حدثني عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله:" ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ"، ثم استثنى نساءَ أهل الكتاب فقال:( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ) حِلٌّ لكم( إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ )[6]                                                                                                               Riwayat Ibn Abas di atas menegaskan bahwa golongan ahl kitab dikecualikan dari keumuman lafadz musyrikat yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 221. Tak hanya itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa al-Quran tidak mengkatagorikan yahudi dan nashrani sebagai bagian dari orang-orang musyrik secara mutlak. Akan tetapi al-Quran memberikan istilah lain bagi kedua agama tersebut dengan nama Ahli-Kitab.[7] Sementara itu, Abdullah Ibn Umar berpendapat prihal keharaman menikahi wanita-wanita musyrikat secara Muthlak. Ia mengatakan bahwa “tidaklah aku mengetahui tentang adanya kemusyrikan yang paling besar selain menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah tuhan. Pendapat yang sama dianut pula oleh golongan Syiah Imamiyah dan sebagian Syiah Zaidiyah.[8]Tak hanya itu, larangan menikahi wanita kafir dipertegas pula dalam surat al-Mumtahanah ayat 10يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌArtinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kalian mengetahui bahwa mereka beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidaklah halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada orang-orang kafir itu apa yang telah mereka nafkahkan. Dan tiada halangan bagi kalian mengawini mereka jika kalian membayar mahar mereka. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir itu. Dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayar dan hendaklah mereka minta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan di antara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.Kata  الهجرة pada ayat di atas ialah orang-orang yang hijrah dari dar al-kufr. Hijrah secara bahasa ialah keluar dari satu tempat menuju tempat yang lain. Adapun secara syar’i ialah berpindah tempat dari dar al-kufr menuju dar al-iman. Kata فا متحوهن    ialah menguji kesungguhan perempuan-perempuan kafir prihal hijrah mereka sekaligus menguji keimanannya. Sementara itu, maksud ayatواتوهم ما انفقوا  ialah berikanlah mahar kepada wanita-wanita kafir tersebut sebagaimana yang diberikan oleh para lelaki kafir. Adapun lafadz جورهن    أialah mahar.[9]     Sabab NuzulAyat di atas turun setelah perjanjian Hudaibiyah  yang diantara isi perjanjiannya ialah “apabila ada orang kafir Quraisy datang kepada Nabi (melarikan diri dari mereka) maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy". Setelah itu, datanglah Umi Kaltsum binti Uqbah Ibn Abi Mu’aith dari Mekah menuju Madinah untuk melarikan diri. Lalu saudaranya datang dan menuntut kepada Nabi saw agar yang bersangkutan dikembalikan ke mekah, sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah. Dalam konteks itu, turunlah surat al-Mumtahanah ayat 10.[10]Ayat di atas merupakan dalil terkait keharaman pernikahan wanita muslimah dengan lelaki Musyrik. Sebelum turunnya ayat tersebut atau pada masa awal kehadiran Islam, pernikahan antara lelaki Musyrik dengan wanita mukminat memang diperbolehkan. Oleh karenanya seorang Musyrik bernama Abu al-Ash bin Rabi pernah menikahi Zainab, putri Nabi saw.[11]Pernikahan dengan ahl kitabالْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ                                                                                                                                               Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan ) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagi kalian. Dan makanan kalian halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan menikahi perempuan yang menjaga kehormatannya dari perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan yang menjaga kehormaatnnya dari orang-orang yang diberi alkitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar mas kawin mereka dengan tujuan untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka terhapuslah amalnya dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.Maksud lafadz الطعام  pada ayat di atas ialah sembelihan. Yaitu sembelihan Yahudi dan Nashrani.[12] Adapun maksud dari المحصنا ت من الذين اوتوا الكتا ب   ialah wanita-wanita merdeka dari kalangan ahl-al-kitab. Atau wanita yahudi dan nashrani yang diberi al-kitab sebelumnya.[13]Penjelasan ayatSecara  eksplisit, ayat di atas mengandung dua hukum. Pertama, hukum kehalalan mengkonsumsi sembelihan ahli kitab. Mayoritas Mufassirin berpendapat bahwa maksud dari  وطعام الّذين اوتوالكتاب حل لكم  ialah semblihan Ahli Kitab. Kekhususan hukum tersebut hanya ditujukan kepada Ahli Kitab, tidak kepada penyembah berhala, karena sembelihan dan wanita penyembah berhala tak halal bagi golongan Muslim.Kedua, hukum menikahi Ahli kitab. Ibn katsir berpendapat bahwa ayat di atas secara eksplisit menegaskan prihal kehalalan menikahi wanita Ahli Kitab. Pernikahan dengan ahli kitab dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Dalam hal ini para ulama sepakat atas kehalalannya. Pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas ulama. Sementara itu, shahabat Umar memakruhkan bahkan pernah melarang pernikahan dengan wanita ahl kitab lantaran khawatir akan timbul fitnah, bukan karena mengharamkannya.[14] Kedua, pernikahan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Dalam hal ini para ulama bersepakat atas keharamannya. Adapun dalil yang menjadi landasan terkait pendapat tersebut di samping ayat di atas, dikuatkan juga dengan adanya hadits riwayat Jabir bin Abdillah.
- حدثنا تميم بن المنتصر قال، أخبرنا إسحاق الأزرق، عن شريك، عن أشعث بن سوار، عن الحسن، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا.
 Artinya: kami (kaum muslim) menikahi ahli kitab, tetapi mereka (laki-laki ahli kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami.[15]  Terlepas dari itu, para ulama berbeda pendapat prihal cakupan ahl kitab pada ayat di atas. Imam Syafii berpendapat bahwa maksud ahli kitab pada ayat tersebut hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil secara komunal, bukan kepada selainnya secara universal.[16] Pendapat tersebut tentu berimplikasi pada lahirnya sebuah pemahaman bahwa golongan Nashrani dan Yahudi selain keturunan Bani Israil tidak dikatagorikan sebagai ahl kitab. Pendapat al-Syafi’i tersebut merupakan definisi yang paling ketat diantara ulama lainnya. Berbeda dengan itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa Cakupan ahli Kitab bukan hanya tertuju kepada keturunan Bani Israil, melainkan mencakup semua kaum Nashrani dan Yahudi secara menyeluruh, dimanapun dan dari keturunan siapapun.[17] Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam disertasinya mengutip pendapat Rasyid Ridha yang menegaskan bahwa pengertian Ahli Kitab tak hanya dibatasi kepada dua kelompok saja, yakni Yahudi dan Nashrani. Menurut Rasyid Ridha, orang Majusi, kaum Shabiun, kaum Hindu, Budha dan Konfusius bisa juga disebut Ahli Kitab.[18]Dari konteks ini pemakalah menilai bahwa keragaman definisi berikut cakupan makna ahl Kitab yang berkembang di tengah-tengah pergulatan para mufassir tersebut tentu memiliki konsekuensi dan Implikasi yang berbeda terhapap pernikahan beda Agama. Sekian dan terima kasih.
 Daftar pustakaIsmail bin Abi Katsir. Tafsir al-Quran al-Adzim. (Kairo: Maktabah al-Shafa,2004).Al-Shabuni, Muhamad Ali. Tafsir ayat al-Ahkam.(Surabaya: Haramain, 1988).Al-Thabari, Ibn Jarir. Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran (Beirut: Darul Fikr, 2005).
Al-Thanthawi, Muhammad Sayid. Tafsir al-Wasith.Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama.(Jakarta: Katakita,2009).Quraish Shihab, Muhammad. Wawasan al-Quran. ( Jakarta: Pustaka Mizan, 1999).        By : Aan Suherman

[1] Muhammad Sayid thanthawi, Tafsir al-Wasith,
[2]Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam[3] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
[4] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam,
[5]Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran (Beirut: Darul Fikr, 2005) h, 463[6] Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h, 463[7] Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith,
[8] Ali al-Shabuni, Tafsir ayat Ahkam[9] Muhammad Sayid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, h, 550
[10] Muhammad Sayid al-Thanthawi, , Tafsir al-Wasith, h,[11] Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Kairo: Maktabah al-Shafa, 2004)
[12] Ali al-Shabuni, Tafsir ayat al-Ahkam, h
[13]Ibnu Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran, h, 107
[14] Ali ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam, h
[15] Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan Fi al-Ta’wil al-Quran, h,465[16] Ismail bin Abi Katsir al-Qursyi, al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Adzim, h, 27
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Jakarta: Pustaka Mizan, 1999),h,368
[18] Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita, 2009),h, 276

Tidak ada komentar:

Posting Komentar