Senin, 27 Juni 2016

HMI DAN GERAKAN ISLAM MODERAT

HMI DAN GERAKAN ISLAM MODERAT
Oleh:
Aan Suherman

Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama rekan-rekan perjuangannya. Mereka mendirikan HMI,  antara lain karena ingin belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat dan bangsa.
Karakteristik khas pola gerakan HMI itu sendiri sejak awal berdirinya adalah tidak memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu sudah merupakan watak asli HMI semenjak lahir.[1] Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (ormas), yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Watak khas pola HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi disekitarnya.[2] Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang  bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia. Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Sikap HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap HMI dengan kondisi sosial yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur  yang  diridhai  Allah  SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-aspiratif umat Islam.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani, kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan jumud. Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan umat Islam di Indonesia.
Pada periode 1947 – 1960 Rumusan pemikiran HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahirannya, yaitu dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan; pertama, mempertahankan kemerdekaan negara Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam. [3] Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh Eggi Sudjana[4] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. Sedangkan makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal keIndonesiaan.
Pada masa kepemimpinan Dahlan merupakan masa terjalinnya hubungan harmonis antara HMI dengan kekuasaan (Sukarno). Dia yang berasal dari lingkungan keluarga yang nasionalis, menyebabkan semangat nasionalismenya sangat kental baik dalam kepribadiannya maupun pengaruhnya terhadap gerakan HMI. Hal inilah yang menyebabkan HMI cenderung bisa berjalan beriringan dengan pemerintah Ordelama yang nota bene didominasi kelompok nasionalis. Namun dilain pihak,  kedekatan HMI–Masyumi tetap dijaga karena secara sosio-aspiratif memiliki kesamaan kepentingan. Sejak masa inilah, sikap moderat HMI mulai kelihatan bentuknya, karena secara teologis / ideologis gerakan HMI lebih dekat dengan Masyumi tapi disisi lain semangat kebangsaan HMI menjadikannya harmonis dengan penguasa yang nasionalis. Pada masa kepemimpinannya, dia berhasil membentuk citra dan karakteristik kepribadian kader HMI; pertama berintegrasi dalam kehidupan kebangsaan; kedua, berpikir, bersikap, dan melangkah secara mandiri (independen); ketiga, ikut memelihara ukhuwah Islamiyah.
Berbeda dengan masa Dahlan, masa Deliar Noer justru semangat keIslaman yang lebih menonjol dan kental dalam gerakan organisasi HMI. Selain karena faktor background keluarganya yang berasal dari keluarga santri, juga pada masa kepemimpinannya dihadapkan pada persoalan keumatan yang mengharuskan HMI terlibat secara aktif di dalamnya. Aspek sosio-aspiratif umat menuntut gerakan HMI lebih tegas dalam bersikap, terutama kaitannya dengan peran dan kedudukan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan HMI yang paling menonjol pada masa Deliar Noer ini adalah kentalnya ghirah Islamiyah dalam seluruh dimensi aktivitas HMI. Pola gerakan HMI pada masa kepemimpinan Ismail Hasan Metareum (1957–1960) pun ternyata mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Dua faktor penyebab hal itu terjadi adalah; secara internal, nilai-nilai keIslaman yang sudah ditanamkan sangat kuat sejak masa Deliar Noer banyak mempengaruhi pola gerakan HMI pada masa ini. Nilai-nilai  Islam dalam kehidupan berorganisasi dan individu kader HMI sudah semakin terimplementasi dengan baik. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi Indonesia yang menuntut HMI untuk melakukan gerakan yang agak berbeda dengan kultur gerakan sebelumnya, bahkan dianggap cukup ekstrim. Gerakan yang paling menonjol pada masa ini adalah dukungan HMI kepada partai-partai dalam memperjuangkan dasar negara yang berdasarkan pada ajaran Islam. Menurut Agussalim Sitompul[5], hal ini adalah merupakan bentuk respon HMI terhadap kondisi sosio-aspiratif yang ada, dimana masa itu kekuatan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sangat kuat sehingga dikhawatirkan oleh HMI akan mampu merubah haluan negara ini jadi komunis. Untuk itu dalam kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1957 mengeluarkan rekomendasi yang berisi tuntutan agar Islam dijadikan dasar negara republik Indonesia. Dasar argumentasi dari kebijakan yang diambil HMI dalam kongresnya itu, dijelaskan Agussalim Sitompul ; Gagasan yang menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia perlu ditafsirkan lebih jauh. Agama Islam adalah agama universal, agama yang mempunyai ajaran atau tuntunan tentang masalah-masalah keduniaan maupun keakhiratan, Islam menjamin bahwa kehidupan bangsa akan lebih baik bagi seluruh rakyat tanpa membedakan agama, suku dan derajat. Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin, tanpa orang terlebih dahulu untuk masuk Islam.
Selain itu, dalam kongresnya itu HMI pun mengeluarkan keputusan bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Dilihat dari perspektif politik, kondisi saat itu memungkinkan bagi HMI mengeluarkan statement yang konfrontatif dengan PKI, karena dua alasan;  pertama, dalam sidang-sidang konstituante sejak tahun 1956, PKI sangat menentang upaya umat Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara RI, disamping itu pengaruh PKI yang sangat kuat dan dekat dengan Sukarno dikhawatirkan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah –khususnya dalam masalah keagamaan di Indonesia– yang dinilai HMI bisa merugikan umat beragama yang di Indonesia, karena paham komunisme tidak mengenal yang namanya agama; kedua, sikap HMI yang berani berkonfrontasi dengan PKI, selain masalah teologis / ideologis, juga masih eksisnya partai-partai Islam yang bisa melindungi eksistensi HMI saat itu. Secara umum kurun waktu 1947–1960 ini, menggambarkan posisi HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan Deliar Noer ;
Pertama HMI sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggung jawab sebagai agent of change bangsa dan negara; kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki tanggung jawab dalam problema dunia kemahasiswaan khususnya dan perguruan tinggi umumny; dan ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggung jawab terhadap operasionalisasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dengan corak pemikiran HMI yang pluralis dan rasional, sebagai turunan dari pemikiran pembaharuan keagamaan, membawa dampak pada perubahan pola gerakan HMI yang semakin jelas dalam memandang hubungan antara keIslaman dan  keIndonesiaan. Gerakan HMI tidak lagi terpaku pada hal-hal yang bersifat simbolistik dan formal dalam memandang strategi perjuangan keIslaman, tetapi HMI lebih mengutamakan nilai-nilai substantif dalam pola gerakannya pada periode ini. Tetapi dikalangan umat sendiri HMI cenderung dianggap tidak mampu bersikap kritis terhadap kebiijakan orde baru yang nota bene dianggap banyak merugikan kepentingan umat Islam. Bahkan Hasanudin Saleh[6] dalam tulisannya mendeskripsikan pola gerakan HMI periode ini; Dalam perjalanan sejarahnya –sampai tahun 1970-an– HMI selalu mengambil sikap moderat, bahkan cenderung akomodasionis, ketika berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah, terutama yang tampak represif.
Pada tahun 90-an bagi umat Islam Indonesia merupakan masa terjalinnya kemesraan[7] antara Islam dengan negara, antara umat Islam dengan penguasa. Hal ini ditandai dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada bulan Desember 1990, sebagai organisasi yang dianggap mampu menjadi kendaraan umat Islam untuk bisa berperan secara lebih aktif dalam kehidupan kebangsaan, selain itu ICMI dianggap bisa jadi corong umat Islam untuk mengartikulasikan harapan dan aspirasi umat Islam, kaitannya dengan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. ICMI bagi HMI dianggap partner yang seimbang untuk memanifestasikan tujuannya, karena ICMI pada hakikatnya merupakan organisasi yang punya background sama dengan HMI yaitu dari kelompok Islam modernis, secara pemikiran pun HMI – ICMI memiliki kesamaan terutama mengenai pemikiran keIslaman-keIndonesiaannya. Hal ini tidaklah aneh sebab mayoritas anggota / pengurus ICMI ini adalah alumnus HMI.
ICMI yang diarsiteki oleh BJ. Habibie, dianggap sebagai organisasi bentukan Suharto untuk memperpanjang tangan kekuasaanya pada komunitas muslim Indonesia, yang mana pada periode sebelumnya hubungan umat Islam dengan kekuasaan tidak begitu mesra malah cenderung saling curiga. Menurut HMI, anggapan-anggapan tersebut tidak mendasar dan cenderung emosional. Bagi HMI, kehadiran ICMI ditengah-tengah umat Islam Indonesia merupakan suatu kebutuhan, karena sudah saatnyalah umat Islam Indonesia mulai mengartikulasikan cita-cita perjuangannya ke dalam aktivitas-aktivitas yang lebih konstruktif dan proaktif, terutama hubungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[8]
Awal abad ke-20 ditandai lahirnya gerakan-gerakan Islam yang monumental (kesan yang menimbulkan sesuatu yang besar). Gerakan Islam tersebut telah mengukir tinta emas baik untuk kebangkitan Islam maupun pergerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yang kemudian dikenal dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Namun, secara umum ormas-ormas Islam tersebut, lebih-lebih pada dua organisasi Islam terbesar di negeri ini seperti Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri tahun 1926) tetap menjaga dan memperkokoh posisi dan perannya dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan dunia global sebagai kekuatan dakwah dan misi Islam sebagai rahmatan li‘l ‘alamin. Meskipun kini muncul gerakan-gerakan Islam yang tampak lebih “memikat” hati sebagian umat dengan karakternya yang cenderung militan (penuh semangat), skriptural (siakap yang melekat pada kitab suci), dan ideologis (politik), namun secara umum keberadaan dan peran ormas-ormas Islam yang lahir awal abad ke-20 itu tetap istiqamah dan memberi warna keseimbangan sebagai kekuatan Islam moderat.[9]
Ahlussunah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya. Diantara mereka ada yang disebut “salaf”, yakni generasi awal mulai dari sahabat, tabiin, dan tabiin-tabiin, dan ada juga yang disebut “ kholaf”, yaitu generasi yang datang kemudian. Golongan ini adalah mayoritas umat Islam.
Modernitas atau kemoderenan atau sikap moderen yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakekatnya mengandung arti yang mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada kebenaran yang mutlak, kepada Allah SWT.
Pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi Islam  paling tidak memiliki sembilan prinsip yang melandasi Islam moderat:
1.Al-Qur’an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an merupakan pedoman yang sangat sentral (pusat) dalam kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur’an adalah  teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur’an tidak akan berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Dalam pengertian ini Islam moderat memandang Al-Qur’an sebagai kitab terbuka. Islam moderat menolak pandangan Al-Qur’an sebagai kitab tertutup yang memunculkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu pemahaman mengenai Islam yang semata-mata mempertaruhkan segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks (nash )keagamaan.
Prinsip Al-Qur’an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tetap (tsawabit) dan sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayirat) sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.
2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan ruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari’at. Dalam konteks ini Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah (catatan-catatan) yang agung bagi transformasi sosial, pembebasan, dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi kehidupan yang adil.
3. Kesetaraan
Islam berada di barisan paling depan membawa bendera kesetaraan (al-musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Kesetaraan merupakan landasan paradigmatik (kerangka berpikir)bdalam meneguhkan visi Islam moderat. Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem sosial yang diskriminatif (membeda-bedakan), dan eksploitatif (sikap sewenang-wenang) terhadap kaum yang lemah.
4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29). Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama maupun berbeda agama, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan Al-Qur’an.
5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama semestinya dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial. Segala bentuk wacana pemikiran keislaman tidak seharusnya tidak menampilkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya pemikiran itu dilakukan dalam rangka membebaskan akal, dan perilaku dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial. Oleh karena itu sudah semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan bukan sebaliknya, anti kririk.
6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Islam moderat, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim) dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra: 70).
7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur’an memandang fakta keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah, sebagaimana juga Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul dari sebagian rasul yang di utus kepada umat manusia. Perbedaan agama terjadi karena perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen dan Yahudi. Dan agama yang berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan.
8. Sensitifitas
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia. Dengan fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemelauknya terhadap perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan.
9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan membangun kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara kelompok-kelompok suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non diskriminasi adalah prinsip sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan dan non diskriminasi diantara elemen masyarakat itulah Nabi membangun tatanan masyarakat yang sangat modern dilihat dari ukuran zamannya.[10]
Islam moderat lebih dikenal sebagai bentuk lawan dari Islam fundamentalis atau Islam garis tengah. Alasan utama dilahirkannya istilah Islam moderat oleh para pendirinya adalah karena adanya Islam garis keras tersebut. Para pemeluk Islam moderat menamakan diri mereka sebagai ummatan wasathan atau ummat pertengahan, yakni kaum pertengahan yang ingin menampilkan nilai-nilai kemoderatannya. Salah seorang tokoh Islam moderat dalam negeri yang cukup dikenal adalah GusDur.
Tokoh ini sangat dikenal dengan nilai-nilai toleransi antar ummat beragamanya, sehingga sangat dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Kaum Islam liberal kerap menggaung-gaungkan istilah Islam moderat tersebut sebagai bentuk solusi antara ummat beragama yang sering mengalami pertikaian, terutama kalangan muslim dan bukan muslim yang kerap mengalami perselisihan.
Menurut Deliar Noor, seorang penulis buku yang berjudul “Umat Islam dan Masalah Modernisasi”. Modernisasi menuntut bangsa Indonesia untuk :
a)      Memandang kedepan dan bukan memandang kebelakang.
b)      Memiliki sikap dinamis dan aktif.
c)      Memperhatikan waktu.
d)     Memberikan penekanan pada rasionalitas, bukan pada perasaan atau perkiraan.
e)      Mengembangkan sikap terbuka.
f)       Memberikan prioritas pada prestasi pesonal.
g)      Memberikan perhatian yang lebih besar kepada masalah yang yang di hadapi saat ini.
h)      Melibatkan diri dalam pengajaran tujuan yang lebih penting dari tujuan kelompok.
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide negara Islam terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali di awal pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan.[11]
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang mempunyai sejarah panjang. Dalam diskursus yang diungkapkan banyak penulis yang mengkaji organisasi Islam ini, menyatakan perlunya melihat dari sisi masa lalu dan masa sekarang. Hal ini dianggap penting sebab antara masa lalu dan masa kini, HMI mempunyai pernan yang berbeda di tiap zamannya.
Pada masa awal berdirinya—Lafran Pane sebagai pendiri organisasi ini—tak lepas dari konstalasi politik masa kemerdekaan Indonesia. Bisa dikatakan, organisasi HMI lahir atas respon politik yang mendominasi saat itu. Paham Komunis yang begitu menjamur, atau lebih tepat menghegemoni, direspon oleh Lafran Pane dengan mendirikan HMI sebagai bentuk counter dari paham yang berbau kiri ini. Alasannya, paham komunis mempunyai ajaran transenden yang berbeda dengan paham Islam.
Karena kelahirannya sebagai respon atas fenomena politik, maka HMI tak bisa dipisahkan dari politik. Hal ini jamak diketahui oleh para kadernya. Kendati demikian, bukan berarti HMI adalah partai politik atau banyak berkecimpung dalam deterministik politik. Kehadiran dan keterlibatan politik HMI dimaksudkan agar orgaganisasi ini menjadi “pengkritik” atas respon yang terjadi dalam dinamika sosial yang terjadi.
Dengan begitu, HMI adalah organisasi yang independent, tidak berada di bawah atau sayap dari organisasi politik lain. Dia berdiri di atas kaki sendiri. Pun dalam konten politik, HMI hanyalah persepon sekaligus menjadi penengah dalam memberikan masukan dan tindakannya atas pergeseran sosial masyarakat. Sebagai penengah, tuntutannya adalah obejektif.
Bersamaan dengan itu, proses zaman telah berubah. Dari yang dulunya HMI mempunyai banyak andil dalam kemerdekaan, saat ini, tuntutan itu telah berubah. Sekarang ini, bukan lagi masanya mengangkat bambu runcing atau berperang, melainkan berpindah pada tantangan lain, yaitu modernitas.
Tak dapat disangkal, paham modernitas telah mengalami kulturasi dengan wajah keislaman. Bahkan kerap terjadi pembauran yang pada ujungnya tak dapat ditangkal. Modernisme bukanlah bentuk buruk. Dia hanyalah pengantar dari tindakan buruk. Jadi tergantung pada manusianya sendiri. Senada dengan itu,  modernisme menyebabkan perubahan yang maksimal, dan sukar terkejar. Bagi banyak umat Islam di Indonesia, bila bersentuhan dengan paham modernisme, menolaknya bahkan menutup diri daripadanya. Hal tentunya disebabkan pemahaman yang belum sampai pada dimensi substansi dari modernisme itu sendiri.
Maka dari itu, HMI mempunyai tantangan untuk menyeleraskan antara tata nilai tradisional dan nilai modernisme dengan penuturan yang halus. Dengan memahami secara baik modernisme, maka akan terbentukanya watak yang terbuka (open mind) dan bisa menerima perbedaan antara satu sama lain. Hal inilah yang seharusnya mulai digalakkan kembali dengan menjadikan mahasiswa sebagai subjek tunggal atau paling tidak salah satu subjek penggerak dari pengentasan tantangan yang baru ini.

Daftar Pustaka
Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1998.
Muhammad Az-Zuhaili, Moderat Dalam Islam, penerbit: akbar media eka sarana, 2005.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.  
Agussalim Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan. Jakarta 13790
Sitompul, A. Salim. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih Offset. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
Sitompul, A. Salim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik.  Yogyakarta : Aditya Media.



[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya.
[3] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.  Jakarta : Integrita Press.
[4] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode 1986-1998.
[5] Agussalim Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan. Jakarta 13790
[6] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[7] Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jalinan hubungann umat Islam dengan penguasa yang semakin baik, dimana pada masa sebelumnya penguasaa cenderung memandang sebelah mata dan bahkan dianggap diskriminatif terhadap umat Islam. Tahun 1990-an merupakan awal dari perubahan arah dnn kebijakan politik orde baru, khusunya dalam masalah hubungan Islam – negara.
[8] Sitompul, Agussalim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik.  Yogyakarta : Aditya Media.
[9] Al-Misbah al-Munir 2/692, dalam kata Qashada, lihat juga kamus al-Muhith 1/327, Muhktar ash-Shahah hal. 536, Mu’jam al-Fadz Al-Qur’anul-Karim 5/48.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.  Hlm 271
[11] Sholihan, Modernitas Postmodernitas Agama, Semarang : Walisongo Press, 2008. Hlm 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar