HMI DAN GERAKAN ISLAM MODERAT
Oleh:
Aan Suherman
Ketika kita berbicara
HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan terlepas dengan sejarah
berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama rekan-rekan perjuangannya. Mereka
mendirikan HMI, antara lain karena ingin
belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di
basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid,
Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader
terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya
menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin
memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader
secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI
dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi mahasiswa yang independen,
kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi underbouw sebuah partai politik,
termasuk partai politik Islam. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu
menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul
orang terpelajar, yang tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa
depan bangsanya. Ada warna ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak
mengherankan, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka
juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan
cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang
khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism
yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat
dan bangsa.
Karakteristik
khas pola gerakan HMI itu sendiri sejak awal berdirinya adalah tidak memisahkan
gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah suatu
keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah dilakukan
secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa
bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu sudah
merupakan watak asli HMI semenjak lahir.[1] Namun
hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai
organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (ormas), yang menjadikan nila-nilai
Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya,
mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa
merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon
problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap
memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Watak khas pola HMI ini
yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap
lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga
kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas HMI.
Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI
memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan
kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta
kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang
terjadi disekitarnya.[2] Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu
organisasi yang bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan
merdeka tidak tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu.
HMI telah berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini
masih berkiprah dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu
Universitas tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut
terdapat organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan
banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia.
Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan
terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT.
Sikap HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang
cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap HMI
dengan kondisi sosial yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua
faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal,
faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan
kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor
eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan
ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak
kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan
ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil
makmur yang diridhai Allah SWT (baldatun
toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak
sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena
sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka
pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi
sosio-aspiratif umat Islam.
Secara
garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran umat
Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah
yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia
seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam
Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun
dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan
berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi
sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya
sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang
nasionalis dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi
seorang muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi
asas-asas keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju
dalam pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada
Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan
umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam
segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai
Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat keindependen
dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani, kritis,
adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen
inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar
keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu
merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu
berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah
terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat
juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan
pencipta dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih
baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam
berada dalam cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam
sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan
kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat
Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan penonjolan
simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas
ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara
benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup
dalam suasana taqlid dan jumud. Selain itu umat
Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam aliran/firqah dan
masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini menyebabkan
umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan umat Islam
di Indonesia.
Pada periode 1947 – 1960 Rumusan pemikiran HMI sudah ditegaskan secara
jelas sejak kelahirannya, yaitu dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI. Dalam
tujuan awal pembentukan HMI disebutkan; pertama, mempertahankan kemerdekaan
negara Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia; kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam. [3] Dari
akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua fungsi dan
perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan. Pemaknaan yang lebih
dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh Eggi Sudjana[4] dalam
tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan
HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah
agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Untuk itu
langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui
perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari
penjajahan. Sedangkan makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang
mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi
negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada gilirannya
akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal keIndonesiaan.
Pada masa kepemimpinan Dahlan merupakan masa terjalinnya
hubungan harmonis antara HMI dengan kekuasaan (Sukarno). Dia yang berasal dari
lingkungan keluarga yang nasionalis, menyebabkan semangat nasionalismenya
sangat kental baik dalam kepribadiannya maupun pengaruhnya terhadap gerakan
HMI. Hal inilah yang menyebabkan HMI cenderung bisa berjalan beriringan dengan
pemerintah Ordelama yang nota bene didominasi kelompok nasionalis. Namun dilain
pihak, kedekatan HMI–Masyumi tetap
dijaga karena secara sosio-aspiratif memiliki kesamaan kepentingan. Sejak masa
inilah, sikap moderat HMI mulai kelihatan bentuknya, karena secara teologis /
ideologis gerakan HMI lebih dekat dengan Masyumi tapi disisi lain semangat
kebangsaan HMI menjadikannya harmonis dengan penguasa yang nasionalis. Pada
masa kepemimpinannya, dia berhasil membentuk citra dan karakteristik kepribadian
kader HMI; pertama berintegrasi dalam kehidupan kebangsaan; kedua, berpikir,
bersikap, dan melangkah secara mandiri (independen); ketiga, ikut
memelihara ukhuwah Islamiyah.
Berbeda dengan masa Dahlan, masa Deliar Noer justru semangat
keIslaman yang lebih menonjol dan kental dalam gerakan organisasi HMI. Selain
karena faktor background keluarganya yang berasal dari keluarga
santri, juga pada masa kepemimpinannya dihadapkan pada persoalan keumatan yang
mengharuskan HMI terlibat secara aktif di dalamnya. Aspek sosio-aspiratif umat
menuntut gerakan HMI lebih tegas dalam bersikap, terutama kaitannya dengan
peran dan kedudukan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan
HMI yang paling menonjol pada masa Deliar Noer ini adalah kentalnya ghirah Islamiyah
dalam seluruh dimensi aktivitas HMI. Pola gerakan HMI pada masa kepemimpinan
Ismail Hasan Metareum (1957–1960) pun ternyata mengalami perubahan dibanding
sebelumnya. Dua faktor penyebab hal itu terjadi adalah; secara internal,
nilai-nilai keIslaman yang sudah ditanamkan sangat kuat sejak masa Deliar Noer
banyak mempengaruhi pola gerakan HMI pada masa ini.
Nilai-nilai Islam dalam kehidupan berorganisasi dan individu kader
HMI sudah semakin terimplementasi dengan baik. Sedangkan faktor eksternal
adalah kondisi Indonesia yang menuntut HMI untuk melakukan gerakan yang agak
berbeda dengan kultur gerakan sebelumnya, bahkan dianggap cukup ekstrim.
Gerakan yang paling menonjol pada masa ini adalah dukungan HMI kepada
partai-partai dalam memperjuangkan dasar negara yang berdasarkan pada ajaran
Islam. Menurut Agussalim Sitompul[5],
hal ini adalah merupakan bentuk respon HMI terhadap kondisi sosio-aspiratif
yang ada, dimana masa itu kekuatan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI)
sudah sangat kuat sehingga dikhawatirkan oleh HMI akan mampu merubah haluan
negara ini jadi komunis. Untuk itu dalam kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1957
mengeluarkan rekomendasi yang berisi tuntutan agar Islam dijadikan dasar negara
republik Indonesia. Dasar argumentasi dari kebijakan yang diambil HMI dalam
kongresnya itu, dijelaskan Agussalim Sitompul ; Gagasan yang menuntut agar
Islam dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia perlu ditafsirkan lebih
jauh. Agama Islam adalah agama universal, agama yang mempunyai ajaran atau
tuntunan tentang masalah-masalah keduniaan maupun keakhiratan, Islam menjamin
bahwa kehidupan bangsa akan lebih baik bagi seluruh rakyat tanpa membedakan
agama, suku dan derajat. Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin, tanpa
orang terlebih dahulu untuk masuk Islam.
Selain itu, dalam kongresnya itu HMI pun mengeluarkan keputusan
bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Dilihat dari perspektif politik,
kondisi saat itu memungkinkan bagi HMI
mengeluarkan statement yang konfrontatif dengan PKI, karena
dua alasan; pertama, dalam sidang-sidang konstituante sejak tahun 1956,
PKI sangat menentang upaya umat Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara
RI, disamping itu pengaruh PKI yang sangat kuat dan dekat dengan Sukarno
dikhawatirkan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah –khususnya dalam masalah
keagamaan di Indonesia– yang dinilai HMI bisa merugikan umat beragama yang di
Indonesia, karena paham komunisme tidak mengenal yang namanya agama; kedua,
sikap HMI yang berani berkonfrontasi dengan PKI, selain masalah teologis /
ideologis, juga masih eksisnya partai-partai Islam yang bisa melindungi
eksistensi HMI saat itu. Secara umum kurun waktu 1947–1960 ini, menggambarkan
posisi HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan
Deliar Noer ;
Pertama HMI sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggung
jawab sebagai agent of change bangsa dan negara; kedua, sebagai
organisasi mahasiswa, memiliki tanggung jawab dalam problema dunia
kemahasiswaan khususnya dan perguruan tinggi umumny; dan ketiga, sebagai
pendukung dasar Islam, bertanggung jawab terhadap operasionalisasi nilai-nilai
Islam dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dengan corak pemikiran HMI yang pluralis dan rasional, sebagai
turunan dari pemikiran pembaharuan keagamaan, membawa dampak pada perubahan
pola gerakan HMI yang semakin jelas dalam memandang hubungan antara keIslaman
dan keIndonesiaan. Gerakan HMI tidak lagi terpaku pada hal-hal yang
bersifat simbolistik dan formal dalam memandang strategi perjuangan keIslaman,
tetapi HMI lebih mengutamakan nilai-nilai substantif dalam pola gerakannya pada
periode ini. Tetapi dikalangan umat sendiri HMI cenderung dianggap tidak mampu
bersikap kritis terhadap kebiijakan orde baru yang nota bene dianggap banyak
merugikan kepentingan umat Islam. Bahkan Hasanudin Saleh[6] dalam
tulisannya mendeskripsikan pola gerakan HMI periode ini; Dalam perjalanan
sejarahnya –sampai tahun 1970-an– HMI selalu mengambil sikap moderat, bahkan
cenderung akomodasionis, ketika berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah,
terutama yang tampak represif.
Pada tahun 90-an bagi umat Islam Indonesia merupakan masa
terjalinnya kemesraan[7] antara
Islam dengan negara, antara umat Islam dengan penguasa. Hal ini ditandai dengan
lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada bulan Desember 1990,
sebagai organisasi yang dianggap mampu menjadi kendaraan umat Islam untuk bisa
berperan secara lebih aktif dalam kehidupan kebangsaan, selain itu ICMI
dianggap bisa jadi corong umat Islam untuk mengartikulasikan harapan dan
aspirasi umat Islam, kaitannya dengan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. ICMI
bagi HMI dianggap partner yang seimbang untuk memanifestasikan
tujuannya, karena ICMI pada hakikatnya merupakan organisasi yang punya background
sama dengan HMI yaitu dari kelompok Islam modernis, secara pemikiran pun HMI –
ICMI memiliki kesamaan terutama mengenai pemikiran keIslaman-keIndonesiaannya.
Hal ini tidaklah aneh sebab mayoritas anggota / pengurus ICMI ini adalah
alumnus HMI.
ICMI yang diarsiteki oleh BJ. Habibie, dianggap sebagai organisasi
bentukan Suharto untuk memperpanjang tangan kekuasaanya pada komunitas muslim
Indonesia, yang mana pada periode sebelumnya hubungan umat Islam dengan
kekuasaan tidak begitu mesra malah cenderung saling curiga. Menurut HMI,
anggapan-anggapan tersebut tidak mendasar dan cenderung emosional. Bagi HMI,
kehadiran ICMI ditengah-tengah umat Islam Indonesia merupakan suatu kebutuhan,
karena sudah saatnyalah umat Islam Indonesia mulai mengartikulasikan cita-cita
perjuangannya ke dalam aktivitas-aktivitas yang lebih konstruktif dan proaktif,
terutama hubungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[8]
Awal abad ke-20 ditandai lahirnya gerakan-gerakan Islam yang
monumental (kesan yang menimbulkan sesuatu yang besar). Gerakan Islam tersebut
telah mengukir tinta emas baik untuk kebangkitan Islam maupun pergerakan
perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yang kemudian dikenal dengan organisasi
kemasyarakatan Islam. Namun, secara umum ormas-ormas Islam tersebut,
lebih-lebih pada dua organisasi Islam terbesar di negeri ini seperti
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri tahun 1926)
tetap menjaga dan memperkokoh posisi dan perannya dalam dinamika kehidupan
umat, bangsa, dan dunia global sebagai kekuatan dakwah dan misi Islam sebagai
rahmatan li‘l ‘alamin. Meskipun kini muncul gerakan-gerakan Islam yang tampak
lebih “memikat” hati sebagian umat dengan karakternya yang cenderung militan
(penuh semangat), skriptural (siakap yang melekat pada kitab suci), dan ideologis
(politik), namun secara umum keberadaan dan peran ormas-ormas Islam yang lahir
awal abad ke-20 itu tetap istiqamah dan memberi warna keseimbangan sebagai
kekuatan Islam moderat.[9]
Ahlussunah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten jejak
langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya. Diantara mereka
ada yang disebut “salaf”, yakni generasi awal mulai dari sahabat, tabiin, dan
tabiin-tabiin, dan ada juga yang disebut “ kholaf”, yaitu generasi yang datang
kemudian. Golongan ini adalah mayoritas umat Islam.
Modernitas atau kemoderenan atau sikap moderen yang tampaknya hanya
mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakekatnya mengandung arti
yang mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada kebenaran yang mutlak, kepada Allah
SWT.
Pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi
Islam paling tidak memiliki sembilan prinsip yang melandasi Islam
moderat:
1.Al-Qur’an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an merupakan pedoman yang sangat sentral (pusat) dalam
kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur’an
adalah teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur’an tidak
akan berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Dalam pengertian ini
Islam moderat memandang Al-Qur’an sebagai kitab terbuka. Islam moderat menolak
pandangan Al-Qur’an sebagai kitab tertutup yang memunculkan pemahaman terhadap
Al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu pemahaman mengenai Islam yang
semata-mata mempertaruhkan segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks
(nash )keagamaan.
Prinsip Al-Qur’an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu
pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks keagamaan
terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tetap (tsawabit) dan
sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayirat) sesuai
dengan perkembangan ruang dan waktu.
2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan
ruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, keadilan
dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari’at. Dalam konteks ini Islam
lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah
(catatan-catatan) yang agung bagi transformasi sosial, pembebasan, dan
tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada
dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi kehidupan yang adil.
3. Kesetaraan
Islam berada di barisan paling depan membawa bendera kesetaraan
(al-musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya
kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia
dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir.
Kesetaraan merupakan landasan paradigmatik (kerangka berpikir)bdalam meneguhkan
visi Islam moderat. Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem
sosial yang diskriminatif (membeda-bedakan), dan eksploitatif (sikap
sewenang-wenang) terhadap kaum yang lemah.
4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap
keanekaragaman pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di
kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29). Sesuai
dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu
pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu
agama maupun berbeda agama, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan
yang menjadi tuntunan Al-Qur’an.
5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata
kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama semestinya
dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial. Segala bentuk
wacana pemikiran keislaman tidak seharusnya tidak menampilkan agama sebagai
sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya pemikiran itu dilakukan dalam rangka
membebaskan akal, dan perilaku dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial.
Oleh karena itu sudah semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan
bukan sebaliknya, anti kririk.
6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam memperlihatkan
tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Islam moderat, Al-Qur’an
mengajarkan bahwa manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim)
dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS.
Al-Isra: 70).
7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan
menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur’an memandang fakta
keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah, sebagaimana juga Nabi Muhammad
sebagai seorang Rasul dari sebagian rasul yang di utus kepada umat manusia.
Perbedaan agama terjadi karena perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen
dan Yahudi. Dan agama yang berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan.
8. Sensitifitas
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar
gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia. Dengan
fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemelauknya terhadap
perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan di hadapan Tuhan.
9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan,
peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan membangun
kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara kelompok-kelompok
suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non diskriminasi adalah prinsip
sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan dan non diskriminasi diantara
elemen masyarakat itulah Nabi membangun tatanan masyarakat yang sangat modern
dilihat dari ukuran zamannya.[10]
Islam moderat lebih dikenal sebagai bentuk lawan dari Islam
fundamentalis atau Islam garis tengah. Alasan utama dilahirkannya istilah Islam
moderat oleh para pendirinya adalah karena adanya Islam garis keras tersebut.
Para pemeluk Islam moderat menamakan diri mereka sebagai ummatan wasathan atau
ummat pertengahan, yakni kaum pertengahan yang ingin menampilkan nilai-nilai
kemoderatannya. Salah seorang tokoh Islam moderat dalam negeri yang cukup
dikenal adalah GusDur.
Tokoh ini sangat dikenal dengan nilai-nilai toleransi antar ummat
beragamanya, sehingga sangat dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Kaum Islam
liberal kerap menggaung-gaungkan istilah Islam moderat tersebut sebagai bentuk
solusi antara ummat beragama yang sering mengalami pertikaian, terutama
kalangan muslim dan bukan muslim yang kerap mengalami perselisihan.
Menurut Deliar Noor, seorang penulis buku yang berjudul “Umat Islam
dan Masalah Modernisasi”. Modernisasi menuntut bangsa Indonesia untuk :
a)
Memandang
kedepan dan bukan memandang kebelakang.
b)
Memiliki
sikap dinamis dan aktif.
c)
Memperhatikan
waktu.
d)
Memberikan
penekanan pada rasionalitas, bukan pada perasaan atau perkiraan.
e)
Mengembangkan
sikap terbuka.
f)
Memberikan
prioritas pada prestasi pesonal.
g)
Memberikan
perhatian yang lebih besar kepada masalah yang yang di hadapi saat ini.
h)
Melibatkan
diri dalam pengajaran tujuan yang lebih penting dari tujuan kelompok.
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide
negara Islam terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam,
kecuali di awal pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa
kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan.[11]
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang mempunyai
sejarah panjang. Dalam diskursus yang diungkapkan banyak penulis yang mengkaji
organisasi Islam ini, menyatakan perlunya melihat dari sisi masa lalu dan masa
sekarang. Hal ini dianggap penting sebab antara masa lalu dan masa kini, HMI mempunyai
pernan yang berbeda di tiap zamannya.
Pada masa awal berdirinya—Lafran Pane sebagai pendiri organisasi
ini—tak lepas dari konstalasi politik masa kemerdekaan Indonesia. Bisa
dikatakan, organisasi HMI lahir atas respon politik yang mendominasi saat itu.
Paham Komunis yang begitu menjamur, atau lebih tepat menghegemoni, direspon
oleh Lafran Pane dengan mendirikan HMI sebagai bentuk counter dari paham
yang berbau kiri ini. Alasannya, paham komunis mempunyai ajaran transenden yang
berbeda dengan paham Islam.
Karena kelahirannya sebagai respon atas fenomena politik, maka HMI
tak bisa dipisahkan dari politik. Hal ini jamak diketahui oleh para kadernya.
Kendati demikian, bukan berarti HMI adalah partai politik atau banyak
berkecimpung dalam deterministik politik. Kehadiran dan keterlibatan politik
HMI dimaksudkan agar orgaganisasi ini menjadi “pengkritik” atas respon yang
terjadi dalam dinamika sosial yang terjadi.
Dengan begitu, HMI adalah organisasi yang independent, tidak berada
di bawah atau sayap dari organisasi politik lain. Dia berdiri di atas kaki
sendiri. Pun dalam konten politik, HMI hanyalah persepon sekaligus menjadi
penengah dalam memberikan masukan dan tindakannya atas pergeseran sosial
masyarakat. Sebagai penengah, tuntutannya adalah obejektif.
Bersamaan dengan itu, proses zaman telah berubah. Dari yang dulunya
HMI mempunyai banyak andil dalam kemerdekaan, saat ini, tuntutan itu telah
berubah. Sekarang ini, bukan lagi masanya mengangkat bambu runcing atau
berperang, melainkan berpindah pada tantangan lain, yaitu modernitas.
Tak dapat disangkal, paham modernitas telah mengalami kulturasi
dengan wajah keislaman. Bahkan kerap terjadi pembauran yang pada ujungnya tak
dapat ditangkal. Modernisme bukanlah bentuk buruk. Dia hanyalah pengantar dari
tindakan buruk. Jadi tergantung pada manusianya sendiri. Senada dengan
itu, modernisme menyebabkan perubahan
yang maksimal, dan sukar terkejar. Bagi banyak umat Islam di Indonesia, bila
bersentuhan dengan paham modernisme, menolaknya bahkan menutup diri daripadanya.
Hal tentunya disebabkan pemahaman yang belum sampai pada dimensi substansi dari
modernisme itu sendiri.
Maka dari itu, HMI mempunyai tantangan untuk menyeleraskan antara
tata nilai tradisional dan nilai modernisme dengan penuturan yang halus. Dengan
memahami secara baik modernisme, maka akan terbentukanya watak yang terbuka
(open mind) dan bisa menerima perbedaan antara satu sama lain. Hal inilah yang
seharusnya mulai digalakkan kembali dengan menjadikan mahasiswa sebagai subjek
tunggal atau paling tidak salah satu subjek penggerak dari pengentasan
tantangan yang baru ini.
Daftar
Pustaka
Nurcholish
Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1998.
Muhammad
Az-Zuhaili, Moderat Dalam Islam, penerbit: akbar media eka sarana, 2005.
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Agussalim Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara
Impian dan Kenyataan. Jakarta 13790
Sitompul, A. Salim. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih
Offset. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan
Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
Sitompul,
A. Salim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan
Kritik. Yogyakarta : Aditya Media.
[1] Saleh,
Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila.
Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Mengenai
sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah Forum
Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini
sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya.
[3] Sitompul,
Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
[4] Tokoh
sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia
adalah founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI
MPO periode 1986-1998.
[5] Agussalim
Sitompul. HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan. Jakarta
13790
[6] Saleh,
Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila.
Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[7] Istilah
ini digunakan untuk menggambarkan jalinan hubungann umat Islam dengan penguasa
yang semakin baik, dimana pada masa sebelumnya penguasaa cenderung memandang
sebelah mata dan bahkan dianggap diskriminatif terhadap umat Islam. Tahun
1990-an merupakan awal dari perubahan arah dnn kebijakan politik orde baru,
khusunya dalam masalah hubungan Islam – negara.
[9] Al-Misbah
al-Munir 2/692, dalam kata Qashada, lihat juga kamus al-Muhith 1/327,
Muhktar ash-Shahah hal. 536, Mu’jam al-Fadz Al-Qur’anul-Karim 5/48.
[10] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2010. Hlm
271
[11] Sholihan, Modernitas
Postmodernitas Agama, Semarang : Walisongo Press, 2008. Hlm 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar